Nasional

Astabrata Institute: Warisan Utang Pemerintah Jokowi, Beban Berat bagi Bangsa

Salah satu narasumber utama diskusi yang digelar Astabrata Institute, Awalil Rizki, menyajikan data mengerikan tentang utang pemerintah. (Istimewa)

Dari catatan diskusi Astabrata Istitute, memantik semangat revolusi dalam diri setiap peserta perwakilan “BEM” se-Jawa, bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja, dan perubahan besar perlu diperjuangkan.

Nusantarakini.com, Jakarta –

Pemerintahan Presiden Joko Widodo akan segera berakhir, meninggalkan warisan utang yang begitu besar dan membayangi masa depan Indonesia. Di ambang pergantian kekuasaan, angka utang Indonesia terus meroket, diperkirakan mencapai Rp 9.000 triliun pada akhir masa jabatan Jokowi, jauh melampaui warisan utang era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang hanya sebesar Rp 2.500 triliun pada 2014.

Diskusi yang diinisiasi oleh Astabrata Institute pada Jumat, 6 September 2024, menjadi arena terbuka bagi aktivis lintas generasi dan perwakilan mahasiswa dari berbagai BEM se-Jawa untuk membahas secara kritis masalah utang negara yang kian memburuk. Mengangkat tema “Warisan Utang Pemerintah Jokowi,” diskusi ini menyajikan data dan fakta yang menggugah kesadaran bahwa bangsa ini sedang berada di ambang krisis ekonomi besar.

Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) per 31 Desember 2023, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp 9.536,68 triliun, melonjak dari Rp 8.920,56 triliun pada tahun sebelumnya. Lebih dari itu, utang pemerintah secara keseluruhan, termasuk kewajiban terkait BUMN dan program pensiun, diproyeksikan menembus Rp 22.000 triliun pada 2024. Fakta ini menunjukkan lonjakan drastis yang menempatkan bangsa dalam situasi genting, jauh dari kesejahteraan rakyat yang dijanjikan.

Suara dari Aktivis Senior: Menyalakan Alarm Bahaya

Diskusi dimulai dengan pidato pembukaan dari Bob Randilawe, mantan Ketua ProDem, yang menyuarakan keprihatinan mendalam atas kebijakan utang yang “ugal-ugalan” di era Jokowi. Bob, dengan semangat pergerakan yang tak pudar, menyalakan kembali api semangat perubahan di antara hadirin, khususnya mahasiswa yang penuh antusiasme untuk menggugat kebijakan ekonomi yang dirasa memberatkan rakyat.

Moderator diskusi, Indro Tjahyono, dengan kecerdasan dan pengalaman panjang di dunia gerakan, memandu jalannya diskusi yang tak hanya penuh substansi, tetapi juga sarat emosi. Para mahasiswa dan aktivis tak segan-segan mengutarakan kegelisahan mereka terhadap arah kebijakan pemerintah yang dianggap tak berpihak pada rakyat. Diskusi yang awalnya formal, segera berubah menjadi arena dialogis penuh energi, dengan seruan-seruan heroik yang menggema di ruang pertemuan.

Suasana diskusi publik yang digelar oleh Astabrata Institute. (Istimewa)

Fakta Utang yang Mengguncang

Salah satu narasumber utama, Dr. Awalil Rizki, menyajikan data mengerikan tentang utang pemerintah. Dalam paparannya, Awalil menegaskan bahwa utang di era Jokowi tidak bersifat produktif.

“Utang yang diambil bukan untuk menumbuhkan kesejahteraan rakyat, tetapi hanya menutup bunga utang, serta dugaan kuat korupsi,” tegasnya.

Grafik yang ditampilkan Awalil jelas menunjukkan peningkatan tajam utang setiap tahun, sementara pertumbuhan ekonomi tetap stagnan. Pernyataan ini disambut gemuruh dari peserta diskusi. Seruan “Lawan!” terdengar menggema, menandakan betapa dalamnya kekecewaan mahasiswa dan aktivis terhadap kebijakan yang membebani bangsa.

Dalam diskusi tersebut, Prof. Anthony Budiawan juga turut memperkuat argumentasi bahwa pengelolaan keuangan negara di era Jokowi berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Dengan gaya lugas namun mendalam, Anthony menyoroti bagaimana utang terus bertambah, sementara dampak positif terhadap perekonomian hampir tidak terlihat.

“Ini bukan sekadar utang, ini adalah lonceng kematian bagi ekonomi kita jika terus dibiarkan,” ujar Anthony, diikuti riuh suara peserta yang tak dapat lagi menahan kegeraman.

Implikasi Politik dan Ekonomi yang Suram

Tidak hanya soal ekonomi, Dr. Ubaidillah Badrun mengurai manuver politik Jokowi di akhir masa jabatannya, yang menurutnya penuh dengan kontradiksi antara janji dan kenyataan. Ubed menyoroti laporan yang ia ajukan ke KPK terkait dugaan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dalam keluarga Jokowi yang tak kunjung mendapat perhatian serius.

“Bagaimana kita bisa berbicara tentang pemberantasan KKN jika aktor utamanya justru tak tersentuh hukum?” ujar Ubed, membakar semangat peserta yang spontan meneriakkan “Tangkap!” dengan penuh semangat.

Diskusi ini tidak hanya menjadi forum intelektual, tetapi juga tempat bagi suara keadilan dan kebenaran untuk ditegakkan. Berbagai fakta mengenai kebijakan utang pemerintah, kewajiban BUMN, dan beban dana publik seperti BPJS, Taspen, serta Dana Haji, yang mencapai Rp 4.500 triliun, semakin memperjelas bahwa arah ekonomi Jokowi membawa bangsa ini ke jurang.

Sebuah Seruan untuk Perubahan

Diskusi ditutup dengan penuh heroisme. Para peserta, yang terdiri dari perwakilan BEM se-Jawa, aktivis lintas angkatan, serta mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri “Harvard (PPI – PERMIAS), menyanyikan lagu kebangsaan “Padamu Negeri.” Lagu ini menggema, menyentuh setiap hati yang hadir, mengingatkan mereka akan tanggung jawab besar untuk terus berjuang demi keadilan dan kebenaran.

Dengan segala data dan analisis yang dipaparkan, pertemuan ini tidak hanya menyadarkan, tetapi juga memantik semangat revolusi dalam diri setiap peserta. Indonesia sedang tidak baik-baik saja, dan perubahan besar perlu diperjuangkan.

Sekilas Astabrata, penggagas awal para aktivis gerakan lintas angkatan: Indro Tjahjono, Ariadi Achmad, Eddi Junaedi, Bob Randilawe, Lukas Luwarso, Rahadi TW, Asrianty Purwantini (Dodo), Agusto Sulistio, Inam Mustafa, dll. [mc]

Reportase, Penulis, Editor: Agusto Sulistio.

Terpopuler

To Top