Analisa

80 Tahun Merdeka: ‘Renew’ Kaum Intelektual

Nusantarakini.com, Jakarta –

Intelektual” sendiri berasal dari Chanakya, seorang politikus dalam pemerintahan Kekaisaran Maurya di bawah pemerintahan Chandragupta.

Secara umum, terdapat tiga pengertian modern untuk istilah “intelektual”, yaitu:

  1. Mereka yang amat terlibat dalam ide-ide dan ruang diskusi;
  2. Mereka yang mempunyai keahlian dalam budaya dan seni yang memberikan mereka kewibawaan kebudayaan, yang kemudian mempergunakan kewibawaan itu untuk mendiskusikan perkara-perkara lain di khalayak ramai. Golongan ini dipanggil sebagai “intelektual budaya.”
  3. Dari segi Marxisme, mereka yang tergolong dalam kelas dosen, guru, pengacara, wartawan, dan sebagainya.

Oleh karena itu, intelektual sering kali dikaitkan dengan individu yang telah lulus dari perguruan tinggi atau universitas.

Namun, Sharif Shaary, seorang dramawan terkenal dari Malaysia, menekankan bahwa hakikatnya tidaklah sesederhana itu. Ia berpendapat bahwa:

“Belajar di universitas bukan jaminan seseorang dapat menjadi intelektual… seorang intelektual adalah pemikir yang sentiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat.

Menurut August Comte ada tiga tahap perkembangan intelektual, yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumya:

Tahap teologis, yakni tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia.

Tahap metafisis, yakni tahap manusia menganggap bahwa di dalam setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan.

Oleh karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam.

Tahap positif, yakni tahap di mana manusia mulai berpikir secara ilmiah.

Seorang intelektual tidak boleh menjadi intelektual bisu, kecuali dia benar-benar bisu atau dibisukan.

Jika betul-betul bisu, seorang intelektual masih dapat bertindak dengan menyatakan pikiran melalui penulisan yang akhirnya akan sampai juga kepada khayalak ramai. Inilah yang dikatakan intelektual bisu yang tidak bisu.

Sebaliknya, terdapat intelektual yang tidak bisu tetapi bisu. Dia menjadi bisu mungkin karena “dia takut atau berkepentingan.

Prof Dr Juwono Sudarsono, menyatakan bahwa “20 tahun di bawah Soekarno dan 30 tahun di bawah Soeharto.”

Sebagai masa serba hitam, kelam, dan suram sesungguhnya mengingkari kaidah pendidikan dan kebudayaan yang menuntut kita bersikap seimbang sebagaimana layaknya cendikiawan memandang sejarah bangsanya.

Kebisuan kaum intelektual nampaknya berkepanjangan. Kita kehilangan momentun selama setengah abad. Hal yang sangat kontras dengan setengah abad sebelumnya. Jauh berbeda ketika para pemuda bersemangat untuk berjuang untuk membuat: Revolusi Kemerdekaan.

Hampir tiga dasawarsa kemudian, yang tersisa adalah langkah pencerahan yang mandek disebut “reformasi.” Dalam perjalanan langkah ini akhirnya tersendat, tertatih, keluar dari jalur rel perubahan.

Dari masa serba hitam “selama setengah abad,” kita masuk “hampir tiga dasawarsa” berjalan kembali ke masa cemas. Semangat pemuda dan Kaum Intelektual seolah kembali membisu.

Dalam keadaan masa cemas, saat ini republik sedang dihinggapi kembali dengan sebuah “kemarahan sakral” akibat “korupsi tsunami” yang semakin membuat frustasi puncak gunung rakyat.

Demikian juga tentang kisah penantian sang pemimpin sebagai Satria Piningit yang ternyata hanyalah impian disiang hari, ataupun seorang “Meister von Himmel gefallen,” seorang jagoan yang turun dari langit.

Hamengku Buwono X mengutip, antara lain dari K.H Agus Salim, “leiden is liyden” memimpin adalah menderita, ini serupa dengan ucapan Jenderal Soedirman “Jangan biarkan rakyat menderita, biarlah kita prajurit (baca: pemimpin ) yang menderita.” Demikian juga Mohammad Roem berkata yang sama.

Memasuki delapan dasawarsa, kini kita menanti adanya semangat “Renew” tenaga dan gerakan baru kaum intelektual yang bergerak membuat sebuah langkah raksasa (Giant Step). [mc]

*Jimmy H Siahaan, Akademisi, Pengamat Politik dan Sosial Budaya. 

Terpopuler

To Top