Perang Iran-Israel Kini Melibatkan Amerika, Apa Dampaknya bagi Kantong Kita?

Nusantarakini.com, Madinah –
Saya sedang di Madinah. Menepi sejenak dari rutinitas ibadah haji, duduk di pojok sebuah kafe kecil di dekat Hotel Mirage As Salam. Di tangan saya, segelas chai karak mengepul. Aromanya tajam, manis dan pedas sekaligus—seperti suasana yang terasa sore ini: panas bukan karena cuaca, tapi karena topik pembicaraan.
Perang Iran dan Israel
Bukan lagi desas-desus. Bukan lagi tembakan peringatan. Ini sudah jadi pertempuran nyata. Rudal diluncurkan. Jet tempur melintas. Amerika ikut campur. Dunia menggigil.
Dan tiba-tiba, semua jemaah di kafe ini berubah jadi analis geopolitik dadakan. Ada yang menyalahkan Iran, ada yang geram pada Israel, ada yang diam saja sambil terus menonton siaran Al Jazeera.
Tapi saya, jujur, mulai menghitung: berapa harga nasi mandi akan naik kalau perang ini makin panjang?
Minyak Naik, Nafas Ekonomi Kita Sesak
Saat rudal meluncur di Timur Tengah, harga minyak mentah juga ikut meluncur ke langit. Hari pertama perang, minyak naik 8%. Dan itu baru permulaan.
Buat Indonesia, ini bukan kabar baik. Kita ini negara pengimpor minyak. Kita beli, bukan jual. Dan kita bayarnya bukan pakai beras atau kopi—tapi pakai dolar.
Sementara rupiah, seperti biasa, gampang lelah bila disandingkan dengan dolar. Dan itulah awal dari spiral panjang:
BBM naik → ongkos logistik naik → harga sembako ikut teriak.
Kantong Kita yang Kena, Bukan Mereka
Yang perang Iran dan Israel.
Yang ikut campur Amerika.
Yang panen uang: Arab Saudi dan Rusia.
Tapi yang ikut membayar kita.
Rakyat biasa yang tinggal di gang sempit, tapi harus beli minyak mahal karena perang orang lain.
Aneh, ya?
Tapi begitulah globalisasi. Perang mereka, kantong kita yang remuk.
Lalu, Indonesia Bisa Apa?
Pemerintah kita tentu bilang akan beri subsidi. Ada BLT. Ada bansos. Tapi semua itu pakai duit siapa?
Pajak kita.
Utang negara.
Atau cetak uang.
Dan seperti semua tahu: cetak uang tanpa kontrol = inflasi.
Uang di dompet kelihatan banyak, tapi belanja hanya dapat setengah keranjang.
Sialnya, kita sudah lama hidup dengan ilusi bahwa bantuan adalah solusi. Padahal itu hanya penunda rasa sakit.
Bahaya di Luar dan Dalam
Di luar: perang, geopolitik memanas, harga minyak melonjak.
Di dalam: korupsi tak terbendung, defisit makin dalam, produksi mandek.
Rantai pasok terhambat. Manufaktur lesu.
Dan peluang lapangan kerja makin menyempit.
Duduk di kafe Madinah ini, saya mendengar banyak cerita jemaah dari berbagai negeri. Ada yang bersyukur negaranya stabil, ada yang bangga karena negaranya bisa swasembada energi.
Lalu kita? Masih berkutat dengan: kenapa minyak goreng mahal, padahal sawit di mana-mana.
Di Antara Seruputan Chai Karak
Saya menyeruput teh manis pedas itu sambil bertanya-tanya dalam hati:
Apakah ini ujian, atau peringatan?
Bahwa bangsa yang terlalu bergantung pada luar, terlalu nyaman impor, terlalu boros subsidi, terlalu cuek pada kebocoran, akan jadi korban bahkan sebelum bom dijatuhkan.
Maka, Siapkan Diri
Jangan panik. Tapi juga jangan lalai.
Kurangi konsumsi yang tidak perlu.
Cari alternatif lokal.
Lawan korupsi, mulai dari menolak sogokan kecil.
Dan sadarlah: harga damai itu lebih murah daripada harga bensin saat perang.
Kopi saya sudah habis. Eh, maksud saya teh.
Tapi gelombang perang masih terus berdentum di kejauhan.
Dan kita semua harus belajar satu hal:
Tak perlu jadi tentara untuk jadi korban perang. Kadang cukup jadi rakyat biasa, yang setiap harinya hanya ingin hidup tenang, makan cukup, dan pulang tanpa dihantui harga-harga yang naiknya tak masuk akal.
️ Catatan ini ditulis di sela ibadah, di sudut Madinah yang tenang, dengan harapan Indonesia bisa bersiap lebih dari sekadar berdoa. [mc]
*Agus M Maksum, Praktisi IT, Pegiat Media Sosial dan Literasi.
Sumber: Facebook Agus Maksum.
