Opini

Setelah Jokowi Terpinggirkan, Siapa Jadi Oposisi Prabowo?

Nusantarakini.com, Jakarta –

Jokowi ingin kendalikan Prabowo. Wajar! Secara politik, investasi Jokowi terhadap kemenangan Prabowo-Gibran sangat besar. Jokowi punya saham paling besar atas kemenangan itu.

Namun, rakyat ingin Jokowi berhenti berpolitik praktis. Jadi bapak bangsa sebagaimana Habibie dan Gus Dur kala itu.

Sekarang, Prabowo presidennya. Seorang presiden tak boleh berada di dalam kendali siapapun. Presiden yang tidak independen, ia akan melemah dan jatuh pada waktunya. Ini sudah jadi hukum politik. Sejarah menyuguhkan banyak referensi tentang hal ini. Prabowo sadar itu.

Setelah orang-orang Jokowi diakomodir, komitmen etis Prabowo kepada Jokowi seolah sudah dibayar lunas. Setelah setahun, besar kemungkinan orang-orang Jokowi akan diganti. Reshuffle kabinet hanya tunggu timing. Apa alasannya? Prabowo butuh lingkaran kekuasaan yang solid. Kekuasaan hanya solid jika struktur kekuasaan dipegang kendalinya oleh Prabowo. Saat ini, struktur kekuasaan masih “Ganda Campuran.” Sebagian lebih loyal kepada Jokowi dari pada kepada Prabowo. Mereka besar dari Jokowi dan dititipkan Jokowi kepada Prabowo. Mereka sadar presidennya Prabowo, tapi mereka juga sadar bahwa tiket ke struktur kekuasaan diberikan atas jaminan Jokowi. Dalam posisi seperti ini, mereka, para pejabat titipan, juga sadar dirinya lemah di mata Prabowo.

Saat ini, posisi Jokowi melemah, dan akan terus melemah seiring dengan tertutupnya akses kendali Jokowi ke Prabowo.

Ketika reshuffle kabinet terjadi, posisi Jokowi akan semakin melemah. Meski, lingkaran Jokowi, sebagian yakin Jokowi masih kuat. Kekuatan itu tidak ada buktinya dan cenderung hanya untuk menghibur diri mereka yang belum siap berganti kekuasaan.

Melemahnya Jokowi menandakan semakin menguatnya Prabowo. Tapi, menguatnya Prabowo juga mengalami kerentanan. Usia sepuh Prabowo mendorong sejumlah pihak bersiap diri dan melakukan antisipasi jika terjadi keadaan di luar dugaan. Di sinilah awal terjadinya “permainan di dalam permainan.” Di dalam kekuasaan, lazim terjadi “permainan di dalam permainan.” Agenda-agenda personal tidak selalu bisa dibaca. Dan itu ada di lingkaran istana. Bukan di luar istana.

Membaca literatur jatuh bangunnya sebuah kekuasaan, ada orang dalam yang selalu terlibat. “Permainan dalam permainan” terjadi ketika seorang penguasa berada di lanjut usia. Banyak pihak yang mempersiapkan diri. Ini hal normal dan biasa terjadi di sepanjang sejarah kekuasaan. Di manapun.

Kita berhenti sejenak membicarakan internal kekuasaan. Biarlah itu akan menambah bukti untuk teori transformasi kekuasaan.

Ketika Jokowi melemah, lalu terpinggirkan, siapa yang akan jadi oposisi terhadap Prabowo? Selama ini, energi publik yang diwakili “medsoser” punya fokus pembicaraan tentang tema “Jokowi.” Semua tema diarahkan ke Solo. Akan ada titik jenuhnya. Ketika publik mengalami kejenuhan tentang tema “Jokowi,” maka mata publik akan kembali mengarah ke penguasa. Ini panggung utamanya. Panggung riil yang jadi perhatian rakyat. Penguasa de facto adalah Prabowo. Siapa yang akan tampil di depan berhadapan dengan Prabowo?

Tidak mungkin Anies Baswedan. Pasca pilpres, Anies cenderung diam. Begitu juga dengan Ganjar. Anies dan Ganjar sadar, jika mereka bicara, maka akan ada pihak yang menuduh dua tokoh ini “belum move on.” Keduanya adalah rival Prabowo saat pilpres. Lebih aman mereka diam sambil memantau Prabowo menjalankan tugas pemerintahannya.

PDIP adalah satu-satunya partai yang diharapkan bisa menjadi penyeimbang. Negara akan sehat jika ada partai penyeimbang. Penyeimbang, dalam pengertian lain, itu oposisi. Kata “penyeimbang” terkesan lebih halus mengingat PDIP sedang berterima kasih kepada Prabowo. Hasto Kristiyanto, kader inti PDIP, telah mendapatkan amnesti dari presiden.

Untung ada kasus Tom Lembong. Kalau gak ada kasus Tom Lembong, tidak mudah bagi Prabowo untuk memberikan amnesti kepada Hasto. Akan ada tuduhan macam-macam oleh publik. Itulah momentum. Abolisi Tom Lembong menjadi pintu masuk amnesti untuk Hasto. Amnesti kepada Hasto dinilai publik berpotensi membuat Raja Solo meradang.

Apakah setelah Hasto mendapat amnesti, lalu PDIP gabung ke Pemerintahan Prabowo? Secara politik, bergabung justru akan merugikan PDIP itu sendiri. Jika PDIP gabung, apa narasi yang bisa dibangun oleh PDIP ke publik? PDIP justru akan mempertaruhkan suaranya di pemilu 2029.

PDIP lebih cocok berada di luar pemerintahan dan menjadi penyeimbang kekuasaan. Dengan posisi ini, PDIP dianggap lebih konsisten dalam menjaga platform partai. Posisi ini akan mendapatkan simpatik dari publik, terutama di luar pendukung pemerintahan. Apalagi jika ke depan terjadi tragedi politik, maka posisi sebagai penyeimbang atau oposan lebih menguntungkan.

Jika PDIP bergabung, dan tragedi kekuasaan terjadi, PDIP akan ikut tenggelam bersama kekuasaan.

Selama ini, pilihan PDIP paling strategis itu satu di antara dua pilihan. Pertama, berkuasa. Dua tahun Megawati berkuasa dan 10 tahun bersama Jokowi sangat menguntung PDIP. Kedua, jadi oposisi. PDIP pernah jadi oposisi Orde Baru, juga oposisi SBY. Dalam posisi sebagai oposisi, PDIP membesar. Hampir sama besarnya ketika berkuasa. Begitulah partai besar, selalu menjaga karakternya dalam relasi kekuasaan.

Dengan mengambil posisi sebagai penyeimbang, PDIP akan mendapatkan simpati publik. Itulah sesungguhnya yang diharapkan rakyat. Kekuasaan tidak boleh tunggal dan mutlak, karena berpotensi terjebak pada obsolutisme dan otoritarianisme. Dibutuhkan adanya kontrol dan penyeimbang. Dengan begitu, negara akan sehat ke depan. [mc]

Jakarta, 12 Agustus 2025.

*Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa. 

Terpopuler

To Top