Strategi Cerdas Presiden Prabowo Subianto

Nusantarakini.com, Jakarta –
Pertarungan baru di langit Asia, setelah jet tempur Rafale buatan Perancis ditembak jatuh dan dipermalukan oleh jet tempur buatan Tiongkok J-10 C. Publik mengira negara-negara mulai berpaling meninggalkan jet tempur Rafale, namun kejutan justru datang dari Indonesia.
Bukannya membatalkan pembelian tahun 2022 sebanyak 42 unit, tapi justru menambah lagi 12 unit sehingga total menjadi 54 unit Rafale dengan nilai fantastis 8,1 milliar USD.
Kenapa Indonesia justru menambah pembelian jet tempur Rafale, padahal reputasinya babak belur setelah terbukti hancur tak berbekas duel dengan J-10C?
Jawabannya bisa kita uraikan sebagai berikut:
1. Strategi Keseimbangan kekuatan. Indonesia tidak mau bergantung pada satu pihak saja. Saat ini TNI AU menggunakan campuran jet tempur dari Rusia dan Amerika Serikat (AS):
- 11 unit SU-30;
- 5 unit SU-27 kedua jet tempur dari Rusia;
- dan 24 unit F-16 dari AS.
Beberapa waktu lalu Indonesia sempat ingin menambah pembelian SU-35 dari Rusia, namun karena dapat ancaman dari Preman AS, akhirnya Indonesia putar haluan ke Perancis dengan pembelian 42 unit jet tempur Rafale.
Sedangkan untuk rencana pembelian 36 unit F -15X dari Preman AS (“tukang palak”) senilai 13.9 milliar USD tetap dilanjutkan.
Tujuannya jelas strategi cerdas untuk menciptakan keseimbangan dan saling menekan di antara produsen senjata besar.
2. Presiden Macron berjanji suci untuk alih teknologi ke Indonesia.
Macron secara terbuka menyatakan kesediaannya untuk memindahkan sebagian produksi komponen kunci Rafale ke Indonesia. Ini tawaran menggiurkan yang sulit ditolak.
Meskipun dirontokan J-10 C dalam duel di udara, namun Rafale mempunyai kelebihan fleksibilitas tempur di udara, laut maupun darat. Sehingga sangat cocok untuk Indonesia yang merupakan negara kepulauan dimana mempunyai ancaman laut yang nyata.
Tapi jangan slaah, Indonesia tidak menutup kemungkinan untuk memboyong jet tempur Tiongkok, targetnya bukan J-10C tapi saudara kandungnya yaitu ketika tempur J-10 A. Dan cukup yang bekas saja, karena sudah terbukti kecanggihan selama ini digunakan People’s Liberation Army (PLA), Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok, untuk mengawal Laut China Selatan (LCS).
Alasan lainnya adalah harga yang murah meriah. Harga J-10 C sekarang ini telah tembus 70 jt USD/unit, sedangkan J-10 A bekas hanya sekitar 30 jt USD/ unit, tidak sampai setengah harga.
Pengiriman cepat!
Rafale baru akan dikirim lengkap ke Indonesia dalam waktu 5 sampai 10 tahun. Sedangkan J-10 A bisa dikirim segera untuk mengisi kekosongan, karena F-16 dan SU-30 semakin uzur (ketinggalan waktu).
Dapat disimpulkan ini adalah langkah cerdas dan terukur. Indonesia memainkan kartu Rafale untuk menggantikan SU-30, sedangkan J-10 A menggantikan F-16.
Akhirnya jet tempur Tiongkok dan kemungkinan jet tempur Perancis akan menggusur dominasi Amerika dan Rusia di langit Indonesia.
Sementara itu, rencana AS menjual 36 F-15 EX senilai 13.9 milliar USD terancam gagal total gara-gara satu kemenangan J-10 C di medan perang dan perang tarif yang dikobarkan Rambo Trump.
Wait and see.
Salam INDONESIA Damai. [mc]
*Chen Yi Jing, Pemerhati Geopolitik dan Ekonomi Global.
