Pemekaran Besar-besaran Korupsi

Nusantarakini.com, Jakarta –
Reformasi rupanya telah berbalik arah menjadi pemekaran korupsi ke berbagai lini dan lapisan masyarakat secara besar-besaran dan masif.
Ini hanya sebuah kisah kasus. Tapi tampaknya sangat relevan sebagai cermin retak untuk mengukur kejelekan wajah bangsa ini.
Begini. Saya berbincang santai dengan orang-orang di Sumatera Utara (Sumut) terkait situasi dan perkembangan di sana. Termasuk situasi praksis korupsi yang telah menjangkiti kebudayaan masyarakat.
Awalnya saya menggali secara tidak langsung fenomena perlombaan anak warga kampung masuk tentara dan polisi. Sebenarnya hal ini bukan fenomena baru. Cuma saja saya berkesimpulan sudah makin gila-gilaan dan tentu berdampak pada suburnya manipulasi dan korupsi.
Bayangkan untuk masuk setingkat pangkat sersan, orang bisa mengeluakan dana kisaran 400 juta. Bahkan, ada saja keluarga-keluarga kaya di kampung sanggup mengeluarkan 1 milyar asal dijamin masuk dan berpangkat sersan. Sementara kalau pangkat prajurit, kisaran 200 juta.
Pasar untuk urusan begini, sebenarnya tertutup, namun tetap saja ketahuan dari orang ke orang. Mengingat begitu banyaknya orang tua yang menginginkan anaknya punya pangkat dan seragam yang bagi mereka dapat meningkatkan prestise dan membuat rasa segan.
Jaringan rekruitmen urusan ini, sebenarnya enggan untuk diungkap, karena sebenarnya sangat melanggar moral dan peraturan. Tapi yang namanya praktik di Indonesia: sama-sama tahu, sama-sama butuh uang. Tentu tidak akan ada yang mengaku bertanggung jawab secara resmi akan pelanggaran ini. Tetapi semua juga tampaknya bungkam dan memilih menikmati apa yang terjadi di bawah meja. Bisa dibayangkan akibatnya, baik pengaruh sosialnya, psikologisnya hingga daya rusak kebudayaannya.
Lain lagi dengan realita pemilihan legislatif (pileg). Masyarakat menurut pengakuan informan, justru senang sekali. Karena sekali musim pileg, pemilik suara dapat memanen uang minimal dari 5 caleg yang masing-masing diperoleh minimal Rp150 ribu. Total masyarakat pemilik suara dapat mengantongi 750 ribu hingga 1 juta rupiah.
“Lebih enak pileg daripada pilkada,” katanya.
“Sebab pilkada, calonnya hanya 2 sampai 3 pasangan. Kadang hanya dapat 400 saja dari musim pilkada. Apalagi jika lawannya, tidak ambisi untuk saling mengalahkan. Maka uang yang diedarkan ke masyarakat, jumlah tarifnya jadi sedikit,” lanjutnya.
Demikianlah sikap dan alam pikiran masyarakat kampung terkait realitas sogok menyogok di segala bidang yang makin masif mempengaruhi kehidupan mereka.
Korupsi politik dan korupsi praktik rekruitmen aparat negara sudah menjadi bagian yang dimaklumi dan bahkan dirayakan oleh masyarakat. Bisa dibayangkan dari daya rusak kenyataan ini dalam parameter nilai dan kebenaran di dalam masyarakat. Masyarakat menganggap, demikianlah adanya kehidupan: bahwa kecurangan dan eksploitasi merupakan syarat dari kehidupan itu sendiri untuk mengusahakan berpihak pada mereka.
Penyimpangan ini, tampaknya sudah susah untuk dikoreksi, kecuali karena sebab force majeure, seperti pergolakan, revolusi dan perang yang dipaksakan dari luar; seperti zaman Jepang yang mengakhiri era kolonialisme Belanda. Era korupsi sistemik dari Indonesia mungkin saya pikir hanya bisa diakhiri dengan adanya force majeure. Sebab semua pihak, dari bawah hingga ke atas, saling terkait peranan dan mengambil manfaat dari situasi korup ini.
Semoga force majeure atas izin Allah dihadirkan segera untuk memusnahkan pilar-pilar struktural dan kultural korupsi di Indonesia. Habis gimana lagi. Semua tutup mata. Sekiranya dari Presiden menembak mati biang korupsi di depan umum, mungkin ada sedikit jeda. Tapi kalau begini, lebih baik minta force majeure saja sekalian supaya yang tersiksa tidak hanya mereka yang hidup susah. [mc]
~*Bhre Wira, Putra Batak Pecinta Literasi.
