Taiwan Hanya Pion yang Bisa Dikorbankan Kapan Saja

“Tiongkok tidak akan makan pion, dan tidak pernah mempersiapkan diri untuk menyerang Taiwan.”
Nusantarakini.com, Jakarta –
Taiwan hanyalah anak yang tersesat selama puluhan tahun dan Ibu Pertiwi-nya menunggu dengan sabar agar mereka kembali ke rumah besarnya.
Tapi ada satu negara yang panik kehilangan pengaruh dan dominasinya, yaitu Amerika Serikat (AS) .
Dan satu lagi, kekuatan baru yang secara pelan-pelan tapi pasti mengambil alih kembali dunia yang telah hilang selama ratusan tahun.
Nah, di tengah perseteruan ini, Taiwan yang sebenarnya anak yang hilang tapi dijadikan pion oleh AS seperti main catur. Dia bukan raja, bukan pula ratu, hanya pion.
Tapi banyak analisis geopolitik top dunia menyebut Taiwan sebagai salah satu wilayah dengan resiko tertinggi menuju konflik militer besar. Karena Tiongkok-Amerika kini berada dalam fase kontestasi geopolitik terbesar sejak era perang dingin.
Dan menurut para analisis, berdasarkan teori geopolitik klasik, kalau ada kekuatan baru yang naik, adalah Tiongkok. Dia mulai menggeser kekuatan lama Amerika, pasti ada gesekan. Dan gesekan ini hampir selalu berujung ke perang besar.
Graham Allison, Profesor dari Harvard yang meneliti soal ini, menyebutnya sebagai Tucidides Trap, jebakan Tucidides, nama dari sejarah Yunani kuno.
Intinya adalah ketika satu kekuatan naik dan yang satunya lagi takut digeser 10 dari 12 kali dalam sejarah dunia itu akan berakhir dengan perang.
Nah sekarang kita sedang berada di dalam momen itu, maka Taiwan dijadikan penting dan posisi yang strategis oleh Amerika.
Bahkan bukan hanya itu, Taiwan dijadikan simbol pertarungan ideologi demokrasi dan meritokrasi.
AS paling suka dengan narasi ini buat menaikkan moral publik dan konsumsi dalam negeri dan juga senjata utama mereka.
Ingat waktu Ronald Reagan dalam perang dingin menyebut Uni Soviet sebagai Empire of Evil? Nah sekarang mereka ingin membuat Tiongkok menjadi sosok jahat yang baru.
Jadi Taiwan di mata Amerika bukan cuma soal geopolitik, tapi juga panggung retorika. Sangat cocok buat kampanye menarik simpati.
Dari kesemuanya adalah bentuk ketakutan yang mendalam. Sesuatu yang mungkin tidak kita sadari yakni ketakutan akan Yellow Peril alias bahaya kuning.
Mungkin kita berpikir, “Ah itukan Rasis sudah tidak relevan sekarang.” Tapi tunggu dulu, ketakutan terhadap dominasi Asia, khususnya Ras Asia Timur itu sudah mengakar dalam pada imajinasi Barat. Sejak zaman Mongolia yang menyerbu Eropa sampai ke kebijakan anti imigran Asia di Amerika.
Ini bukan teori konspirasi. 130 tahun yang lalu kongres AS mengeluarkan Chinese Exclusion Act. Itu adalah hukum yang secara eksplisit melarang imigrasi dari Tiongkok.
Lalu sekarang ketika Tiongkok sedang naik sebagai kekuatan ekonomi dan militer, memori kolektif ini bangkit lagi. Jadi bukan soal kebijakan yang rasial. Tapi bentuk ketakutan ekonomi, militer, dan geopolitik. Mereka tidak bisa menerima kalau dunia bakal dipimpin oleh bangsa Asia. Mereka tidak bisa lagi mengatur dan mengendalikan dunia lagi.
Jadi apakah Amerika benar-benar peduli Taiwan? Benarkah Amerika memiliki hati yang suci demi HAM untuk memerdekakan Taiwan?
“Iya pasti nggaklah.” Taiwan hanya dijadikan pion, tumbal untuk menghadang Yellow Peril, Taiwan yang hilang tahun 1895 dalam perang Sino Jepang.
Tahun 1949 mestinya Taiwan sudah kembali ke Tiongkok. Namun karena masalah intern, hingga sekarang menjadi tersesat.
Walaupun punya demokrasi, tapi di sisi lain,Taiwan tidak pernah menjadi negara yang diakui penuh secara internasional.
Apakah suatu hari Amerika berani secara resmi mengakui Taiwan sebagai negara yang merdeka?
Mike Pompeo pernah mengusulkan itu. Dan dia langsung datang ke Taiwan dan bicara langsung soal pengakuan itu.
Namun mereka tidak berani melakukannya, karena AS tahu persis, itu seperti melempar bensin ke dalam api.
Maka Taiwan dapat dibilang hanya pion. Pion itu tidak pernah punya kontrol penuh, mereka cuma bisa maju selangkah.
Pion hanya akan dijadikan korban untuk menyelamatkan bidak yang lebih penting. Dan Trump terkenal dengan gaya deal maker-nya.
Di mata Trump, sekutu itu bukan teman, tapi aset. Dan aset itu bisa dijual kalau harganya pas atau cocok.
Nah aset yang mereka miliki, Taiwan, itu bisa menekan Beijing agar menuruti kepentingannya yang gila-gilaan.
Sebagai contoh, masalah Taiwan malah dijadikan bargaining power soal negosiasi tarif yang gagal di Swiss pada 29 Juli 2025 kemarin.
Menekan sambil menyalakan api peperangan di Selat Taiwan LCS (Laut China Selatan) dengan latihan bersama sekutunya secara ugal-ugalan. Sambil berharap Beijing melepaskan tembakan ke Taiwan, bahkan menyerbu Taiwan.
Namun harapan tinggal impian, karena Tiongkok tidak akan memakan pion. Kalaupun perlu, yang dimakan pastilah Raja atau Menterinya.
Apalagi Tiongkok tidak pernah ada secara khusus untuk mengambil kembali Taiwan dengan militer. Yang ada hanya provokasi dan ilusi Amerika dan sekutunya.
Sehingga dapat disimpulkanl kemerdekaan Taiwan adalah ilusi. Kembalinya anak tersesat ke pangkuan Ibu Pertiwi adalah pasti. [mc]
*Chen Yi Jing, Pemerhati Geopolitik dan Sosial Ekonomi.
