Satire

Hukum Monopoli di AS: Politik adalah Bisnis, dan Bisnis adalah Politik

Nusantarakini.com, Jakarta –

Pernahkan kita merasa bingung dengan politik Amerika Serikat (AS)? Benarkah kebijakan mereka selalu kelihatan egois dan arogan?

Terlebih lagi, AS suka sekali mengatur-atur negara lain? Nah, kalau kita mau mengerti politik Amerika, ada satu kata kunci yang wajib dipahami, yaitu monopoli (domisili).

Semua strategi mereka baik di dalam negeri maupun luar negeri, intinya cuma satu, jangan ada yang melawan atau menyaingi dominasi mereka.

Sejarahnya jelas sekali. Tahun 1992 Pentagon membuat doktrin yang dikenal sebagai Wolfoo Doctrine. Isinya Amerika secara terang-terangan mengaku,

“Kita ini Kekaisaran!”

“Kita penguasa dunia dan kita tidak mau ada negara lain yang bisa menjadi pesaing dekat.”

Bayangkan, setelah Uni Soviet runtuh, mereka seperti baru saja melakukan call and notifications will vibrate, bebas main sendiri tanpa kompetitor.

Dan sejak itu semua kebijakan luar negeri mereka punya tujuan utama menjaga monopoli global.

Tapi monopoli ini tidak melulu soal hubungan Internasional, kalau kita mengintip ke dalam negeri Amerika, ternyata cara mainnya sama saja, ekonomi, politik, bahkan budaya popnya semua dikendalikan segelintir orang yang super kaya (kapitalis global). Jelas untuk kepentingannya.

Kita pasti pernah dengar nama ini Co-Palantir, perusahaan teknologi yang kerjanya mengumpulkan data dan bahkan dipakai pemerintah buat menyimpan database tentang rakyat Amerika sendiri. Seram kan?

Nah ini lagi, Peter Till. Orang ini bukan sekadar pengusaha. Dia juga backing besar-besaran kampanye politik termasuk Si Rambo Donald Trump. Bahkan wakil presiden sekarang, JD Vance, dulu adalah anak buahnya. Terbayang kah dari Silicon Valley langsung ke Gedung Putih?

Dan Peter Till bangga sekali dengan monopoli, sampai dia menulis artikel berjudul: “Kompetisi adalah Pecundang.”

Menurut dia, kapitalis sejati bukan soal bersaing, tapi soal mendapatkan posisi monopoli biar bisa mengontrol segalanya.

Di titik ini mungkin kita pikir, berarti memang benar, pada dasarnya Amerika tuh cinta monopoli.

Dan benar, dari Uber sampai Amazon, semua perusahaan besar di sana main dengan pola yang sama.

Seperti Uber deh, dulu tarif Uber murah sekali, sampai-sampai lebih murah dari taksi biasa. Banyak orang tergiur kan? Tapi ternyata itu bagian dari strategi, Uber rela rugi besar-besaran yang didukung investor dan utang.

Tujuannya sederhana, menghancurkan semua kompetitor, khususnya taksi yang sudah lama berdiri dan mempunyai serikat pekerja yang kuat.

Begitu kompetitornya tumbang, apa yang terjadi? Harga dinaikkan gila-gilaan, komisi buat driver dipotong makin besar, dan perusahaan jadi de facto monopoli.

Jadi kalau ada yang bilang kesuksesan Uber karena teknologi. Jangan tertipu guys! Itu cuma branding. Faktanya strategi mereka adalah politik mengalahkan inovasi.

Dan lebih parahnya lagi, mereka bisa sukses karena dukungan langsung dari Pemerintah Amerika.

Banyak pejabat tinggi termasuk dari era Obama yang pindah kerja buat Uber sebagai lobi. Jadi politik dan bisnis di sana layaknya saudara kembar seiring sejalan.

Pertanyaannya, siapa yang sebenarnya diuntungkan? Rakyatkah? Sayangnya bukan!

Nah, pola yang sama juga kelihatan di level politik nasional. Amerika itu ibarat panggung sandiwara. Kita lihat ada Republik lawan Demokrat, ada Trump lawan Biden.

Tapi kalau kita bongkar dari dalam, ternyata siapapun Presidennya, pemenang sejati selalu sama, korporasi besar dan para miliarder (kapitalis global). Mereka yang mendanai miliaran dolar buat kampanye. Mereka yang duduk bareng Presiden di jamuan makan malam.

Mereka itu yang dapat kontrak, izin, dan perlindungan hukum. Bukti nyata di era Trump, Jaksa Agung yang seharusnya mengurusi hukum, malah kerjanya lobi untuk korporasi. Korporasi seperti Uber, Amazon, bahkan kerajaan asing. Jadi ketika dia memimpin Departemen Kehakiman bukannya gencar melawan monopoli. Bahkan anti trust cases dibuang, pejabat ahli yang berani melawan malah dipecat. Ini sudah bukan demokrasi lagi, tapi oligarki terang-terangan.

