Nusantarakini.com, Jakarta –
Saat ini perekonomian Indonesia secara angka kumulatif memang cukup menarik. Akan tetapi jika ditinjau dari sudut mutu dampak perekonomian terhadap mayoritas penduduk Indonesia, Indonesia memiliki masalah yang serius dengan ketimpangan pendapatan.
Tidak perlu mengungkapkannya di sini berapa angka rasio gini. Terlihat dengan nyata di dalam pemukiman-pemukiman penduduk dimana masih membludaknya penduduk yang tidak menikmati sarana perumahan milik sendiri, tanah sebagai alat produksi, akses pendidikan dan kesehatan yang memadai.
Di lain pihak, segelintir konglomerat dan pejabat tinggi menguasai aset-aset yang luar biasa. Ekspansi modal konglomerat domestik yang berkolaborasi dengan modal asing berjalan dengan cepat dan luas.
Hal ini diperparah oleh terjebaknya Indonesia dalam sistem demokrasi gincu bersifat elektoral semata. Di dalam sistem ini, multi partai menjadi niscaya yang hanya bertujuan perlombaan memperebutkan jumlah kursi yang ditempuh dengan cara-cara kotor, brutal dan penuh kecurangan. Permainan uang menjadi lumrah kendati pun institusi pencegah hal tersebut tersedia.
Hal lain yang menyumbang dalamnya krisis sosial politik di Indonesia saat ini ialah agresifnya invasi modal asing yang berselingkuh dengan konglomerasi domestik yang bertujuan ganda: memaksimalkan pengaruh politik dan memantapkan kekuasaan ekonomi.
Kita dapat melihat kasus ini pada beberapa aksi konglomerat seperti aliansi modal Cina dengan sekutu Cina lokal, yaitu Murdaya Poo. Hasilnya adalah PT. XD Sakti Indonesia joint venture antara BUMN XD Group China dan Central Cipta Murdaya (CCM) Group dengan investasi yang saat ini telah mencapai 80 juta dolar AS. Disebut-sebut pabrik transformator daya listrik yang mereka dirikan di Cikarang menjadi yang terbesar di Asia Tenggara.
Di satu sisi kapital para konglomerat lokal dengan mitra asing mereka meroket ke atas, saat yang sama ketimpangan kesejahteraan makin lebar dan tidak mungkin dipersempit akibat negara tersandera oleh kapital. Mahalnya biaya proses politik, memaksa parpol bersekutu dengan pemilik kapital, sedangkan pemilik kapital meminta konsesi. Akibatnya negara tersandera.
Bahkan para pemilik kapital itu tidak sabar dan langsung masuk dalam sistem kekuasaan, baik sebagai owner partai atau menjadi bagian dari pengurus partai. Hal ini mereka lakukan untuk menjamin lancarnya ekspansi modal mereka.
Figur seperti Hari Tanoe, Jusuf Kalla dan Surya Paloh merupakan contoh nyata agresifnya pemilik kapital di negeri ini.
Saat perilaku pemilik kapital egois merambah ke mana-mana, rakyat terkapar tidak berdaya. Dieksploitasi secara politik oleh partai, dan dieskploitasi secara ekonomi oleh pemilik kapital.
Keagresifan Hari Tanoe di era ini patut menjadi pelajaran. Dia dengan terang-terangan mengontrol secara penuh politik dan bisnis dalam satu tngan. Partainya menjelma menjadi vehicle politik sekaligus pengamanan bisnis. Partai tak ubahnya korporasi yang dapat ditentukan dan diarahkan oleh owner.
Kekacauan tatanan ekonomi dan politik oleh agresivitas para pemilik kapital dan keserakahan penguasa tradisional politik Indonesia terhadap sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh institusi negara seperti orang-orang Golkar dan PDIP menyebabkan kesengsaraan dan keterlantaran rakyat secara massif.
Usaha rakyat keluar dari jebakan partai dan pengaruh konglomerat sudah timbul namun belum begitu kuat dan teratur sedemikian rupa. Pimpinan yang salah dan tidak mengerti terhadap kehendak hakiki rakyat yang berada di tangan para agamawan populer-disoriented dan jauh dari mentalitas revolusioner, menjadikan kekuatan rakyat yang sudah tumbuh itu layu sebelum berkembang.
Fenomena ini terjadi pada kasus aksi 411 dan 212 yang berhasil mengumpulkan jutaan massa-suatu modal massa yang lebih dari cukup untuk menggulung kelas penguasa yang sangat egois dan picik.
Karena itu, penting menyodorkan suatu jalan revolusi sebagai pilihan terbaik saat ini untuk menyelesaikan kerumitan masalah yang dipikulkan kepada rakyat umum.
Ritus demokrasi elektroral hakkul yakin tidak akan bisa mnyelesaikan masalah Indonesia. Ritual pemilu elektoral hanya akan membuat mereka terjebak perlombaan kursi dan pertukaran konsesi atau dagang sapi politik.
Biar pun bebrapa partai menampilkan diri sebagai oposisi, tetap di belakang layar mereka saling memberi konsesi. Itulah yang terjadi pada partai seperti Gerindra dan PKS. Apalagi mengingat watak owners partai di Indensia hari ini lebih suka ambil aman dan oportunis. Rakyatlah yang menderita dari kompleksitas yang ditimbulkan oleh kelas penguasa yang berbagi kekuasaan dan peran di tataran kekuasaan ekonomi dan politik.
Namun revolusi macam apa yang diperlukan dan harus dijalankan oleh rakyat? Ialah revolusi yang memarkirkan kelas penguasa dan menyetop untuk selamanya sistem elektoral yang rusak parah hari ini.
Jika revolusi berjalan, tidak akan ada lagi pemilihan secara membabi buta. Musyawarah perwakilan dari beragam kekuatan riil rakyat dan non status quolah yang akan menentukan jalannya kekuasaan.
Para perusak nasib rakyat yang bersembunyi di balik sistem elektoral harus parkir di luar sistem sebagai hukuman atas kelancangan dan kelaliman yang mereka timbulkan selama merajalela sekarang ini di atas sistem demokrasi multi partai dengan basis elektoral.
Percobaan kekuatan rakyat anti partai pada aksi 411 dan 212 yang berlangsung pada 2016 tampaknya dapat memberi harapan bahwa revolusi mengandalkan kekuatan rakyat sejati masih memiliki potensi terpendam. Tinggal bagaimana kekuatan itu dapat dibangkitkan dan didorong menghancurkan tirani kapital yang merajalela dewasa ini.
Pekerjaan membangkitkan kekuatan revolusioner rakyat memang masalah tersendiri. Para kader revolusionerlah yang berhak menangani hal itu, bukan para penganjur dan agitator yang disoriented seperti GNPF dan ustadz-ustadz populer tuna agenda revolusi.
~ John Mortir
(Sebarkan tulisan ini sebagai wujud pertolongan Anda menggugah kesadaran rakyat)