Warkop-98

Anomali Efisiensi: Cerita Tentang Mereka yang Terpinggirkan oleh Kata ‘Hemat’

Nusantarakini.com, Surabaya –

Suatu pagi yang biasa, Pak Hadi — lelaki paruh baya yang sudah dua puluh tahun bekerja di sebuah perusahaan manufaktur — mendapati secarik surat di meja kerjanya. Surat pemutusan hubungan kerja. Tanpa banyak basa-basi, tanpa ucapan terima kasih, apalagi penghargaan. Padahal, sepatu kerjanya belum pernah diganti sejak lima tahun lalu, karena ia lebih memilih menyekolahkan anaknya dengan gaji pas-pasan.

Sementara itu, di lantai paling atas gedung yang sama, seorang konsultan berdasi sedang presentasi di ruangan ber-AC dengan kopi premium. Slide presentasinya penuh istilah asing: downsizing, restructuring, optimal efficiency. Ia menjelaskan bahwa perusahaan butuh “berbenah” untuk tetap kompetitif. Lalu salah satu poinnya? “Kurangi 30% karyawan level bawah.”

Pak Hadi tak pernah tahu siapa yang menyarankan namanya untuk dipangkas. Tapi ia tahu, selama ini ia tak pernah membolos. Sakit tetap masuk. Lembur jarang ditolak. Lalu apa salahnya?

Efisiensi yang Kehilangan Nurani

Kita sering mendengar perusahaan bicara soal efisiensi. Tapi apa benar efisiensi itu selalu soal memotong orang-orang yang bekerja paling keras? Orang-orang seperti Pak Hadi?

Yang lebih mengejutkan, setelah gelombang PHK itu, perusahaan mengundang lagi tim konsultan lain. Ya, biaya mereka tidak murah. Jauh lebih mahal dibanding gaji bulanan puluhan karyawan yang baru saja kehilangan nafkah. Tapi manajemen percaya: “Ini investasi.”

Ironis, bukan? Di saat para pekerja menangis di rumah karena harus bilang ke anaknya bahwa uang sekolah belum ada, beberapa orang asing berdasi berdiskusi tentang key performance indicator dan lean management sambil menikmati kue-kue mahal dan air mineral berlabel biru langit.

Apa Sebenarnya yang Dicari?

Saya bukan anti-konsultan. Ada yang baik, tulus, dan membawa perbaikan nyata. Tapi pertanyaannya:
Apakah yang lebih mahal selalu lebih benar?
Apakah yang datang dari luar selalu lebih paham dari yang sudah hidup bertahun-tahun dalam sistem?

Dan yang lebih penting: Apakah efisiensi harus selalu mengorbankan kemanusiaan?

Tentang Mereka yang Tak Masuk Hitungan

Ada banyak kisah seperti Pak Hadi. Mereka mungkin tidak pintar bicara, tidak paham Excel, apalagi istilah benchmarking. Tapi mereka tahu bagaimana menjaga mesin tetap jalan, tahu siapa pelanggan yang cerewet, dan tahu kapan rekan kerja butuh bantuan. Mereka bukan angka. Mereka manusia.

Tapi dalam rapat-rapat strategi, nama mereka tak disebut. Tak masuk proyeksi. Tak tercantum di laporan akhir. Hanya masuk kolom “beban gaji.”

Akhir Kata

Barangkali kita perlu berhenti sejenak, menurunkan suara, dan mulai mendengarkan.

Karena efisiensi yang melupakan rasa, akan menghasilkan perusahaan yang kosong jiwanya.

Dan pada akhirnya, apa arti laba, jika yang dikorbankan adalah orang-orang yang membuat perusahaan itu bisa berdiri selama ini? [mc]

*Pak Sayuh, Sopir Trailer Suka Literasi. 

 

Terpopuler

To Top