Nusantarakini.com, Jakarta –
Haruskah kami katakan bahwa Hary Tanoe kehilangan sensisitivitas untuk memghormati martabat dan tradisi orang-orang Indonesia? Atau karena dia mungkin tidak punya perbendaharaan pengetahuan apa itu yang dimaksud martabat manusia.
Baiklah inilah pendapat kami yang harus dia ketahui apa itu martabat manusia.
Setiap manusia punya martabatnya sendiri. Punya kehormatannya sendiri. Punya harga dirinya sendiri. Martabat, kehormatan dan harga diri berasal dari otonomi, batas-batas cakupan wilayah nyaman, keyakinan, nilai-nilai dan tradisi luhur yang dia capai dalam hidupnya. Demikian pula golongan, komunitas, masyarakat dan suatu bangsa, tentulah memiliki martabat, kehormatan, batas-batas ruang psikososial, tradisi luhur dan nilai-nilainya sendiri.
Martabat ini sendinya adalah otonomi dan fitrah luhur manusia, bukan kekayaan dan kekuasaan. Sampai di titik ini, apakah Hary Tanoe mengerti apa yang kami maksudkan?
Baiklah kalau belum. Sulit untuk menepis keraguan kami bahwa Hary Tanoe hanya memahami kehormatan dan martabat berdasarkan capaian kekayaan dan kekuasaan semata. Sedangkan otonomi, batas-batas tradisi dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi, tampaknya dia tidak mampu menjangkaunya. Atau dia mengabaikannya?
Bagaimana tidak, jika dia seorang yang menghargai apa itu martabat, tentu dia tidak akan mengambil kesempatan secara oportunis ruang-ruang publik yang kebetulan dimilikinya sendiri untuk mengkampanyekan dirinya sendiri, kepentingan politiknya sendiri, partainya sendiri, kepada seluruh manusia-manusia Indonesia yang masih memegang apa itu martabat dan kehormatan. Bayangkan tiap hari di tivinya ada kampanye dirinya dan partainya, sedang masa kampanye pemilu belum saatnya.
Sanggupkah kita sekiranya kita sendiri punya tivi, punya media, dimana kitalah pemiliknya, namun wajah dan keinginan politik kita, tiap jam kita kabar-kabarkan ke masyarakat untuk meraup dukungan mereka dengan memanfaatkan efek bius dari propoganda?
Anak kecil yang belajar bikin mading (majalah dinding) saja akan malu menampilkan profil dirinya sendiri, kisahnya sendiri, di mading sekolahnya. Karena hatinya masih ada martabat. Bahwa itu tidak pantas.
Karena orang akan bilang, yah lo, segitunya mau pengen eksis. Bikin media sendiri, dijual untuk kepentingan publik, tapi muka lu, lu tampangin tiap ari. Situ sadar? Kalau anak SMA, pasti omongnya seperti itu, jika ketemu mading narsis.
Tapi ini tv. Yang ditonton generasi-generasi kusuma bangsa. Yang punya tradisi-tradisi luhur bangsanya. Yang peka terhadap tenggang rasa, harga diri dan martabat seorang manusia.
Bagi yang punya sensisitivitas dengan apa yang disebut martabat akan berkata, itlu tidak elok. Namun bagi yang ketat menjaga martabat akan menjawab lebih, itu pekerjaan yang sangat menjijikkan dan tak tahu malu.
Kami kira pesan tulisan ini jelas, tidak pada oportunisme, tidak pada pelanggaran terhadap sensitivitas martabat orang-orang Indonesia.
Mungkin sudah banyak yang mengeluh dengan iklan kampanye politik Anda di tivi-tivi Anda yang memang hak Anda. Tapi ingatlah, harus ada tenggang rasa dan kepekaan satu sama lain.
Kehormatan ada pada otonomi orang per orang. Bukan diukur dari tingkat penumpukan kekayaan. Hargai itu!
~ John Mortir