Teknologi

Anakku Diterima di Kampus OMG

Nusantarakini.com, Jakarta –

Kepalaku puyeng. Antara nyata dan maya, antara ada dan tiada. Antara gelar dan gelar-gelaran. Membaca narasi berjudul “Anakku Diterima di Kampus OMG,” rasanya seperti membaca catatan masa depan—tapi entah masa depan siapa.

Dulu aku kira kampus itu tempat kaki menginjak lantai, mata menatap dosen, dan pikiran berkutat di ruang kelas. Tapi anak di cerita itu kuliah lewat TikTok, skripsi pakai NFT, dan dosennya hologram AI bernama Chancellor.exe. Kampusnya tak punya gedung. Tapi brosurnya gemerlap. Perpustakaannya holografik. Bahkan kantinnya bisa dikunjungi lewat headset.

Aku terdiam lama saat membaca: “Wisuda lewat drone. Sertifikat bisa dimakan. Toga menyala dan memutar lagu Imagine versi trap remix.”

Kepalaku tambah puyeng ketika tahu, anaknya mendapat gelar Quantum Narrative Engineer—dan kini bekerja sebagai konsultan realitas yang belum terjadi. Bekerja dari dapur, bicara dengan klien digital, digaji mingguan 45 ribu dolar dalam mata uang yang belum tentu diakui negara.

Apakah ini sungguhan? Apakah ini parodi? Ataukah parodi yang kini sudah jadi kenyataan?

Antara Gelar Nyata dan Ijazah Aspal

Di sisi lain, kampus-kampus tua di dunia nyata malah sedang asyik menjual “keaslian.” Mereka masih punya gedung, punya rektor, punya toga, tapi kejujuran akademiknya tinggal legenda. Di balik rapat senat, ada daftar nama yang perlu diluluskan. Di balik skripsi tipis, ada jasa pengetikan plus ide bonus.

Pejabat datang, gelar disiapkan. Surat tugas keluar, nilai disesuaikan. Dan para profesor diam—entah karena takut, entah karena sudah kenyang.

Lalu apa bedanya antara OMG di dunia maya dan Universitas Tua di dunia nyata?

Satunya terang-terangan absurd. Satunya diam-diam memperdagangkan kebohongan.

Yang satu menjual ilusi. Yang satu menjual integritas.

Dan anakku, atau anakmu, atau anak-anak bangsa ini, ada di tengahnya. Bingung memilih: kuliah beneran tapi penuh ketidakadilan, atau kuliah bohongan yang justru menjanjikan masa depan digital.

Kita Hidup di Dunia yang Sudah Gila—Dan Kita Harus Belajar Ikut Gila, Tapi Sadar

Maka tak heran kalau dunia akademik sekarang lebih mirip panggung sirkus daripada menara ilmu. Yang pakai headset dapat gelar. Yang punya koneksi dapat doktor. Yang belajar sungguhan malah bingung mau kerja di mana.

Kepalaku masih puyeng. Tapi mungkin, seperti kata anak di cerita itu:

“Thanks, Dad. Without your WiFi, I’m nothing.”

Barangkali itu memang sudah cukup sebagai filosofi pendidikan zaman ini. [mc]

*Catatan Agus M Maksum, Pemerhati Teknologi Digital. 

Terpopuler

To Top