Keris Kolo Munyeng: Ketika Raden Patah Mengembalikan Majapahit

“Sejarah adalah suara mereka yang bertahan, bukan hanya mereka yang menang.”
Nusantarakini.com, Jakarta –
Pengantar
Mereka menyebutnya pengkhianat. Seorang anak durhaka yang memberontak terhadap ayahnya sendiri. Seorang Muslim yang menghancurkan warisan leluhurnya. Begitulah sejarah mencatatnya—atau, lebih tepatnya, begitulah sejarah yang ditulis oleh mereka yang menang.
Tapi kebenaran tidak bisa dikubur selamanya.
Majapahit runtuh bukan karena Islam. Bukan karena Raden Patah. Tapi karena pengkhianatan dari dalam, dari mereka yang haus akan kekuasaan dan tidak peduli pada nasib rakyatnya.
Ketika Brawijaya V digulingkan oleh Girindrawardhana, seorang adipati yang ingin merebut tahta untuk dirinya sendiri, Raden Patah tidak tinggal diam.
Ia bukan datang sebagai musuh. Ia datang sebagai putra yang berbakti.
Dan di saat Majapahit nyaris jatuh ke dalam kehancuran yang lebih dalam, ada satu peristiwa yang mengubah segalanya.
Mereka menyebutnya Keris Kolo Munyeng.
Malam di Giri Kedaton
Angin berembus dari Laut Jawa. Gelombang menghantam pantai Jepara, membawa kabar bahwa peperangan tidak bisa dihindari lagi. Majapahit yang dulu perkasa kini rapuh, berdiri di ambang kehancuran.
Di dalam kediamannya di Giri Kedaton, Sunan Giri berdiri tegak. Malam itu, ia menunggu.
Bukan prajurit yang ia kumpulkan. Bukan pedang yang ia asah. Tetapi kata-kata.
Di luar, prajurit-prajurit Majapahit sudah siap menyerang. Mereka dikirim oleh Patih Udara, seorang pengkhianat yang telah merebut kekuasaan dari Girindrawardhana dan berusaha mempertahankannya dengan segala cara.
Dan saat itulah, Sunan Giri berbicara.
“Kalian datang dengan pedang,” suaranya tenang, tapi menusuk. “Tapi apakah kalian tahu siapa yang sebenarnya kalian lawan?”
Pasukan yang semula garang mulai ragu. Mereka telah mendengar nama Raden Patah. Mereka tahu siapa dia.
“Jika kalian membela Majapahit,” Sunan Giri melanjutkan, “maka kalian harus berpihak kepada putranya sendiri. Kalian harus berpihak kepada darah Brawijaya V, bukan kepada para pengkhianat yang telah merebut tahta dengan tipu daya.”
Dan di bawah cahaya bulan, mereka mulai goyah.
Mereka mengingat cerita lama. Bahwa Raden Patah bukan musuh. Bahwa ayahnya tidak pernah menganggapnya durhaka.
Dan dalam kebingungan itulah, Keris Kolo Munyeng mulai berputar.
Sebuah Keris yang Tidak Pernah Ada, tetapi Nyata
Bukan keris biasa. Bukan senjata yang ditempa di atas bara api.
Tetapi sebuah kisah yang lebih tajam dari bilah pedang mana pun.
Orang-orang Kejawen percaya bahwa Sunan Giri mengeluarkan sebuah keris sakti dari balik jubahnya. Keris Kolo Munyeng, katanya, dilempar ke udara dan berputar di atas kepala pasukan Majapahit. Angin ribut tercipta, membuat mereka kehilangan keseimbangan.
Tetapi sejarah tidak mencatat itu.
Yang benar adalah kata-kata Sunan Giri-lah yang memusingkan mereka.
Ia tidak menghunus senjata. Ia hanya menghunus kebenaran.
Keris itu ada, tetapi bukan di tangan Sunan Giri. Keris itu ada di kepala para prajurit yang mulai bertanya pada diri sendiri: Siapa yang sebenarnya mereka lawan?
Dan dalam kebingungan itu, mereka menurunkan pedang mereka sendiri.
Mereka mundur.
Majapahit akhirnya kembali ke tangan Raden Patah, bukan sebagai takhta yang ia rebut, tetapi sebagai warisan yang ia kembalikan kepada ayahnya.
Tetapi sejarah—seperti biasa—tidak mencatatnya begitu.
Penutup: Sejarah yang Berputar
Keris Kolo Munyeng itu tidak ada.
Tetapi efeknya nyata.
Ia tidak memotong tubuh, tetapi memotong keyakinan yang salah. Ia tidak ditempa di bengkel para empu, tetapi ditempa dalam pikiran orang-orang yang mulai mempertanyakan sejarahnya sendiri.
Mereka yang tidak memahami sejarah akan terus percaya bahwa Raden Patah adalah pengkhianat. Tetapi mereka yang mendengar suara kebenaran akan tahu:
Ia bukan anak yang durhaka.
Ia bukan pengkhianat.
Ia adalah putra yang berbakti, yang berusaha mengembalikan hak ayahnya, ketika para pengkhianat berusaha merebutnya.
Dan sampai hari ini, Keris Kolo Munyeng terus berputar, bukan di udara, tetapi di dalam kepala mereka yang berani mencari kebenaran di antara tumpukan kisah yang telah terlalu lama dipercayai. [mc]
*Agus M Maksum, Penggemar Sejarah.
Sumber: https://aidigital.id/berita?id_item=885.
