Nusantarakini.com, Jakarta –
Orang Indonesia hari-hari ini mengalami degradasi yang serius terkait cinta. Padahal sebenarnya cinta merupakan bagian yang alami dari kehidupan masyarakat.
Sejak Indonesia berdiri sebagai sebuah negara bangsa, kebencian satu sama lain berkecambah, baik oleh faktor politik, perebutan sumber daya ekonomi, dan terutama oleh muatan teori konflik yang dibawa oleh Marxisme. Sementara marxisme merupakan bacaan umum para pendiri Republik ini.
Maka tak heran pertumpahan darah menjadi bagian yang lazim dari perkembangan sejarah negeri ini.
Sekarang lebih fatal lagi, sejak zaman pilkada, pemilu dan pilpres yang mendorong orang-orang saling ejek, saling sikat dan saling tindas. Kemenangan memperebutkan kursi menjadi tujuan utama kendati harus memusnahkan cinta dari dalam dada-dada manusia Indonesia.
Akibatnya kini orang Indonesia telah berubah perangai menjadi manusia-manusia bengis, penuh dendam, licik dan serakah. Cinta terhapus dari hati mereka.
Wajarlah jika makin hari makin banyak saja orang-orang Indonesia yang sakit-sakitan. Mulai dari hipertensi, jantung, magh, liver dan kanker.
Mereka yang tiada perbendaharaan cinta di hatinya akan menderita penyakit. Sebaliknya mereka yang penuh cinta di dadanya, akan selalu gembira, lapang dada dan penyakit pun sedikit.
Perkara cinta inilah yang defisit dirasakan oleh Indonesia. Yang surplus adalah kebencian.
Dan itu memang tidak bisa disalahkan juga. Kebencian merupakan akibat dari ketidakadilan yang dirasakan.
Sekiranya keadilan merata, tentu cinta akan bersemi lagi di hati orang-orang Indonesia. (dsg)