Siklus Peradaban: Bermental Perang Dingin, Amerika Gagal Memahami Tiongkok

“Kekuatan sejati sebuah negara, bukan diukur dari kekuatan militer saja, tapi seberapa bahagia dan sejahtera warganya.”
Nusantarakini.com, Jakarta –
TIONGKOK adalah ancaman buat Amerika Serikat (AS); dan Negeri Tirai Bambu ini adalah negara komunis yang tidak bisa dipercaya. Kira-kira seperti itulah yang ada dipikiran para politisi AS termasuk Presiden Donald Trump. Bahkan ini sudah menjadi semacam slogan yang terus menerus diulang-ulang di berbagai media Barat dan media sosial.
Apakah benar seperti itu atau bahkan gagal memahami Tiongkok? Benarkah Negeri Panda ini telah mencuri pekerjaan penduduk AS khususnya kelas menengahnya?
Prof Kishore Mahbubani, seorang diplomat dan cendekiawan yang sudah keliling berbagai negara menyampaikan bahwa, masalah utama ekonomi Amerika bukan karena Tiongkok, tapi masalah internal mereka sendiri; di mana Amerika kini sudah berubah sebagai Negara Plutokrasi.
Plutokrasi adalah sistem politik dan ekonomi yang dikontrol hanya segelintir orang kaya (kapitalis), sehingga semua kebijakan penting di kongres hanya untuk kepentingan dan keuntungan 2% hingga 3% rakyat Amerika.
Lalu yang lainnya cukup disuap dengan subsidi besar-besaran. Hal ini bukan propaganda omong kosong, karena juga pernah disampaikan oleh Paul Walker, mantan Kepala Federal Reserve Amerika.
Hal yang sama pernah disampaikan oleh pemenang nobel, yaitu Joseph Stiglitz dan Paul Krugman, yang mengatakan bahwa ekonomi AS bermasalah. Dan AS harus beralih ke State Lead Economy, yang mana peran negara harus lebih dominan.
Jadi ini bukan propoganda iseng dan menyangkal bahwa Tiongkok telah mencuri pekerjaan warga AS seperti yang disampaikan Rambo Trump. Akan tetapi AS sendiri yang gagal mengurus masalah strukturalnya sendiri. Jadi bukannya mencari berbagai cara untuk memberhentikan Tiongkok, tapi bagaimana menemukan cara untuk membereskan urusan rumah tangganya sendiri.
Apakah benar Tiongkok adalah negara komunis klasik ala Uni Soviet? Kalau Anda masih berpikiran seperti itu rasanya anda perlu liburan ke Tiongkok.
Kishore Mahbubani menyampaikan pengalamannya ketika berkunjung ke Moskow tahun 1976 dan di sana dia melihat langsung kehidupan negara komunis Uni Soviet. Barang-barang langka, kontrol ketat bahkan hanya untuk membeli sikat dan pasta gigi pun susah.
Sekarang mari kita bandingkan dengan kondisi Tiongkok saat ini. Ketika kita mendarat di bandara Beijing ataupun bandara Shanghai, langsung merasa masuk ke dunia yang super modern. Seperti pindah dari bandara dunia kelas tiga ke bandara kelas pertama. Begitu melangkah keluar kita melihat infrastruktur yang telah melaju jauh di depan. Mal-mal besar bertebaran, produk melimpah, jalan tol, jalan raya lebar-lebar dan kereta api cepat ada di mana-mana.
Kalau Tiongkok benar-benar komunis klasik yang tertutup, kenapa ekonominya maju seperti ini? Lebih gila lagi, tahun 2019 sebelum pandemi Covid-19, tercatat hampir 140 juta masyarakat Tiongkok melakukan kunjungan ke luar negeri untuk liburan, bisnis, dan study.
Mungkin sudah saatnya Amerika dan Negara Barat berhenti melihat Tiongkok dengan kaca mata semasa perang dingin.
Apa rahasia di balik Kebangkitan Tiongkok?
Banyak orang mengira, bahkan Dunia Barat mengira Tiongkok maju, kuat dan menjadi kaya karena licik, manipulasi pasar dan mencuri teknologi Barat. Faktanya justru teknologi Tiongkok lebih maju dan lebih canggih dari Barat. Mungkinkah 6G mencuri dari 4G?Tiongkok tumbuh karena mereka belajar dan menerapkan pilar-pilar kebijakan ekonomi Barat.
