Analisa

Seni Perang Sun Tzu: Amerika dan Barat Telah Kalah Perang Tanpa Mereka Sadari

Filosofi klasik seni perang SUN TZU menyebutkan bahwa: “Kemenangan tertinggi adalah menaklukkan musuh tanpa harus bertempur.”

Nusantarakini.com, Jakarta –

TIONGKOK sedang membangun kekuatan global dengan cara yang tidak terlihat oleh banyak orang, bukan melalui perang atau tekanan ideologis. Akan tetapi bekerja secara diam-diam, sistematis  dan efektif melalui investasi strategis pembangunan Infrastruktur dan sistem ekonomi yang mengikat lebih dari 150 negara.

Tiongkok tidak pernah menembakkan satu peluru pun, tapi mereka sedang membangun kekaisaran yang melampaui batas negara. Sementara Amerika Serikat (AS) dan sekutunya sibuk dengan perang, sanksi, ancaman tarif dan retorika demokrasi.

Sedangkan Tiongkok bekerja dalam sunyi, mereka tidak datang dengan pasukan, tapi dengan pinjaman.

Negara yang paling berpengaruh bukanlah yang memiliki senjata terbanyak, tercanggih, dan mengancam serta menindas negara-negara lain. Akan tetapi yang mampu menancapkan pengaruhnya lewat Investasi, kontrak kerja dan membangun infrastruktur yang membentuk fondasi ekonomi global.

Di tengah pergeseran ini, Tiongkok muncul sebagai aktor utama dengan tanpa bom dan tanpa ancaman militer, tetapi dengan pinjaman lunak dan proyek infrastruktur. Konsep ini adalah sistem ekonomi yang pelan, namun mengikat banyak negara.

Tiongkok tidak membangun imperium dengan suara tembakan. Akan tetapi dengan tanda tangan di atas kerja sama yang saling menguntungkan. Memilih jalan sunyi yang jarang muncul di headline media internasional. Sementara AS dan Eropa disibukkan oleh konflik geopolitik, retorika ideologi, serta dinamika domestik.

Tiongkok menjalankan rencana besarnya tanpa gangguan. Mereka hadir bukan dengan kapal induk atau jet tempur, akan tetapi dengan proposal pembangunan. Bukan dengan ultimatum politik ekonomi, tapi dengan janji pertumbuhan ekonomi. Dan hasilnya sebuah bentuk dominasi pengaruh halus yang lebih luas cakupannya dan niscaya untuk melawannya.

Filosofi klasik seni perang SUN TZU menyebutkan bahwa:

“Kemenangan tertinggi adalah menaklukkan musuh tanpa harus bertempur.”

Tiongkok merealisasikan seni perang ini menjadi cetak biru nyata dengan mengedepankan diplomasi dalam ekspansi global. Alih-alih menggunakan pendekatan ofensif, Tiongkok memilih infiltrasi ekonomi dan pembangunan infrastruktur sebagai alat utama untuk pengaruhnya.

Misalnya, proyek Belt and Road Initiative (BRI) telah menyambungkan lebih dari 150 negara dengan jaringan jalan tol, kereta api, pelabuhan laut dalam, kabel serat optik bawah laut hingga pipa distribusi energi.

Pembangunan yang mulia dan salah satu instrumen geopolitik terbesar, begitu efektif dan legalitas formal yang menyelubunginya.

Tidak ada ancaman, tidak ada invasi fisik. Hanya perjanjian bisnis kerja sama yang ditandatangani bersama.

Pelabuhan Hambatota di Sri Lanka, Pelabuhan Pireus di Yunani dan stasiun logistik di Djibouti adalah beberapa contoh nyata bagaimana Tiongkok memperluas jangkauan militernya tanpa melepaskan satu peluru pun.

Namun kekuatan global Tiongkok tidak ditunjukkan lewat invasi militer dan pengaruh Ideologis, tidak meninggalkan jejak darah. Tetapi menawarkan solusi nyata dengan memberikan pinjaman, pembangunan Infrastruktur kepada negara-negara berkembang yang kelelahan dengan standar ganda Barat/AS.

Tiongkok datang ke Afrika, Asia Tengah, dan Amerika Latin bukan membawa pidato demokrasi atau tekanan politik. Tapi menawarkan jalan tol, pelabuhan, jaringan internet dan proyek energi. Dan yang menarik negara-negara ini lebih memilih jalan tol daripada janji demokrasi. Mereka butuh pembangunan bukan kuliah politik.

Sementara Barat sibuk menuntut reformasi pasar dan pemilu terbuka sebagai syarat pinjaman. Sedangkan Tiongkok hanya minta satu hal: komitmen bisnis jangka panjang.

Banyak negara yang sudah bosan didikte dan dikecam oleh IMF atau World Bank. Pendekatan Tiongkok ini jauh lebih menarik, karena Tiongkok tidak mendikte untuk mengganti sistem politik, hanya meminta membuka pintu bagi pembangunan. Oleh karena itu dunia tidak melihat Beijing sebagai ancaman tapi sebagai alternatif.

Ini setara dengan Tiongkok tanpa menyerang langsung ke AS tapi mencabut pondasi kekuatan yang membuat Amerika dominan selama puluhan tahun.

Strategi-strategi ini bukan dengan kekuatan militernya, namun berhasil menciptakan dominasi dan pengaruh tanpa penjajahan.

Semuanya terlihat jelas, yaitu kerja sama ekonomi. Dan yang terjadi adalah ketergantungan sistemik yang semakin dalam, bukan hanya negara-negara berkembang tapi juga termasuk negara-negara maju seperti AS dan Eropa.

Perlahan namun pasti akhirnya semua bergantung pada Tiongkok di hampir semua aspek vital. Misalnya infrastruktur dibangun dan dibiayai oleh Beijing.

Data digital disimpan di server milik Perusahaan Beijing. Jaringan 5 G, satelit dan perangkat telekomunikasi menggunakan teknologi buatan Tiongkok.

Rantai pasok energi, logistik, komponen kritis tanah jarang, hingga manufaktur global sangat bergantung input dari pabrik-pabrik di Tiongkok.

Ini yang membuat semua semakin sulit dilawan; karena tanpa invasi militer, tanpa suara tembakan, tanpa perang terbuka; dunia masuk ke dalam sistem yang mana tanpa Tiongkok mereka tidak bisa mandiri.

Inilah bentuk dominasi dan pengaruh abad modern yang canggih, tidak lagi datang lewat kekuasaan militer, tapi melalui ekonomi, teknologi dan ketergantungan struktural.

Dominasi global tidak lagi diukur dari kekuatan senjata atau ideologi, tapi dari ketergantungan ekonomi dan kontrol teknologi.

Tanpa disadari semuanya telah masuk ke dalam sistem Tiongkok. Bahkan Amerika/Barat sendiri tidak sadar bahwa mereka sudah kalah tanpa ada tembakan rudal. [mc]

*Chen Yi Jing, Pemerhati Geopolitik dan Sosial Ekonomi. 

Terpopuler

To Top