Nusantarakini.com, Jakarta –
Isu terorisme dan islamophobia kembali memanas di arena global. Presiden Amerika Serikat Donald Trump adalah representasi tokoh dunia yang mengangkat kembali common fear tersebut. Atau lebih tepatnya, common fear terhadap “sisi lain” dari wajah Islam yang dianggap berbahaya. Saya sendiri meyakini, Trump sesungguhnya tidak sampai pada kesimpulan bahwa Islam adalah agama terror. Melainkan ketakutan tersebut lebih ditujukan terhadap gerakan-gerakan terror yang dikonstruksi oleh interpretasi ekstrem atas Quran. Buktinya, Trump tidak melarang semua warga Amerika yang beragama Islam.
Meskipun demikian, pandangan dan kebijakan Trump tetap saja menghembuskan angin islamophobia ke seluruh penjuru dunia. Dan tampaknya, he intentionally maintains the common fear. Salah satu Trump’s effect yang muncul, Eropa kini menjadi semakin keras terhadap Islam. Salah satunya adalah putusan pengadilan tinggi Eropa yang memperbolehkan perusahaan-perusahaan di Eropa untuk melarang karyawannya mengenakan jilbab. Bahkan, di Belanda, muncul figur Geert Wilders yang mengikuti kontestasi pemilihan Perdana Menteri dengan menjual isu Islamophobia sebagai barang dagangan politiknya. Wilders adalah pembuat film Fitna di tahun 2008, dan sikap islamophobianya ditunjukkan secara terang-terangan. Ia bahkan pernah berujar “there is a lot of Moroccan scum”. Isu islamophobia dipaket menjadi satu dengan isu imigran dari negara-negara muslim. Hal ini yang juga dilakukan Trump di Amerika.
Why does islamophobia appear? Apakah kemunculannya disebabkan semata-mata oleh gerakan terorisme? Dari kacamata politik global kontemporer, jawabannya bisa jadi demikian. Akan tetapi, kita boleh bertanya, seandainya terorisme hilang dari muka bumi, apakah islamophobia juga akan sirna? Apakah terorisme merupakan variabel yang mempengaruhi dan menentukan variabel islamophobia? Ternyata, fakta sejarah tidak memberikan konklusi secara reduksionis dan generalis seperti itu. Sejarah berkata, ketakutan yang berlebihan terhadap islam, disebabkan oleh dua hal. Pertama, ketakutan akan terlepasnya atau tergesernya kekuasaan seseorang, kaum atau bangsa dengan hadirnya dakwah Islam. Kedua, ketakutan terjadi karena ketidaktahuan atau prasangka yang disebabkan karena pencitraan yang buruk oleh media informasi (baik tradisional maupun modern).
Secara pribadi saya memandang bawah terorisme dan islamophobia memiliki dualisme kemungkinan eksistensi. Kemungkinan pertama, keduanya dapat saling berhubungan secara timbal balik. Kemungkinan kedua, masing-masing dapat bereksistensi secara terpisah dan otonom. Sebagai ilustrasi, A dan B adalah dua orang yang hidup bersama dalam satu masyarakat. Maka, A dan B masing-masing memiliki kemungkinan, apakah saling terpisah, atau saling berhubungan. Jika saling berhubungan, A dapat mempengaruhi B, dan sebaliknya. Namun jika terpisah, keduanya hidup secara otonom. Mari kita bahas kedua kemungkinan tersebut.
Pertama, mengapa kemungkinan yang terjadi adalah hubungan timbal balik, bukan hubungan searah? Bukankah seharusnya terorisme yang mempengaruhi kemunculan islamophobia dan bukan sebaliknya? Menurut saya, terorisme memang menciptakan ketakutan, dan ketakutan tersebut diasosiasikan kepada pelaku sekaligus keyakinan atau ajaran yang melandasi tindakannya. Logika ini masuk akal dan dapat diterima. Namun, boleh jadi selama ini justru islamophobia yang memicu aktivitas terorisme. Saat ummat islam direpresi, diperlakukan secara tidak adil, di diberikan label “barbar”, bahkan diperangi, maka semangat terror muncul sebagai konsekuensi atas perlakuan tersebut. Dan hal ini memiliki representasinya dalam realitas, terutama di negara-negara Timur Tengah.
Kedua, terorisme dan islamophobia dapat memiliki eksistensi yang tidak saling berhubungan (otonom). Jika salah satu dari keduanya hilang, maka tidak akan memberikan pengaruh terhadap yang lainnya. Mengapa? Karena semua itu tergantung pada subjek atau pelakunya masing-masing. Terorisme dan islamophobia memiliki “subjek, kesadaran dan alamnya” sendiri-sendiri. Terorisme dapat dihilangkan, islamophobia juga dapat dimusnahkan, tanpa menghubung-hubungkan keduanya.
Mengapa saya memberikan dua kemungkinan tersebut? Tujuannya adalah untuk membuka cara berfikir kita dan masyarakat dunia, bahwa pandangan kita terhadap terorisme dan islamophobia perlu diperluas (need to be enlarged). Hal ini dikarenakan selama ini seolah-olah berlaku logika tunggal, dimana islamophobia muncul semata-mata karena adanya aktivitas terorisme. Ujungnya, Islam yang disalahkan, dan muncul megatrend dunia yang anti terhadap Islam. Padahal, boleh jadi yang terjadi adalah sebaliknya, dimana terorisme muncul justru dikarenakan adanya islamophobia yang dimanifestasikan dalam tindakan represif terhadap ummat Islam.
Pendapat tersebut tidak berarti menunjukkan bahwa saya membela aktivitas terorisme. Semua manusia beradab dan beragama, seharusnya mengecam keras gerakan terorisme. Oleh karena itu, upaya untuk mengeliminasi terorisme juga harus dilakukan secara serius oleh semua masyarakat dunia, termasuk para pemimpin negara barat. Ummat Islam sendiri telah menunjukkan komitmen yang besar untuk mengikis habis terorisme. Deklarasi Islamabad tahun 2015 yang dihadiri oleh banyak tokoh agama terkemuka dunia, kaum ilmuwan, para pemikir, decision makers dan kalangan media massa, menjadi salah satu bukti bahwa terorisme adalah musuh ummat Islam di seluruh dunia. Namun, islamophobia yang dihidup-hidupi, bahkan terkesan dipelihara secara politis oleh para pemimpin dunia barat, tidak dapat diterima karena justru semakin membesarkan terorisme. Jika ini yang terjadi, apakah kita dapat berkonklusi, bahwa megatrend islamophobia barat berkontribusi terhadap penggemukan gerakan terorisme? Wallahu’alam.
*Ikhsan Kurnia, penulis berbagai macam buku