‘Transisi Setengah Hati’ Prabowo dalam Bayang-bayang Jokowi
Nusantarakini.com, Jakarta –
Proses transisi kekuasaan dari Presiden Jokowi ke Presiden terpilih Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka tengah menjadi sorotan tajam. Harapan rakyat untuk menyaksikan perubahan mendasar di berbagai bidang, khususnya ekonomi rakyat, mulai terguncang.
Pemanggilan sejumlah calon menteri oleh Prabowo sore tadi (14/10/2024), meski belum resmi diumumkan, menampilkan wajah-wajah yang kental dengan jejak mendukung kebijakan Jokowi selama satu dekade terakhir. Ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran mendalam.
Publik menginginkan perubahan yang nyata, pembangunan yang merata, kesejahteraan bagi seluruh rakyat, dan terwujudnya kehidupan yang layak; bukan pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan seperti selama ini.
Namun, jika postur kabinet yang dipanggil Prabowo saat ini benar-benar dilantik, itu akan mempertegas bahwa pengaruh Jokowi tidak berhenti hanya karena kursi kepresidenan telah beralih. Cawe-cawe Jokowi tampaknya berlanjut, apalagi setelah penetapan Gibran sebagai calon wakil presiden, yang secara politis dinilai sebagai langkah untuk memperpanjang kekuatan dinasti politik Jokowi.
Harapan bahwa Prabowo akan membawa arah baru perlahan mulai pudar. Jika di awal pemerintahannya ia sudah menempatkan orang-orang yang selama ini terbukti gagal dalam menyejahterakan rakyat, menegakkan demokrasi, hukum, dan hak asasi manusia, kita patut curiga. Adakah kontrak politik yang lebih mengedepankan kepentingan kekuasaan daripada kepentingan rakyat? Masyarakat pantas mempertanyakan, apakah orang-orang ini dipilih karena kompetensi atau hanya untuk melanjutkan agenda politik tersembunyi Jokowi?
Jika Jokowi memiliki persoalan dengan Megawati atau dinamika internal dengan PDI-P, hendaknya hal ini diselesaikan secara pribadi, tanpa harus merusak kredibilitas Prabowo dengan menitipkan loyalis-loyalisnya dalam kabinet. Konsekuensinya bisa fatal kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat akan membuat beban hidup mereka semakin berat, ekonomi semakin sulit. Cita-cita pertumbuhan ekonomi hanyalah bualan kosong jika yang kita perlukan sebenarnya adalah pemerataan ekonomi yang berkeadilan.
Indonesia ini kaya akan sumber daya alam yang melimpah, kekayaan yang seharusnya dapat digunakan untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Namun, jika kabinet diisi oleh orang-orang yang loyal pada kebijakan lama, bagaimana bisa diharapkan mereka akan sungguh-sungguh berpihak kepada rakyat? Kesetiaan mereka tampak lebih kepada menjaga kekuasaan dan melanggengkan status quo.
Meski begitu, kita masih berharap Prabowo akan segera berani menunjukkan jati dirinya sebagai pemimpin yang sejati, bukan hanya bayang-bayang dari Jokowi. Dalam buku Indonesia Paradoks, Prabowo telah mengungkapkan prinsip-prinsipnya untuk membela rakyat dan membawa perubahan nyata. Kini saatnya bagi Prabowo untuk membuktikan bahwa ia adalah pemimpin yang berpihak kepada kepentingan rakyat, bukan sekadar melanggengkan kekuasaan dan kekuatan lama.
Masyarakat menunggu langkah tegas Prabowo. Apakah ia akan mengedepankan janji perubahan, ataukah menyerah pada tekanan kekuatan lama yang hanya memperpanjang penderitaan rakyat?
Contoh kegagalan serupa sudah terlihat di banyak negara demokrasi besar. Misalnya, di Brasil, ketika Presiden Dilma Rousseff mempertahankan sebagian besar menteri titipan loyalis dari pemerintahan sebelumnya, meski rakyat menuntut perubahan. Hasilnya, kepercayaan publik semakin menurun, kebijakan reformasi terhambat, dan skandal politik yang mengguncang pemerintahan sebelumnya terus berlanjut.
Hal serupa juga terjadi di Mesir pasca-revolusi, di mana komposisi kabinet yang tidak mencerminkan kehendak rakyat akhirnya menggagalkan upaya demokratisasi dan membawa negara itu kembali ke otoritarianisme. Kita harus belajar dari contoh-contoh ini kegagalan untuk memperbarui pemerintahan dengan orang-orang yang benar-benar mengutamakan rakyat hanya akan memperdalam krisis dan penderitaan rakyat. [mc]
Kalibata, Jakarta Selatan, Senin 14 Oktober 2024, 20:36 Wib.
*Agusto Sulistio, Pendiri The Activist Cyber, Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR era tahun 90an.