Nusantarakini.com, Jakarta –
Singapura adalah tragedi bagi puak Melayu. Negeri itu aslinya habitus bagi puak Melayu. Sedangkan Cina aslinya hanya pendatang.
Tapi apa yang terjadi. Kini puak Melayu tersingkir. Singapura dikontrol sepenuhnya oleh pendatang Cina.
Bagaimana hal itu terjadi, memang amat sistematis. Secara politik dan ekonomi, puak Melayu kini sidah invalid di hadapan pendatang Cina. Bahkan secara demografis, puak Melayu menjadi minoritas.
Supremasi pendatang Cina dijamin dengan sistem demokrasi pemilu formalistik.
Nasib puak Melayu yang tragis di Singapura yang dapat dikatakan sebagai genosida politik, bisa menimpa Indonesia.
Kini sudah banyak yang teriak bahwa ada gejala Sinaisasi politik setelah area ekonomi hampir sepenuhnya dominan dikontrol oleh komunitas Cina. Agresivitas Cina yang mengontrol segala ranah hidup, menjadi suasana politik menjadi tidak seimbang dan menimbulkan kegerahan bagi elemen pribumi.
Gejala munculnya figur-figur agresif orang Cina seperti Ahok, Budi alias Hari Tanoe, James Riady,Rusdi Kirana, Setya Novanto dan belakangan disebut-sebut Osman Sapta Odang rupanya juga keturunan Cina, makin menebalkan pandangan betapa pribumi berada dalam serangan genosida politik.
Genosida politik ini bisa dengan mudah berhasil manakala politisi pribumi tidak memandangnya sebagai ancaman yang menghabisi keseimbangan politik.
Apalagi opini melalui media yang dikuasai puak konglomerat Cina begitu agresif menancapkan opini keharusan supremasi Cina di atas puak pribumi.
Bila Anda menyaksikan iklan terbaru blibli.com milik grup Djarum, di situ ditampilkan adegan seorang pekerja pribumi yang dibentak-bentak atasan Cinanya. Tampilan adegan itu seolah ditunjukkan sebagai yang harus diterima sebagai kewajaran.
Gejala ini makin memprihatinkan akan dapat menimbulkan reaksi rasialis bila kepekaan para perancang iklan makin hilang. Sudah makin banyak keanehan mengapa iklan suatu produk dengan sasaran market sebenarnya lebih banyak pribumi, tapi bintang iklannya kok makin banyak orang-orang Cinanya.
Politik iklan ini kelihatan halus, namun sangat signifikan mengubah pandangan dan opini karena diulang-ulang terus. Bagi yang menontonnya akan terbentuk opininya.
Aneh memang, kenapa tidak ada kepekaan dari para pemilik iklan itu untuk meluncurkan suatu iklan yang sebenarnya melanggar prinsip keterterimaan atau aksebilitas. (ddr)