Kenapa Kalah dari Tiongkok, Amerika Layaknya seperti Uni Soviet Masa Lalu?

Nusantarakini.com, Jakarta –
Mungkin kita pernah merasakan, sepertinya ada sesuatu yang aneh dengan narasi-narasi politik global. Sepertinya setiap Amerika membicarakan Tiongkok nadanya selalu seperti mengajak ribut. Tapi di sisi lain, Tiongkok seperti acuh saja, tetap jalan, tetap berinovasi dan tetap maju?
Mari kita lihat fakta dengan data yang ada. Selama 30 tahun terakhir, di Amerika pendapatan 50% warga miskin malah merosot menurun. Padahal mereka hidup di negara demokrasi, negara adi daya dan negara kaya. Tapi kenyataannya selama 30 tahun terakhir 50% rakyat di lapisan bawah semakin terpuruk.
Nah kita bandingkan dengan Tiongkok. Dalam kurun waktu yang sama, 50% penduduk terbawah justru mengalami kenaikan signifikan, terbaik dalam 4000 tahun sejarah mereka.
Gila kan? Sementara orang-orang Amerika sibuk bertanya, kenapa rakyat Tiongkok tidak menggulingkan partai komunis mereka?
Rakyat Tiongkok malah geleng-geleng kepala sambil tersenyum-senyum, “Loh, kami justru lagi menikmati hidup terbaik kami.”
Banyak orang Barat, termasuk pengamat top di Amerika selalu berpikir Tiongkok bukannya seperti Uni Soviet, 11-12. Tapi faktanya Tiongkok tidak punya ambisi untuk mengekspor ideologi komunis ke seluruh dunia seperti Uni Soviet dulu.
Tiongkok itu bukan mau membuat dunia menjadi komunis. Mereka tidak sibuk mengirim revolusi ke negara lain. Yang mereka lakukan adalah membangkitkan peradaban. Mereka tidak ngotot supaya negara lain ikut sistem mereka. Tujuan mereka sederhana tapi besar. Yaitu membawa kembali masa kejayaan Peradaban Tiongkok yang pernah menjadi pusat dunia selama ribuan tahun.
Itulah sebab kenapa kalau Amerika terus menerus memaksa memakai kacamata ideologis dan akan terus menerus salah langkah. Mereka pikir ini adalah perang demokrasi vs komunis. Padahal sebenarnya ini perang meritokrasi versus plutokrasi.
Okelah, kata komunis memang telah dibuat berat, tapi jangan buru-buru membayangkan ini seperti Uni Soviet zaman dulu. Sistem yang dipakai Partai Komunis Tiongkok sekarang ini bisa dikatakan sebagai meritokrasi terketat dan tertertib di dunia.
Nah coba bayangkan, kalau kita mau naik level dari pemerintah daerah ke provinsi, baru bisa ke tingkat nasional. Dan setiap langkah kita harus benar-benar menunjukkan kinerja dan kemampuan.
Bukan karena relasi, bukan karena uang, bukan pula pandai pidato yang menggebu-gebu menunjukkan patriotiknya, tapi murni karena kemampuan.
Jadi mereka yang ada di puncak kepemimpinan Tiongkok sangat top tier sekali. Mereka merupakan engineer, teknokrat, ekonom, dan orang-orang yang kerja nyata bukan sekedar retorika.
Bandingkan dengan sistem Amerika yang makin lama makin dikendalikan oleh uang. Elite politik di sana harus mencari sponsor untuk kampaye dari korporasi besar. Jadi tidak heran kalau kebijakan yang mereka ambil lebih sering berpihak ke sponsor daripada rakyat.
Di buku yang ditulis Prof Kishore Mahbudani, dia mengatakan bahwa yang sekarang bersikap seperti Uni Soviet justru Amerika.
Kenapa? Karena Amerika terus push anggaran militer raksasa tanpa arah strategi yang jelas.
Mereka masih memikirkan, bahwa dominasi militer adalah jawabannya. Mereka mempunyai 13 kapal induk, tapi kapal induk zaman sekarang merupakan target empuk bagi rudal hipersonik.
Sementara itu, Tiongkok tidak ikut-ikutan gila untuk belanja militer. Mereka tetap punya kekuatan militer, tapi fokus utamanya adalah inovasi pendidikan riset and development.
Mereka menaruh sumber daya di tempat yang benar-benar memberikan dampak jangka panjang. Kalau terus seperti ini, siapa yang akan lebih unggul? Negara yang meletakkan uangnya di senjata atau negara yang meletakkan dananya di otak rakyatnya?
Kita juga sering mendengar istilah Tiongkok Rising. Tapi Prof Mahbubani punya cara pandang yang berbeda. Dia mengatakan bahwa Tiongkok bukan rising, tapi mereka sedang returning.
