Trump Ultimatum Tarif kepada 150 Negara, Tapi Melunak kepada Lawan Terbesarnya

Nusantarakini.com, Jakarta –
Ada satu hal yang membuat panggung geopolitik mirip dengan drama sinetron Korea yakni Perang Dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok.
Tidak Seperti yang kita lihat di permukaan, Presiden Amerika Serikat Donald Trump hadir lagi dengan twist yang tidak biasa, namun polanya tetap jurus lama (tarif).
Namun ini bukan sekedar perang tarif maupun perang dagang, tapi tentang dominasi dan pengaruh global serta manipulasi teknologi. Dan para raksasa paham betul cara bermain dalam kekacauan.
CEO NVIDIA, perusahaan teknologi terbesar di Amerika tiba-tiba tersenyum-senyum lalu terbang ke Beijing. Ada apa gerangan?
Kebijakan luar negeri Trump itu bisa diartikan satu kata. Dalam bahasa Latin FICTUS atau zero sum game artinya celakalah bagi yang kalah.
Dengan logika sangat sederhana, kalau kita lemah dan takut ancamannya. Ya siap-siap saja bakal dihajar habis-habisan seperti negeri tetangga kita.
Namun andai kata kita bisa dan berani melawannya, justru Trump akan mundur. Kisah klasik itu yang sedang terjadi pada Tiongkok. Di satu sisi dia akan sangat keras dengan Tiongkok, tapi kenyataannya justru memberi kelonggaran ke NVIDIA buat chip ke Tiongkok. Padahal awal perangnya untuk menghentikan Tiongkok adalah penjualan chip canggih ke Tiongkok.
Chip-chip untuk IA sebelumnya dilarang sangat keras masuk ke Tiongkok, namun kenapa tiba-tiba dilonggarkan? Sebetulnya ini pertanda Trump dan seluruh penghuni Washington merasa frustrasi. Segala upaya serangan buat menahan laju perdagangan Tiongkok ternyata gagal total.
Ekspor Tiongkok tetap melaju. Dalam 6 bulan pertama, nilai ekspornya mencapai 1,8 trilliun dollar ke seluruh dunia. Ke Amerika memang turun hampir sepertiga. Tapi ke Eropa, Afrika dan Asia Tenggara tetap stabil bahkan naik 10% lebih.
Coba kita melihat secara logika. Trump pasang tarif tinggi agar supaya perusahaan keluar dari Tiongkok. Semua strategi dijalankan, namun ekonomi Tiongkok tetap berjalan dan hanya tergores sedikit.
Sementara AS ngos-ngosan. Dan ini baru pada permukaannya. Sementara Washington sibuk teriak, Tiongkok ancaman dunia!
CEO NVIDIA, Jensen Huang, justru terbang ke Beijing. Dan yang dilakukan Sang CEO adalah ngobrol-ngobrol sambil memuji-muji teknologi Tiongkok.
Bahkan semacam menghormati pada potensi pasar robotika di sana. NVIDIA paham masa depan chip bukan lagi data center AS, tapi robotika. Karena yang memiliki kombinasi sempurna untuk menjadi pemimpin dunia robotika adalah Tiongkok.
Mereka punya Al yang kompetitif. Mereka ahli dalam elektronik dan megatronik. Serta mereka punya basis manufaktur yang sangat besar.
Tiga kombinasi itu tidak ada yang memiliki selain Tiongkok. Dan Jensen sangat paham, kalau ingin NVIDIA tetap eksis dan tumbuh di masa depan dia harus ada di ekosistem itu.
Mari kita geser ke sisi lain Gedung Putih. Trump punya rencana baru yang super ambisius. Dia akan kirim surat ultimatum ke lebih dari 150 negara.
Intinya semua negara itu wajib membayar tarif sebesar 10 atau 15%, kalau mau ekspor barang ke AS. Tidak ada negosiasi.
Kenapa Trump menekan hampir semua negara tapi malah lembut ke Tiingkik?Trump sangat cerdik, dia ngerti kalau dia tidak bisa perang dengan semua negara sekaligus. Jadi dia berdamai dulu dengan musuh yang paling kuat, Tiongkok. Lalu hantam yang lainnya.
Tapi mari kita lihat realitanya. Kalau benar tarif 10 sampai 15% dijatuhkan ke 150 negara, siapa yang paling menderita? Apakah negara-negara yang terkena ultimatum itu?
TIDAK, justru yang paling menderita adalah konsumen Amerika sendiri. Karena kalau biaya import naik, maka harga barang pun ikut naik dan daya beli akan turun.
Lihat saja laporan Juni kemarin. Penjualan retail kelihatan naik, tapi cuma efek perbandingan dari bulan Mei yang jeblok.
Artinya pasar mulai lesu. Kalau Trump masih merasa Rambo menjalankan terus kebijakannya yang nendang kiri-kanan tanpa arah, kita bisa lihat inflasi langsung naik. Bahkan bisa mencapai sampai 30% untuk kategori-kategori beberapa produk.
Buktinya The Fed tidak berani turunkan suku bunga yang akan ikut memicu lajunya inflasi. Walaupun Trump meminta sampai mengancam untuk menggantikan posisi Ketua The Fed Jerome Powell.
Dan jangan lupa semua ini terjadi pada saat Amerika terancam kehilangan posisi teknologinya.
Bagaimana kalau Amerika putuskan hubungan kerja sama dengan Tiongkok? Rasanya tidak sesederhana itu.
Amerika sangat bergantung barang-barang Tiongkok. Mulai dari kaos kaki, elektronik, tanah jarang, komponen manufaktur kritis sampai komponen teknologi tinggi.
Bahkan perusahaan-perusahaan Amerika pun sangat tergantung pada pasar di Tiongkok. Misalnya tahun 2024 mereka kantongi senilai 1,2 T dollar.
Nah kalau Tiongkok yang memutuskan untuk tidak mau memakai merek Amerika lagi, maka Apple, Nike, Coca-Cola bahkan Starbuck akan tamat riwayatnya.
Dan ini bukan teori. Starbucks pada tahun 2020 masih dominan. Tapi sekarang brand kopi lokal seperti Luckin Coffee sudah punya lebih dari 20.000 gerai di seantero Tiongkok.
Sementara Starbuck masih kurang dari 8000 gerai, bahkan sudah mulai tutup. Kenapa? Karena Luckin fokus pada layanan antar, harga lebih murah, dan kualitas yang semakin bagus.
Ini adalah contoh nyata. Kalau Tiongkok mau, mereka sepenuhnya mampu menggantikan barang merk Amerika dengan brand lokal. Dan itu tidak akan merugikan konsumen mereka, tapi justru sebaliknya lebih menguntungkan mereka.
Trump sekarang sedang menyiapkan langkah paling ekstrem dalam sejarah perdagangan modern untuk menghentikan Tiongkok. Namun kali ini mungkin dia terlalu percaya diri.
Namun Tiongkok bukan lagi negara pabrik murah seperti dulu, tapi pemilik supply chain, pemimpin teknologi tinggi dengan pangsa pasar terbesar.
Perusahaan sebesar NVIDIA mulai berpindah arah. Mereka tidak lagi percaya penuh pada Washington. Mereka paham masa depan ditentukan oleh pasar yang berkembang dan itu bukan di Amerika.
Kita sedang berada di titik balik sejarah. Amerika sedang mencoba mempertahankan posisinya dengan kekuatan penuh. TAPI DUNIA MULAI PERPALING. [mc]
*Chen Yi Jing, Pemerhati Geopolitik, Sosial dan Ekonomi.
