Negosiasi Tiongkok-Amerika di Stockholm Gagal Total, Kenapa?

Nusantarakini.com, Jakarta –
Pada tanggal 29 Juli 2025 atas permintaan Amerika Serikat (AS), putaran ketiga negosiasi dagang antara Tiongkok-AS yang digelar di Stockholm, Swedia, berakhir tanpa hasil alias tangan kosong, terutama bagi pihak AS.
Perundingan hanya berlangsung beberapa jam saja, lalu bubar. Dan hasil akhirnya hanya satu kalimat dari: “AS dan Tiongkok sepakat memperpanjang penangguhan tarif selama 90 hari.”
Hasil ini terasa janggal, bahkan sedikit membuat tidak nyaman. Seakan pertanda ada sesuatu yang buruk akan segera terjadi.
Apa arti hasil ini bagi kedua pihak? Siapa yang menang dan siapa yang kalah?
Bagi Tiongkok, perpanjangan 90 hari tidak terlalu berdampak besar. Dan ekonomi Tiongkok tetap bertahan. Bahkan ekspor luar negeri meningkat 7,2% di paruh pertama 2025, terbesar dalam sejarah.
Bagi AS, justru semakin besar tekanannya. Semakin besar pencapaian Tiongkok, tanpa konsesi dari AS, Tiongkok tetap melaju.
Itulah kekuatan dari sikap pembangunan secara mandiri.
Namun bagi AS, mereka datang dengan niat yang jelas dengan menuntut 4 syarat utama, termasuk soal mengakuisisi Tik-Tok secara paksa dengan harga murah.
Kelebihan kapasitas industri Tiongkok, namun semuanya ditolak tanpa satupun yang disepakati.
Isu yang jelas seperti masalah Taiwan yang tidak bisa dinegosiasikan.
Jika ini hanya untuk tekanan, artinya mereka ingin negosiasi berhasil. Tapi jika itu syarat mutlak, berarti mereka memang tidak berniat untuk mencapai kesepakatan.
Lalu, kenapa sikap AS tiba-tiba jadi sangat keras, padahal yang mengemis untuk bertemu adalah mereka?
Setelah negosiasi selesai, perwakilan AS, Bessent, mengeluarkan 2 pernyataan penting, yaitu:
“Saya pikir Tiongkok akan terkejut dengan skala dan isi perjanjian AS dengan Jepang dan Uni Eropa. Mereka tidak menyerah tapi sekarang lebih tertarik membuka diskusi yang luas.”
Intinya AS mengira Tiongkok akan ketakutan dan menyerah.
“Kami tidak ingin Decoupling (putus hubungan ekonomi), hanya ingin mengurangi resiko di sektor strategis, seperti semi konduktor, rare earth dan farmasi.”
Nah, kalau hanya seperti itu, seharusnya sejak kemarin kesepakatan sudah bisa tercapai.
Faktanya Trump ingin merampok lebih jauh. “Nah ini semakin lunak lawannya, semakin semau Gue tuntutannya.”
Apa sih keinginan Rambo Trump?
1. Undangan resmi dari Tiongkok agar ia bisa melakukan kunjungan kenegaraan, tujuannya:
Mengalihkan isu dan aib besarnya di AS, seperti Skandal Epstein perdagangan seks dan pelecehan seksual terhadap puluhan gadis di bawah umur selama bertahun-tahun.
2. Pemulihan ekspor energi dan produk pertanian AS ke Tiongkok–ini dari mayoritas kalangan pendukungnya dalam pemilu.
Namun kedua hal ditolak mentah-mentah oleh Beijing. Rambo Trump kembali ke AS dengan wajah murung, bahkan langsung marah kepada Rusia saat di pesawat. “Rusia harus hentikan perang dalam 10 hari!”
“Eh tunggu dulu Mr Trump, Mr Putin tidak sesabar Mr Xi ya….”
Kesimpulan
Tiongkok tetap pada prinsip, “kalau mau nego Ok, tapi bicara dalam kesetaraan, tidak akan tunduk dengan tekanan apapun. Bahkan siap melayani segala perang dalam bentuk apapun secara keseluruhan dari Elang Botak.”
Posisi Trump semakin sulit:
1. The Fed tidak mau nurut untuk soal suku bunga yang semakin memberatkan hutang nasional yang tidak mungkin dilunasi lagi.
2. Tekanan Rakyat AS terhadap isu Eipstein yang semakin ramai dan meluas.
3. Kesepakatan dengan Jepang dan Eropa masih semu (bisa berubah setiap saat). Kenapa? Karena semua negara ini ingin melihat hasil kesepakatan terakhir dari dua Adi Daya Dunia.
Sebetulnya Rambo Trump itu sangat butuh kerja sama dengan Beijing. Jadi nanti yang akan mengemis minta negosiasi lagi dapat dipastikan pihak AS. Kita lihat saja nanti.
Trump Effect – The World doesn’t need America anymore. [mc]
*Chen Yi Jing, Pemerhati Geopolitik dan Ekonomi.
