Perang Tarif Amerika vs Tiongkok, Siapa akan Menang?

Nusantarakini.com, Jakarta –
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang belum sampai 100 hari pertama sejak dilantik memulai perang tarif yang sebenarnya ditujukan kepada Negeri Panda, Tiongkok.
Trump menaikan tarif untuk barang-barang Tiongkok sebesar 54%, dan Tiongkok membalas dengan menaikkan tarif untuk AS sebesar 34%. Kemudian Trump menyerang lagi dengan tarif dinaikkan menjadi 104%. Dan Tiongkok pun menahannya dengan menaikkan tarif menjadi 84%.
Kemudian Trump menaikkan tarif lagi menjadi 145℅ dan Tiongkok pun membalasnya dengan menaikkan tarif lagi menjadi 125%. Dengan balasan tersebut, menjadikan Pemerintahan Trump secara arogan meminta supaya Pemerintah Tiongkok (Xi Jin Ping) untuk menelpon, namun ternyata tidak direspon.
Setelah permintaan tersebut tidak ditanggapi Tiongkok, kemudian Trump mengumumkan kalau mereka siap bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan sambil memuji-muji Presiden Xi Jin Ping, namun ternyata tetap tidak direspon alias tidak diladeni.
Lalu Trump pun seolah-olah marah besar kepada Tiongkok dan menaikkan tarif 245%, namun secara diam-diam ternyata malah mencabut dan membebaskan tarif untuk barang-barang elektronik Tiongkok seperti handphone,televisi, dan lain-lain.
Ini adalah strategi diplomasi ala Amerika, menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi sesuatu yang bisa tawar menawar (bargaining power). Kalau Pemerintahan Trump ingin bernegosiasi atau berunding, berarti mereka sudah tidak berdaya dan Tiongkok pun kali ini secara tegas tidak melayaninya.
Bahkan Tiongkok membalas serangan tarif yang gila-gilaan ini dengan menyerang balik ke AS secara terstruktur dan sistematis; misalnya: Tiongkok meloloskan undang-undang kekayaan intelektual (intelektual properti), yang berarti semua pengusaha Tiongkok apabila melanggar UU intelektual properti, mereka tidak akan diadili di pengadilan.
Implikasinya adalah semua pengusaha Tiongkok boleh memproduksi barang dan jasa yang serupa dengan produk Amerika dan diperbolehkan untuk beredar di Tiongkok. Tiongkok membatasi ekspor beberapa komponen penting tanah jarang seperti Disprosium, komponen untuk membuat chip canggih. Juga membatasi ekspor tungsten dan galium, sebagai komponen utama untuk jet tempur, rudal balistik, berbagai rudal, teknologi anti radar, dan lain-lain.
Menurut Tiongkok, “pedang sudah dihunus dan tidak bisa dimasukkan kembali ke sarungnya.” Tiongkok akan melawan sampai kapanpun dan dalam bentuk perang apapun.
Apabila Trump masih berharap bahwa dengan serangan tarif yang gila-gilaan ini Tiongkok akan menyerah dan bertekuk lutut di hadapannya; lalu bersedia untuk duduk di meja perundingan dan menyerah serta membiarkan Trump menekan dan merampok Tiongkok, “itu adalah mimpi basah Trump.”
Bahkan bila ingin “TIT FOR TAT,” Tiongkok juga telah siap melayaninya, walaupun AS digadang-gadang sebagai negara super power yang paling kuat militernya di dunia. Namun kunci yang sebenarnya terletak pada seberapa jauh jangkauan rudal balistik dan seberapa kuat “kepalan tinju anda,” bukan propaganda untuk menakut-nakuti negara lain.
Tiongkok kali ini benar-benar sudah tidak akan negosiasi atau berunding di meja perundingan. Siapa yang akan jatuh duluan? Wait and see. [mc]
*Chen Yi Jing, Pengamat Ekonomi dan Geopolitik.
