Internasional

Hadapi Serangan Tarif Trump, Tiongkok Santai Saja?

Nusantarakini.com, Jakarta –

Kenapa Tiongkok bisa sesantai itu menghadapi tekanan tarif dagang yang diterapkan Donald Trump? Jawabannya ada di data ekspor mereka.

Mari kita tengok angka paruh pertama 2025. Ekspor Tiongkok ke Amerika Serikat (AS) memang turun 11%, tapi ke Eropa naik 7% dan di Afrika meledak naik 21%. Sementara ke Amerika latin naik 7% dan Asia Tenggara boom naik 13% dan sekarang menjadi pembeli terbesar untuk produk Tiongkok.

Bahkan Jepang yang merupakan sekutu AS semakin tergantung dengan barang-barang Tiongkok? Artinya apa?

Amerika boleh pasang tembok dagang setinggi apapun. Mau naikan 500% pun Tiongkok akan santai dan tersenyum simpul saja. Karena Tiongkok punya pintu samping ke pasar dunia. Dan lucunya pintu-pintu itu bukan saja terbuka, malah semakin lebar.

Nah sekarang mari kita lihat dari sisi domestiknya. Tiongkok juga sedang mengalami pergeseran yang cukup penting, dimana konsumsi dalam negerinya yang semakin kuat.

Juli kemarin impor mereka naik 4,1%, retail growth sekitar 5% hampir sama dengan pertumbuhan GDP mereka. Bahkan konsumsi makanan naik 12% dan penjualan peralatan rumah tangga melesat lebih dari 30%.

Nah kalau kelas menengahnya terus berkembang seperti ini, mereka tidak cuma jadi mesin ekspor dunia, tapi juga magnet buat produk-produk global. Jadi intinya Tiongkok sudah mulai membuat fondasi ekonomi yang tidak gampang diguncang perang dagang.

Kita geser ke Amerika. Perang dagang ini awalnya digeber habis-habisan oleh Trump. Namun untuk sementara berakhir dengan 30% untuk barang Tiongkok dan 10% untuk barang AS.

Kedengarannya Amerika unggul kan? Sayangnya tidak. Karena Tiongkok bisa mengganti sumber barang dari Eropa atau negara BRICS yang kadang malah lebih murah atau lebih bagus.

Di Amerika, 10% efeknya langsung ke konsumen dan bisnis lokal. Datanya membuat pening kepala. Bulan Juli 2025, 71 perusahaan besar Amerika bangkrut. Sedangkan pada bulan Mei dan Juni 2025 masing-masing 65 perusahaan dan ditotal tahun ini 446 perusahaan mengalami kebangkrutan. Rekor 15 tahun terakhir yang bahkan mengalahkan masa pendemi 2020.

Nah masuklah ke batu sandungan terbesar buat strategi Trump. Yaitu ketergantungan Amerika pada Tiongkok di sektor bahan baku kritis.

70% tanah jarang yang masuk ke Amerika itu berasal dari Tiongkok. Tanah jarang ini bahan vital untuk membuat electrical vehicle (EV), semi konduktor, dan peralatan militer canggih.

Teorinya Amerika bisa saja beralih mengambil dari Malaysia, Jepang atau Rusia. Tapi sayangnya, disamping harga yang melambung dan suplai pun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan industri Amerika.

Makanya walaupun Trump sering ngomong restoring membawa industri balik ke Amerika, faktanya di lapangan menunjukkan kalau potong rantai pasok dari Tiongkok.

Itu layaknya seperti mencabut aliran listrik saat konser sedang ramai-ramainya. Dan di tengah situasi krisis ini, Trump malah menekan kebijakan baru. Pajak 15% buat chip Amerika yang dijual ke Tiongkok. Maksudnya mengambil sebagian revenue dari NVIDIA, AMD, INTEL dan perusahaan-perusahaan lainnya buat subsidi Pemerintah Amerika.

Tapi dari perspektif Beijing itu berarti setiap kali mereka beli chip NVIDIA, mereka secara langsung memberikan ke-kas Amerika. Tentu saja, hal ini tidak akan dibiarkan. Dengan tersenyum-senyum, Tiongkok mengatakan, “Stop pembelian chip dari Amerika.”

Lalu industri Tiongkok akan berhenti produksi tanpa chip Amerika? Tapi sayangnya hal itu tidak terjadi. Bahkan, efeknya buat NVIDIA dan AMD adalah kehilangan pasar raksasa Tiongkok. Di bulan April saja penjualan chip Al di Tiongkok mencapai 1,5 jt unit yang setara dengan 20 milliar dollar.

Sekarang peluangnya telah hilang. Dan yang lebih parah lagi ini bukan sekedar soal penjualan tahun ini, tanpa revenue besar dari Tiongkok, dana Riset and Development (R & D) mereka bakal seret.

Sementara industri chip Tiongkok didorong oleh HUA WEI, SMC, YMTC terus mengejar meningkatkan produksi. Mereka juga gencar membangun ekosistem chip sendiri yang didukung dana R & D dari pemerintahnya.

Padahal perkembangan AI dan otomasi di Tiongkok justru semakin ngebut, April 2025 produksi robot industri naik 52%, 71.500 dalam sebulan.

Robot ini dipakai untuk menurunkan biaya produksi dan dengan sendirinya permintaan chip AI semakin besar.

Jensen Huang, CEO NVIDIA sampai terbang ke Beijing untuk mencari cara masuk pasar lagi. Tapi dengan kondisi sekarang, dia seperti orang bawa kunci yang pintunya sudah diganti gembok baru oleh pemiliknya.

Pertanyaannya sekarang, apakah ini akhir dari dominasi chip Amerika di Tiongkok atau Si Rambo Trump bakal tarik rem darurat dan cabut tarif demi menjaga NVIDIA dan AMD tetap punya akses?

Kalau melihat pola perpanjangan 90 hari yang sudah dua kali, rasanya drama sinetron ini masih jauh dari tamat.

Tapi satu hal yang pasti, Tiongkok tidak cuma bertahan, mereka juga sudah mulai menyerang balik dan serangannya tepat di jantung industri teknologi Amerika.

Bayangin deh, kita lagi main catur, tinggal satu langkah lagi skakmat lawan. Eh tiba-tiba papan caturnya diangkat dan dibalikin sama Beijing. 

Dan Beijing bilang, “mainnya di papan saya, aturannya saya yang bikin.” Itu kurang lebih perang dagang antara Tiongkok-Amerika. [mc]

*Chen Yi Jing, Pemerhati Geopolitik dan Ekonomi. 

Terpopuler

To Top