Catatan Islam Liberal (1): Formaci, Inkubator Cikal-Bakal Jaringan Islam Liberal

Nusantarakini.com, Jakarta –
Ketika saya mengulas soal pemikiran “santun” ala Nadirsyah Hosen, banyak yang langsung menyebutnya bagian dari Islam Liberal. Karena itu, tulisan ini saya buka dengan menelusuri akar intelektual gerakan itu: Formaci.
Fenomena Islam Liberal di Indonesia tak muncul begitu saja. Selain Ia bersemi dari kampus luar negeri dan/ atau konspirasi asing melalui program dan beasiswa Amerika dan Zionis. Ia juga bertunas dari ruang-ruang diskusi kecil di dalam negeri — dari lorong-lorong asrama mahasiswa Ciputat, dari selasar mushalla kampus IAIN, dari warung kopi di seberang jalan serta menyusup ke berbagai gerakan Mahasiswa Islam. Di situlah mereka tumbuh. Lalu mekar. Lalu menyengat.
Saya mengenal mereka — bukan sekadar lewat artikel atau meme yang ramai di media sosial. Tapi secara langsung. Lewat diskusi. Kadang debat. Kadang makan bareng. Kadang cuma diam-diam mengamati, dan mencatat dalam hati. Tahun 90-an, saya berinteraksi dengan beberapa dari mereka. Nadirsyah Hosen, Ahmad Sahal, Abbas, Rahman, Ray Rangkuti, Nong Darol Mahmada (yang belakangan dikenal sebagai istri Guntur Romli) — mereka adalah wajah-wajah muda penuh semangat pada zamannya.
Formaci: Forum Mahasiswa Ciputat
Nama forum mereka Formaci — singkatan dari Forum Mahasiswa Ciputat. Ini bukan organisasi resmi. Tak punya AD/ART yang di sahkan pemerintah. Tapi ia hidup. Tumbuh seperti jaringan bawah tanah intelektual muda. Diskusinya liar, terbuka, kadang tak terbayangkan oleh nalar santri konvensional. Di dalamnya, mereka membedah kitab kuning, tapi juga menyelipkan bacaan seperti Derrida, Foucault, dan Habermas serta bacaan terlarang di zamannya karya-karya Pramudya Ananta Toer juga kisah serta narasi Kyai Misbah Solo seorang Kyai yang menjadi Komunis.
Saya tahu, mereka punya kegelisahan khas: merasa tidak dianggap merasa tidak di perhitungkan dalam kancah pemikiran Islam pada waktu itu.
Di era itu, tokoh-tokoh keislaman yang tampil di TV atau mimbar-mimbar masjid besar justru datang dari latar belakang teknokrat: Bang Imad, Adi Sasono, Yusril, Amien Rais, Fuad Amsyari, Prof Baequni, dan lainnya.
Sementara mereka, yang belajar kitab sejak dini, justru seolah jadi pelengkap — hanya pengisi waktu pada seminar keagamaan yang tidak terlalu penting.
Maka, Formaci menjadi tempat “mencari panggung.” Tapi bukan panggung retoris, melainkan panggung pemikiran. Dari Formaci, mereka naik kelas ke KIUK (Kajian Islam Utan Kayu) — forum yang digagas oleh Goenawan Mohamad dan teman-teman budayawan di Komunitas Utan Kayu. Lalu dari sana, mereka melahirkan yang kini dikenal dengan nama JIL (Jaringan Islam Liberal).
Arus Postmodernisme dan Jalan Singkat Menjadi Tokoh
Dalam perjalanannya, mereka menemukan semacam jalan tol menuju publikasi dan pengakuan: postmodernisme. Di bawah pengaruh pemikiran Gus Dur, Cak Nur, dan arus intelektual Barat, mereka mulai mempopulerkan ide-ide seperti:
• Dekonstruksi dan rekonstruksi syariah
• Al-Qur’an sebagai teks historis
• Syariat perlu ditafsir ulang
• Semua pendapat ulama klasik bisa dikoreksi
Dalam pendekatan ini, semua teks adalah teks biasa — termasuk Al-Qur’an. Maka untuk memahaminya, mereka butuh alat: hermeneutika.
Ilmu interpretasi teks ini lalu jadi kiblat baru. Dan tidak lama kemudian, mereka pun mendapatkan tiket emas: beasiswa ke Barat — ke Amerika, Australia, Eropa. Untuk mempelajari lebih jauh “Islam baru”/ “Islam Liberal” Yakni Islam yang di tafsir Ulang dengan Postmodernisme dengan Hermeneutik dengan sudut pandang barat yang liberal.
Menjadi Tokoh Nasional Lewat Kontroversi
Dengan cepat, mereka menghasilkan tafsir baru. Pandangan baru. Yang tentu saja… kontroversial.
Bahwa jilbab itu bukan kewajiban.
Bahwa shalat Jumat bisa imami oleh perempuan.
Bahwa LGBT adalah HAM .
Bahwa tafsir sahabat Nabi adalah produk masa lalu yang bisa dikoreksi.
Bahwa syariat adalah konstruksi budaya.
Pendapat-pendapat seperti ini bukan sekadar “beda pandangan.” Mereka mengguncang mainstream. Dan seperti kita tahu, semakin gaduh sebuah pendapat, semakin cepat ia melambungkan nama.
Dan benar saja, mereka pun naik ke permukaan. Diundang bicara di televisi. Masuk dalam jajaran tokoh muda Islam progresif. Bahkan dalam beberapa kasus, jadi alat lunak diplomasi ideologi negara-negara besar — lewat proyek demokratisasi, dialog lintas iman, hingga program deradikalisasi serta sang tokoh cepat mendapat beasiswa S2 dan S3 ke Barat.
Tentang Harimau dan Singa
Sebenarnya masih panjang cerita ini. Termasuk kelanjutannya yang melibatkan konflik internal, pembelotan ide, dan yang tak kalah menarik: bagaimana sebagian dari mereka kini tak lagi percaya pada gagasan yang mereka lahirkan sendiri mereka dulu kekiri-kirian sekarang menyeberanv jauh ke kanan menjadi motor Kapitalis dalam Demokrasi liberal dalam peran mereka dalam berbagai lembaga survei dan buzzer serta politisi.
Tapi saya simpan dulu.
Saya ingin mengakhirinya dengan satu kisah pendek. Kisah harimau dan singa.
Katanya, harimau tak pernah menaklukkan hutan dengan cara mengaum. Tapi dengan cara mengintai, menyergap, dan menggigit tepat di leher.
Sedangkan singa, ia sering mengaum. Tapi sering juga dikecoh rusa kecil yang tahu arah angin.
Dalam dunia pemikiran, mungkin kita butuh keduanya. Tapi saya selalu curiga pada mereka yang terlalu cepat mengaum, tapi lupa cara menggigit. [mc]
*Agus M Maksum, Kolumnis.
(Catatan Tentang Islam Liberal – Bagian Pertama)
*Sumber dan foto: Facebook Agus Maksum.