Lalu didalam negerinya mereka sibuk melindungi monopoli. Di luar negeri bagaimana? Ya sama saja, hanya ini skala global.

Inilah yang sekarang memunculkan istilah perang dingin baru melawan Tiongkok. Bukan perang memakai tank atau nuklir seperti dulu melawan Uni Soviet. Tapi perang teknologi, perang dagang dan perang monopoli. Amerika sangat faham bahwa Tiongkok sudah naik kelas. Bukan lagi memproduksi baju murah atau mainan plastik, tapi sudah unggul di bidang hightech, semi konduktor, AI dan kendaraan listrik sampai quantum computing.

Dan ini membuat Amerika panik tidak bisa tidur nyenyak. Karena monopoli mereka di sektor teknologi runtuh. Selesai sudah dominasi globalnya.

Makanya Washington main kasar. Mereka membuat berbagai larangan ekspor chip canggih ke Tiongkok, supaya negara itu kesulitan membuat AI.

Bahkan perusahaan raksasa seperti Facebook alias Meta sampai membayar mahal, buat lobi khusus menjelekkan TikTok di mata publik dan politisi Amerika. Tujuannya jelas, TikTok dianggap ancaman monopoli dan kalau bisa dipaksa dijual ke perusahaan Amerika.

Biden pun tidak berbeda jauh, dengan alasan keamanan nasional, dia tandatangani UU, yang intinya TikTok boleh lanjut beroperasi asal induk perusahaannya dari Tiongkok dijual sahamnya ke korporasi Amerika.

Duh, kedengarannya mantap nasionalisme, padahal isinya, ya proteksi buat monopoli.

Bukan hanya TikTok yang jadi target. Coba lihat mobil listrik. Elon Musk sendiri terang-terangan mengeluh. Katanya kalau Pemerintah Amerika tidak membuat tarif tinggi, Tesla bakal kalah, tewas oleh produsen EV dari Tiongkok seperti BYD.

Dan benar saja. Tidak lama kemudian Biden memberikan tarif 100% untuk mobil listrik dari Tiongkok. Bukan karena peduli dengan pekerja Amerika, tapi untuk melindungi Tesla dan sejenisnya.

Dan jangan lupa soal Sam Altman, CEO Open AI, dengan santai minta pemerintahnya buat nge-ban kompetitor Tiongkok seperti Deep Seek dengan alasan bahaya keamanan nasional.

Padahal kalau kita bongkar siapa yang lebih dekat sama pemerintah dan White House, ya Sam Altman sendiri yang beberapa jam setelah pelantikan Presiden, la gsung duduk bareng dengan para miliarder BigTech di ruang rapat Gedung Putih mengumumkan proyek AI ratusan milliar dollar.

Jadi kalau kita mengatakan Deep Seek dikendalikan negara, bukannya ironis Open AI sendiri hidup berkat negara Amerika.

 

Dan ini belum semua, CEO Tropic, Dario Amode, juga terang-tetangan menulis artikel di Wall Street Journal yang intinya minta pemerintah makin keras membatasi akses chip ke Tiongkok.

Dia jujur bilang, kalau Tiongkok bisa dapat jutaan chip, dunia bakal jadi bipolar, karena Amerika dan Tiongkok sama-sama kuat. Tapi kalau tidak, dunia tetap Uni Polar di bawah kendali Amerika.

Jadi ini jelas bukan soal Inovasi, tapi soal ambisi untuk tetap menguasai monopoli global.

Sekarang coba kita pikir semua langkah Amerika ini. Sanksi, tarif, larangan ekspor bukan sekadar kebijakan ekonomi biasa. Ini strategi sistematis untuk menjaga monopoli mereka baik di dalam negeri lewat proteksi korporasi maupun di luar negeri dengan menekan pesaing seperti Tiongkok.

Dan parahnya kedua partai utama di sana sepakat soal ini. Jadi jangan tertipu seakan-akan ada perbedaan fundamental antara Demokrat dan Republik.

Ketika membicarakan monopoli global, mereka sejalan, genggam tangan erat dan siap hajar siapa saja yang coba mengganggu.

Nah sekarang pertanyaannya, bagaimana sebenarnya sistem monopoli, dominasi Amerika ini mempunyai efek ke dunia nyata? Di sini banyak cerita gila yang akan membuat kita berpikir. Karena ternyata Demokrasi Amerika itu cuma topeng belaka. Karena di Amerika itu tidak ada demokrasi yang diagung-agungkan, tapi yang ada itu oligarki. [mc]

Cerita gilanya ada pada tulisan berikutnya!

*Chen Yi Jing, Pemerhati Geopolitik, Teknologi dan Ekonomi. 

Terpopuler

To Top