GPN dan QRIS: Peluru Digital yang Menghantam Dolar

QRIS dan GPN bukan sekadar teknologi. Mereka adalah simbol perlawanan digital. Bukan dengan senjata atau rudal, tapi lewat transaksi harian rakyat yang pelan-pelan memutus ketergantungan pada dolar dan dominasi asing.
Nusantarakini.com, Jakarta –
Saya tertawa kecil lihat Gambar Donald Trump Protes QRIS. Tapi bukan karena lucu. Karena geli. Karena ironis.
Negara sebesar Amerika—yang bisa bikin negara lain rubuh dengan satu surat sanksi—ternyata bisa gerah hanya karena QR Code!
Betul. QRIS. Kode kotak-kotak hitam putih yang biasa kita scan di tukang pecel lele, di warung kopi kampung, di lapak-lapak UMKM pinggir jalan.
Juga GPN. Kartu debit yang di satu sisi tampak biasa, tapi di baliknya menyimpan “perang diam-diam” yang sekarang sedang bikin Visa dan Mastercard pusing tujuh keliling.
QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) sendiri adalah standar nasional kode QR untuk pembayaran digital di Indonesia. QRIS dikembangkan oleh Bank Indonesia bersama Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) untuk menyederhanakan transaksi digital, membuatnya lebih cepat, mudah, aman, dan dapat digunakan oleh berbagai aplikasi pembayaran.
Sedangkan GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) adalah sistem pembayaran nasional yang dikembangkan oleh Bank Indonesia untuk mengintegrasikan berbagai instrumen dan kanal pembayaran di Indonesia. Diluncurkan pada 2017, GPN bertujuan untuk menciptakan ekosistem transaksi yang lebih efisien, aman, dan terjangkau bagi masyarakat.
Dulu…
Bayar pakai kartu BCA, EDC-nya Mandiri, yang keluar duit malah Visa atau Mastercard.
Datanya dikirim ke luar negeri.
Uangnya dipotong biaya jaringan asing.
Transaksi domestik, tapi “izin” tetap harus ke Amerika.
Kita seperti anak kos di rumah sendiri. Mau makan mi instan saja harus izin landlord.
Lalu GPN datang.
Disusul QRIS.
Tanpa gembar-gembor, tanpa pidato panjang. Tapi diam-diam memotong kabel yang menghubungkan dompet rakyat Indonesia ke jantung keuangan Amerika.
Sekarang:
Scan QR di lapak gorengan?
Transaksinya selesai di dalam negeri.
UMKM tak lagi perlu bayar 2–3% ke luar.
Data belanja? Tetap di tanah air.
Dan yang paling penting: Rakyat Indonesia mulai punya rumah sendiri di dunia digital.
Makanya, Amerika marah.
Bukan karena QRIS teknologinya jelek. Tapi karena QRIS bikin uang dan data tak lagi mengalir ke kantong mereka.
Mereka kehilangan triliunan rupiah per tahun.
Mereka kehilangan kendali atas peta konsumsi kita.
Dan sekarang… mereka mulai kehilangan wilayah!
Karena ini tak berhenti di Indonesia.
Thailand sudah siap dengan PromptPay.
Malaysia punya DuitNowQR.
Filipina QRPh.
Singapura NetQR.
Dan semua saling terhubung.
Bayangkan: Turis Thailand scan QR di Bali. Warga Jakarta scan QR di KL.
Tak butuh dolar. Tak lewat Visa. Tak mampir ke Amerika.
ASEAN sedang bikin sistem sendiri.
Bukan senjata.
Bukan nuklir.
Tapi transaksi warung yang membuat Washington ketar-ketir.
Inilah peluru digital:
Kecil. Nyaris tak terlihat. Tapi menghantam jantung dominasi dolar dari jarak dekat.
Dan Indonesia?
Tidak hanya pion. Tapi pelopor.
Jadi kalau hari ini Amerika menyisipkan “kritik terhadap QRIS” dalam negosiasi tarif.
Jangan buru-buru minta maaf.
Jangan minder.
Karena yang kita bangun adalah kedaulatan.
Karena yang kita jaga adalah harga diri.
Dan karena… dunia sedang berubah, bung.
QRIS bukan cuma QR.
Dia adalah semacam proklamasi digital versi abad ke-21.
Merdeka, bukan hanya di darat dan laut, tapi juga di dunia maya. [mc]
*Catatan Agus M Maksum, soal Perang Dagang.
*Sumber: Facebook dan https://aidigital.id.
