Analisa

Prabowo di Tengah Badai Ancaman

Nusantarakini.com, Jakarta –

Situasi negara sedang tidak baik-baik saja. Terutama di sektor ekonomi. Daya beli rakyat semakin melemah. Sejumlah perusahaan gulung tikar berimbas pada PHK massal. Ketika BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi 5,12 %, rakyat tak ada yang percaya. Padahal, pertumbuhan ekonomi 5,12 % itu terbilang kecil. Ini artinya, rakyat merasa situasinya sungguh amat sangat sulit. Ini problem serius dan potensial jadi ancaman buat Prabowo.

Kebijakan efisiensi presiden dianggap tidak tepat waktu dan sasaran. Akibat efisiensi, sejumlah kepala daerah kekurangan anggaran. Ambil jalan pintas: naikin pajak. Di sejumlah daerah pajak naik 300 persen hingga ribuan persen. Lagi-lagi, rakyat yang jadi sasaran. Rakyat pun marah. Bupati Pati hampir jadi korban. Kebijakan efisiensi dianggap telah mengganggu perputaran dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Kesulitan yang dialami rakyat berbeda dengan kondisi elit politik. Di kelas elit, gaji dan tunjungan terus naik, begitu juga peluang dan tingkat korupsinya. Kenyang! Di kelas elit, tak ada situasi yang sulit. Tunjangan rumah bisa 15 kali lipat upah tenaga kerja pada umumnya. Itu baru rumah. Belum gaji, biaya rapat, anggaran perjalanan. Cukup! Jangan ditulis lagi. Butuh puluhan hingga ratusan halaman.

Kebijakan ekonomi yang seringkali kontradiktif, dan struktur birokrasi yang semakin koruptif membuat kekuasaan Prabowo cukup rentan. Narasi Prabowo selama ini akan melawan korupsi tidak terimplementasi signifikan dalam kerja-kerja birokrasi. Narasi itu harapan, korupsi itu kenyataan. Dua hal yang berbeda.

Korupsi masih begitu terstruktur di hampir semua lembaga pemerintahan. Anda perlu pahami makna dari kata “hampir.” Ini penghalusan. Akan jelas kalau Anda menggunakan semiotika “paradigmatik” filsuf Swiss, Ferdinand De Saussure.

Ah, gak perlu mikir yang berat-berat. Hidup rakyat sudah sangat berat. Yang pasti-pasti saja. Di antara yang pasti adalah bahwa korupsi berhasil diwarisi dengan sangat sempurna dari satu rezim ke rezim yang lain. Saat ini, publik melihat belum ada yang berubah secara signifikan dari sebelumnya. Terutama soal korupsi. Sama saja! Begitulah teriakan rakyat.

Di tengah situasi ekonomi yang tidak kondusif dan birokrasi yang sangat koruptif, gelombang badai bisa datang dari para teknokrat stok lama. Mereka adalah sejumlah menteri atau pejabat setara yang double loyalitas. Secara formal, mereka loyal kepada presiden. Secara kultural, mereka lebih dekat dengan Jokowi. Kedekatan ini membawa konsekuensi politik yang lebih emosional dan berjangka panjang. Sebab, Jokowi yang memberi jaminan. Bukan Prabowo.

Ketika hubungan Prabowo dengan Jokowi retak, loyalitas kultural akan menguat di tengah kekuasaan Prabowo yang semakin kewalahan menghadapi badai ekonomi dan potensi kehilangan trust publik.

Faktor Sri Mulyani, sebagai penentu nasib moneter dan fiskal Indonesia, terus mendapatkan sorotan. Sri Mulyani bukan sosok yang punya sejarah harmoni dengan Prabowo. Publik menaruh curiga, bukan pada kemampuan orang kepercayaan IMF ini, tapi pada loyalitasnya kepada Presiden.

Ketika Prabowo dilantik jadi presiden, para taipan yang selama puluhan tahun sukses merampok uang negara, sebagian besar dipinggirkan. Sebagian lagi disikat.

Dipinggirkan, disikat atau digantikan? Ini juga menjadi persoalan fundamental. Para pengganti taipan, apakah mereka punya mentalitas berbeda? Ini pertanyaan ideologis berbau nasionalis. Dua kata ini yang akan menentukan cara taipan baru mancari kekayaan. Cara ini akan menentukan nasib bangsa dan nasib rakyat ke depan.

Para taipan yang tersingkir, mereka bukan gerombolan saudagar yang baru belajar politik. Mereka bahkan telah sukses mengubah politik menjadi pundi-pundi kekayaan yang berlimpah. Bukan ratusan, tapi ribuan triliun. Survei menyebutkan 60 persen kekayaan para taipan didapatkan dari kemampuan mengendalikan penguasa jadi uang. “Ternak babi tak banyak untung. Ternak babe, ini baru untung.”

Terlempar, para taipan stok lama ini tidak diam. Menunggu momentum. Bukan hanya menunggu, mereka juga lihai dalam menciptakan momentum. Jerami kekuasaan Prabowo mulai setengah kering. Para taipan memantau dan sewaktu-waktu bisa siramkan bensin ketika waktunya tiba.

Ahmad Muzani, politisi kalem dan terkenal humanis ini menjadi Ketua MPR. Posisinya sedang terpempar dari partai penguasa. Saat menu sedang dihidangkan, ia dipensiunkan dari posisi sekjen. 17 tahun berpuasa dalam perjuangan partai, ketika lebaran tiba, ia diminta lagi untuk berpuasa. Sebagai Ketua MPR, posisi Ahmad Muzani cukup menentukan. Suasana kebatinan akan mempengaruhi keputusannya.

Dua hari lalu, Jakarta rusuh demo. Hari ini, buruh demo. Infonya, demo besar-besaran. Besok, BEM juga demo. Jika situasi sulitnya ekonomi terus dibumbui oleh kebijakan yang kontra-populis, ini bisa berubah menjadi panggung yang dapat mendorong teori transformasi politik berpeluang mengambil analisisnya. Kursi raja bisa goyang ketika kelompok-kelompok yang menjadi ancaman ini bermain di panggung yang sama.

Waspadalah….waspadalah…! [mc]

Jakarta, 28 Agustus 2025.

*Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa. 

Terpopuler

To Top