Ya, selama lebih dari 2000 tahun, Tiongkok adalah peradaban termaju di dunia. Mereka mempunyai teknologi, budaya dan stabilitas politik yang diidamkan banyak bangsa lain.
Nah ini yang terjadi 150 tahun terakhir mulai dari Perang Candu jilid 1 dan 2, kolonialisasi sampai invasi Jepang yang dianggap masa penghinaan nasional oleh rakyat Tiongkok.
Sekarang mereka akhirnya merasa telah kembali ke posisi yang layak mereka dapatkan. Dan tepat saat mereka merasa bangga atas pencapaian itu, dan memori kolektif mereka merasa bahwa mereka adalah bangsa yang unggul.
Eh, Amerika datang dan mengatakan, “Hei, kalian harus berhenti!” Coba Anda bayangkan, sebagai bangsa yang baru saja sembuh dari masa masa terpuruk; baru berdiri tegak, lalu ada yang mengatakan bahwa kamu harus jatuh lagi. Tentunya pasti kamu akan melawan kan?
Tiongkok itu main jangka panjang 20 tahun, 30 tahun bahkan 50 tahun. Sementara Amerika hanya berpikir dalam siklus 4 tahun dari pemilu yang satu ke pemilu berikutnya. Ini dampaknya besar sekali, karena kebijakan Amerika sering gonta-ganti tergantung siapa menang pemilu.
Sedangkan di Tiongkok strategi nasionalnya berkelanjutan, konsisten dan tidak diacak-acak setiap ganti pemimpin. Makanya meskipun sistem mereka katanya tidak demokratis, hasilnya justru luar biasa. Mereka membangun kota futuristik, pelabuhan, jaringan kereta cepat dalam waktu yang membuat negara-negara Barat terheran-heran.
Nah sekarang pertanyaan yang paling penting, kalau ekonomi tumbuh siapa yang menikmati?
Di Amerika pertumbuhan ekonomi sangat tinggi dalam 30 terakhir ini. Tapi mayoritas keuntungannya hanya dinikmati oleh segelintir elit. Grafik kekayaan mereka seperti menara. Semakin tinggi di puncaknya semakin sempit, yang di bawah ditinggalkan. Sejak tahun 1990 peningkatan GDP Amerika justru lari ke kurang dari 10% orang terkaya, bahkan kadang hanya 1% teratas.
Rakyat biasa stagnan, bahkan banyak dari mereka kerja dua bahkan tiga pekerjaan dan tetap tidak cukup untuk menutupi biaya hidup.
Coba kita bandingkan dengan Tiongkok. Memang mereka masih mempunyai ketimpangan, tapi selama 30 tahun terakhir justru rakyat kecil naik kelas. Yang dulu petani desa untuk makan saja susah, sekarang bisa buka toko online, anaknya bisa kuliah dan punya rumah di kota satelit.
Jadi jangan heran jika tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah di Tiongkok jauh lebih tinggi daripada di Amerika. Karena rakyatnya merasa diperhatikan pemerintah dan tingkat patriotiknya tumbuh yang belum pernah ada dalam sejarah panjangnya.
Banyak orang menganggap Amerika adalah kiblat kebebasan. Coba kita telusuri seberapa bebasnya rakyat Amerika untuk bisa hidup layak. Pendidikan mahal, layanan kesehatan lebih mahal lagi, harga rumah naik gila-gilaan, tetapi pendapatan (gaji) tidak naik-naik.
Kalau mau kuliah harus utang ribuan dollar, kalau sakit bisa membuat pening kepala bahkan bisa nyaris bangkrut. Bahkan banyak orang tua di sana yang hidup dari utang kartu kredit, bukan untuk belanja barang mewah, tapi untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Sebaliknya dengan Tiongkok, pertumbuhan ekonominya untuk membangun sistem akses publik yang luas, pendidikan subsidi, layanan kesehatan merata, transportasi umum cepat, bersih dan murah.
Jadi meskipun mereka tidak menerapkan pemilu bebas seperti di Amerika, tapi justru mereka bisa memberikan kebebasan praktis. Kebebasan dari kemiskinan, dari kebodohan, dan dari ketidakpastian hidup. Jadi kebebasan model mana yang lebih real?
Jadi yang mesti ganti sistem itu siapa? Sistem komunis diganti dengan demokrasi ala barat atau justru sebaliknya?
Amerika pikir dengan blokade ekonomi dan tarif dagang, mereka bisa menekan Tiongkok. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, Tiongkok malah ngebut menciptakan ekosistem sendiri.
Nah untuk saat ini kita simpulkan Amerika tidak akan dapat mengalahkan Tiongkok, karena Pemerintah Tiongkok bekerja untuk rakyatnya. Sedangkan Amerika hanya bisa berkoar-koar, mengancam sana sini hanya untuk kepentingan segelintir elite. [mc]
*Chen Yi Jing, Pemerhati Geopolitik dan Sosial Ekonomi.
