Catatan ‘Bolodupak MUNAS’ tentang MUNAS KAGAMA XIV 2024
Nusantarakini.com, Jakarta –
Diselenggarakan di Hotel Mercure Ancol Jakarta pada tanggal, 14-17 November 2024 untuk pergantian pengurus dan perbaikan tata kelola organisasi, Munas Kagama 5 tahunan akan sah jika pesertanya representatif. Representasi dihitung dari 50% + 1 jumlah organ yang sah dibawah Pengurus Pusat (PP). Karenanya sebagai organ sah partisipan Munas, kredibilitas organ tersebut menjadi sangat penting. Apa ukurannya? Diakui lalu disahkan, adalah ukuran legalistik formal. Kegiatannya mendukung dan mengembangkan program kerja PP adalah ukuran substantif.
Organ di bawah PP terbagi menjadi 3 kategori: berdasarkan wilayah administratif (Daerah untuk provinsi, dan Cabang untuk Kota/Kabupaten), berdasarkan keilmuan (sesuai dengan jumlah Fakultas di UGM), dan berdasarkan hobi/minat/kesukaan.
Secara aturan pembentukan, Pengurus Daerah (PengDa) merupakan kumpulan dari pengurus-pengurus cabang (Pengcab). Artinya sebuah Pengda seharusnya lebih bergengsi dibandingkan PengCab. Selanjutnya PengCab merupakan organ yang ‘mengelola’ wilayah seluas Kota/Kabupaten. Artinya ‘mengelola’ anggota, minimal lintas angkatan, lintas fakultas dan jurusan, serta lintas institusi.
Khusus PengFak yang mengikuti jumlah fakultas, mengelola para alumni yang memiliki ‘sejarah’ belajar yang serumpun ilmunya. Menarik adalah PengKom. Dengan hanya melandaskan pada kesamaan kesukaan, para anggota Kagama bebas membentuk organisasinya lalu diajukan untuk disahkan oleh PP.
Ketua Umum KAGAMA ditetapkan berdasarkan musyawarah mufakat. Para calon dijaring berdasarkan jumlah suara terbanyak. Setiap organ PP, sebut saja utusan, berhak mengajukan calonnya masing-masing. Jumlah utusan inilah yang akan dihitung untuk memenuhi syarat dukungan calon Ketua Umum. Semua organ tersebut memiliki 2 hak suara. PengDa yang punya mandatori ‘mengelola’ PengCab-PengCab se-provinsi, sama dengan PengKom yang dibentuk berdasarkan hobi semata (Kagama Jawa Tengah dengan kelolaan 35 PengCab punya hak yang sama dengan Kagama Suka Pakai Topi Miring, misalnya). Para anggota yang peduli pada pengembangan organisasi dan alumninya setara dengan para anggota yang riang gembira dengan semata kumpul ngopi sambil makan jadah mbah Carik di Minggu pagi.
Memangnya salah? Ini bukan tentang benar salah. Ini tentang pantas dan tidak pantas, sebuah organisasi alumni kampus besar yang diharapkan sumbangsihnya untuk masyarakat, pada saat Munas boleh jadi didominasi oleh kelompok-kelompok yang mengedepankan kesukaan diri dan teman-temannya.
Bagaimana dengan karakteristik peserta Munas? Budaya “ewuh pakewuh” yang meliputi seluruh Peserta, membuat “dominasi” senior terhadap junior sangat kental. Kalau dibagi berdasarkan usia, ada 3 kelompok usia: angkatan s/d 80-an, angkatan 80-90-an, dan angkatan 2000-an. Jangan berharap alumni berusia 30-40-an akan berseliweran dalam Munas. Apalagi berharap suaranya kerap terdengar bahkan mendominasi dalam sidang-sidangnya. Mereka lebih banyak menjadi peserta “inggah inggih” saat seniornya berujar dan bertutur, walau sering utopis atau bahkan aneh (alih-alih tidak masuk akal).
Tidak bisa dipungkiri, penyelenggaraan Munas itu berbiaya tinggi. Memfasilitasi seluruh Pengurus di semua kategori untuk bermalam minimal 3 hari di hotel di Jakarta, walau biaya perjalanan pergi-pulang ditanggung masing-masing, tidaklah sedikit. Fasilitas akomodasi tentu saja diiringi dengan konsumsi full day, termasuk sewa ruang-ruang sidang dengan segala kelengkapannya. Belum dukungan lainnya seperti ambulance yang harus siap sedia sepanjang Munas, hiburan, senam bersama dan lain-lain. Dan lain-lain. Biaya tersebut tidak bisa murni menggunakan dukungan model sponsorship. Perlu donatur. Donatur perlu relasi. Relasi perlu jejaring. Salah satu jejaring yang efektif adalah kekuasaan.
Jadi, kalau berharap kaum muda yang mendominasi Munas, sementara jejaring mereka sendiri masih dalam proses dijahit, sepertinya perlu waktu. Berharap rekomendasi yang keren untuk pengelolaan masyarakat yang lebih baik berbasis kredibilitas peserta Munas yang peka terhadap lingkungan masyarakatnya berdasarkan ilmu dan wawasannya, harus sabar.
Lalu Munas untuk apa? Ajang silaturahim. Ajang temu kangen. Bungkusnya seminar, sidang-sidang Munas. Hasilnya? Semua peserta riang gembira. Suka ria ketemu teman lama. Tertawa bersama mengingat-ingat suka duka semasa kuliah. Mahal dong? Tergantung “jare sopo” (yen jareku yo iyo). Jauh lebih mahal kalau malah jadi stres, banyak berharap tapi banyak kecewa. Hidup itu untuk dinikmati. Berteman itu untuk bergembira. Jika berduka karena berkumpul, justru menumpuk kesalahan.
“Iki jareku. Dudu jaremu,”
Sekedar masukan untuk kebaikan KAGAMA dan anggotanya.
Salam KAGAMA.
*Eko Suwardiyanto, Alumni UGM.