Sejarah

Jejak Islam di Tanah Jawa: Dari Konstantinopel ke Demak

“Sejarah adalah suara mereka yang bertahan, bukan hanya mereka yang menang.”

Nusantarakini.com, Jakarta –

Di seberang lautan yang jauh, pada suatu pagi di musim semi 29 Mei 1453, dentuman meriam memenuhi udara Konstantinopel. Selama berabad-abad, kota itu berdiri sebagai benteng terakhir Romawi Timur. Namun hari itu, tembok-temboknya runtuh di hadapan pasukan muda yang dipimpin oleh seorang pemuda berusia 21 tahun: Mehmed II, yang kemudian disebut Al-Fatih, Sang Penakluk.

Dunia berubah seketika. Timur dikuasai Islam, dan jalur perdagangan yang selama ini menghubungkan Eropa dengan Asia kini berada dalam genggaman Turki Utsmani. Sementara itu, di sisi lain dunia, kaum Kristen barat menggertakkan gigi. Kekalahan dalam Perang Salib belum terlupakan. Mereka harus mencari jalan lain.

Maka, Januari 1492, Andalusia jatuh. Benteng terakhir Islam di Eropa Barat itu dihabisi oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabella. Dan dengan itu, terbukalah Selat Gibraltar. Jalan yang selama ini tertutup oleh kekuatan Islam kini terbuka bagi mereka yang haus akan gold, glory, dan gospel.

Di hari yang sama, dari pelabuhan Spanyol, kapal-kapal mulai berlayar. Mereka tidak hanya mencari rempah-rempah, mereka mencari dunia yang bisa mereka rebut. Dunia yang bisa mereka tundukkan.

Di timur, di kepulauan yang jauh, angin berubah.

Seorang lelaki berdiri di tepi pantai, menatap lautan luas. Ia bukan siapa-siapa, tapi namanya kelak akan menjadi legenda. Raden Patah, putra dari raja terakhir Majapahit, yang memilih jalan berbeda dari leluhurnya.

Ia mendengar kabar tentang jatuhnya Konstantinopel. Tentang kemenangan Islam. Tentang bagaimana dunia berubah dalam hitungan dekade.

Dan ia tahu, tanah yang dipijaknya tidak akan selamanya aman.

Majapahit telah melemah. Para raja Hindu yang dulu perkasa kini terpecah dalam konflik yang tiada akhir. Para pedagang Muslim semakin kuat di pelabuhan-pelabuhan. Dan Raden Patah melihat kenyataan itu lebih jelas dari siapa pun.

Maka, di tanah basah itu, ia mendirikan Kesultanan Demak.

Ia tidak sekadar membangun sebuah kota. Ia membangun benteng. Sebuah pusat kekuatan baru. Sebuah Kesultanan yang akan berdiri tegak saat dunia bergejolak.

Ia tidak sendiri. Di belakangnya, para ulama dari Walisongo berdiri. Dakwah Islam menyebar ke pedalaman, menggantikan ritual lama dengan ayat-ayat suci. Islam tidak hanya datang melalui pedang, ia datang melalui kata-kata, melalui akhlak, melalui keteguhan hati.

Tetapi dunia tidak membiarkan mereka tenang.

Tahun 1509, angin barat membawa badai.

Portugis tiba di Nusantara. Mereka datang bukan untuk berdagang. Mereka datang untuk menaklukkan. Seperti yang mereka lakukan di Afrika. Seperti yang mereka lakukan di Malaka dua tahun kemudian.

Malaka jatuh 1511.

Dunia Islam di Asia Tenggara terguncang.

Tapi Demak tidak diam.

Dari kota pesisir itu, seorang pemuda bernama Pati Unus putra Raden Patah mengumpulkan armada. Ia tahu betapa besar kekuatan Portugis. Ia tahu kapal-kapal mereka jauh lebih kokoh, lebih kuat, lebih siap.

Tapi ia berangkat juga.

1513. Kapal-kapal Demak berlayar ke Malaka, membawa panji Islam, membawa harapan bahwa Nusantara tidak akan dibiarkan jatuh ke tangan barat.

Mereka kalah.

Tapi dunia mencatat nama mereka.

Dan perlawanan tidak berakhir di sana.

Sementara itu, di Eropa, para raja duduk di atas meja besar. Mereka tahu mereka tidak bisa saling berebut. Jika mereka ingin menaklukkan dunia, mereka harus berbagi.

1494, Perjanjian Tordesillas ditandatangani.

Paus Alexander VI membagi dunia menjadi dua. Spanyol ke barat. Portugal ke timur. Dan sejak hari itu, tidak ada lagi peradaban yang aman dari tangan-tangan mereka.

Di bawah perintah raja mereka, armada Spanyol berlayar ke Filipina. Di bawah panji Portugal, kapal-kapal mereka berlabuh di Malaka.

Dunia yang pernah dikuasai Islam kini diperebutkan.

Tapi di Demak, dalam sunyi, seseorang menyiapkan perang melawan kekuatan global yang sedang bergerak menguasai dunia.

Sejarah adalah suara mereka yang bertahan. Bukan hanya mereka yang menang. [mc]

*Catatan Agus M Maksum, Penggemar Sejarah.

*Sumber: https://aidigital.id/berita?id_item=879

Terpopuler

To Top