Kapitalisme, perjanjian perdagangan bebas, pasar bebas maupun investasi asing, semua itu mereka adopsi dan modifikasi sesuai dengan kebutuhan dan kebudayaannya.
Saat Tiongkok makin terbuka, justru Amerika malah mundur keluar dari perjanjian perdagangan bebas. Padahal secara teori ekonomi, langkah itu justru membuat pertumbuhan semakin melambat. Jadi siapa yang lebih komunis klasik?
Tiongkok yang embrace perdagangan bebas, justru Amerika yang proteksionis (sanksi sana sini,larang sana larang sini).
Budaya dan Filosofi Politik
Budaya Amerika itu bangga dengan kebebasan individu (HAM). Buat mereka itu adalah nilai tertinggi dalam hidup. Berbeda dengan budaya Tiongkok yang tertib. Mereka percaya bahwa keamanan, kesejahteraan, dan kemakmuran masyarakat lebih penting dengan kebebasan individu.
Maka masyarakat Tiongkok tidak keberatan kalau ada beberapa aturan sosial politik yang mungkin buat mereka di Barat terlihat terlalu mengikat.
Misalnya, tidak ada pemilu, pemimpin mereka dipilih oleh perwakilan yang dipercaya oleh rakyat. Pembatasan penggunaan media sosial atau aturan-aturan lain untuk ketertiban dan melindungi stabilitas sosial.
Selama mayoritas rakyatnya merasa sistem itu adil dan membuat hidup mereka lebih baik, aman dan sejahtera itu tidak salah (kucing yang baik bisa menangkap tikus).
Kishore Mahbubani juga mengatakan bahwa masyarakat Tiongkok dan Asia telah menemukan keseimbangan mereka sendiri. Tiongkok maju tidak akan menjadi Barat. Mereka akan mempertahankan “kecinaannya,” mereka tidak copy paste budaya Demokrasi Liberal. Karena Tiongkok paham bahwa budaya dan peradabannya lebih tua dan lebih canggih; dan mereka memiliki jalannya sendiri.
Inilah kenyataan saat ini yang tidak bisa diterima oleh Amerika. Dunia tidak lagi menjadi dominasi gaya hidup Barat dan sistem demokrasi Barat. Sehingga mereka (AS) gagal paham akan kebangkitan Tiongkok, karena masih bermental perang dingin. Kesalahpahaman ini sangat berbahaya bagi AS.
Karena Gedung Putih akan membuat kebijakan luar negerinya melenceng jauh. Aluh-alih fokus memperbaiki masalah di dalam negeri, mereka malah sibuk mencari musuh di luar, provokasi perang, perang dagang dan perang tarif. Akibatnya mereka semakin cepat kehilangan dominasinya.
Menurut Kishore Mahbubani, cara terbaik bagi AS dan yang dibutuhkan AS untuk tetap kuat adalah berhenti memprovokasi serta duduk bersama dengan Tiongkok untuk bekerja sama. Tinggalkan mental perang dingin. Dunia ini tidak harus menjadi ajang Zero Sum Game, harus ada pihak yang kalah atau menang.
Berkolaborasi bukan konfrontasi, yaitu dengan investasi, bangun pabrik, kolobarasi teknologi, kerja sama untuk teknologi angkasa luar untuk misi kemanusiaan dll. Kerja sama yang saling menguntungkan.
Namun AS masih memiliki perspektif seolah-olah hegemoni dominasi mereka atas dunia adalah hal yang wajar dan akan berlangsung selamanya.
Mari kita lihat dari perspektif sejarah dengan tarik garis panjang sejarah, yang terjadi justru sebaliknya. Faktanya dari abad ke-1, tahun pertama hingga 20 tahun sebelum abad ke-19, GDP Tiongkok masih mendominasi 1/3 dari GDP Dunia.
Sepanjang lebih dari 1800 tahun, dua kekuatan ekonomi terbesar dunia itu selalu ada di Timur, yaitu Tiongkok dan India.
Baru terakhir belakangan ini, hampir 200 tahun Barat baru bangkit dan mendominasi. Sedangkan AS baru menjadi kekuatan besar setelah perang dunia kedua (80 tahun).
Sehingga sebenarnya saat ini, abad ke-21, Tiongkok bangkit itu bukan anomali, tetapi justru itu kembali ke pola sejarah yang normal. Yaitu SIKLUS PERADABAN, kembalinya status KAISAR yang telah hilang selama hampir 200 tahun. [mc]
*Chen Yi Jing, Pemerhati Geopolitik, Sosial dan Ekonomi.
