Warkop-98

Catatan tentang Islam Liberal (2): Ketika Wahyu Dianggap Teks

Nusantarakini.com, Jakarta –

Di sebuah pagi yang hening, seorang sahabat lama bertanya, menanggapi tentang Catatan Saya tentang Islam Liberal 1.

“Bukankah liberal itu cuma berarti modern? Lawannya konservatif?”

Saya terdiam sejenak. Lalu menjawab,

“Tidak, Pak Mok. Dalam pemikiran Islam, ‘liberal’ itu bukan sekadar modern. Ia bukan tentang kemajuan, tapi tentang arah berpikir yang mulai melepaskan akar tempat berpijak.”

Liberal dalam konteks Islam bukanlah modernisasi dalam makna membangun rumah dengan atap yang lebih baik, tapi membongkar fondasi rumah itu sendiri, lalu menggantinya dengan konsep rumah yang sama sekali lain — tanpa pilar iman, tanpa tiang wahyu.

Wahyu: Petunjuk atau Teks?

Bagi kita, Al-Qur’an adalah wahyu. Kalamullah. Petunjuk yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya ﷺ — bukan sekadar kumpulan kata. Kita pahami ia bukan sebagai teks beku yang harus dibedah dengan pisau linguistik belaka, tapi sebagai cahaya yang hanya dapat dibaca dengan mata hati yang bersih.

Maka tafsir bukan sekadar menerjemah, tapi mengikuti jejak Nabi, para sahabatnya, para tabi’in, dan ulama-ulama pewaris ilmu.

Mereka membaca Qur’an bukan dengan kacamata sejarah semata, tapi dengan takwa dan adab.

Tapi, Islam liberal datang membawa alat baru: Hermeneutika.

Sebuah metode tafsir dari dunia filsafat Barat.

Bagi mereka, Qur’an adalah teks historis.

Harus ditafsir ulang.

Makna lama harus di-dekontruksi.

Ulama klasik dianggap terikat zaman.

Pemikiran Nabi dianggap bagian dari konteks Arab abad ke-7.

Saya tertegun.

Jikalau Al-Qur’an adalah teks bebas tafsir,

lalu apa bedanya ia dengan novel filsafat?

Dan bila tafsir Nabi pun dianggap ketinggalan zaman,

maka siapa lagi yang dapat dipercaya memahami kehendak Tuhan?

Dekonstruksi: Kota Ilmu yang Diratakan

Islam liberal meminjam istilah dari Derrida. Mereka bicara soal dekonstruksi syariah.

Mereka bayangkan warisan keilmuan Islam seperti kota tua yang semrawut.

Agar tertata, katanya, kota itu harus dibuldozer, diratakan.

Lalu dibangun ulang dengan tata ruang baru.

Tapi mereka lupa:

Kota itu bukan hanya bangunan — ia juga sejarah. Ia jiwa. Ia nyawa.

Dalam semangat membongkar, mereka lupa adab.

Dalam keinginan menjadi modern, mereka kehilangan akar.

Yang tersisa hanyalah reruntuhan yang mereka sebut “kemajuan”.

Agama Itu Bening, Bukan Bising

Buya Hamka pernah berkata,

“Orang yang kehilangan adab dalam beragama, lambat laun akan kehilangan agama itu sendiri.”

Saya menyaksikan gejala itu hari ini.

Orang bebas bicara tafsir tanpa rujuk ke Nabi.

Orang merasa cukup dengan logika dan kamus.

Tapi mereka lupa, Qur’an turun bukan hanya untuk dibaca — tapi untuk ditundukkan hati padanya.

Penutup: Kita Tak Anti Ilmu, Tapi Wajib Setia Pada Wahyu

Kita bukan anti pemikiran.

Kita tidak menolak ilmu.

Kita bersyukur pada kemajuan zaman.

Tapi kita tetap percaya, bahwa dalam setiap perubahan, ada sesuatu yang harus dipertahankan:

keimanan.

adab.

ketersambungan ilmu dari Nabi kepada kita.

Tanpa itu semua, Islam tinggal nama.

Dan Al-Qur’an hanya menjadi buku sejarah yang tak lagi memberi Cahaya. [mc]

*Agus M Maksum, Kolumnis.

(Catatan Tentang Islam Liberal – Bagian Kedua)

*Sumber dan foto: Facebook Agus Maksum.

Terpopuler

To Top