Kursi KIM Lebih Kecil, Kenapa Mau Dipertahankan?
“Pilpres sudah berlalu. Pilkada beda dengan pilpres. Kenapa masih bicara KIM. Apalagi, KIM itu kecil. Jumlah kursi di DPR hanya 280. Kenapa harus dipertahankan?”
Nusantarakini.com, Jakarta –
Cak Imin, panggilan akrab Ketum PKB Muhaimin Iskandar bilang: “Saya sampai hari ini enggak ngerti KIM Plus itu apa. Kalau sudah sampai pilkada, semua sama. Enggak ada KIM, KIM Jong Un, KIMCHI.” Seloroh Cak Imin diungkapkan saat kunjungan Kaesang ke DPP PKB (6/8).
Saya, dan mungkin publik juga ikut tersentak dengan seloroh Cak Imin. Kelihatannya remeh, tapi pesan Cak Imin begitu dalam. Ini bentuk sindirin model Kiai dan Gus NU. Cak Imin seolah ingin mengatakan: Pilpres sudah berlalu. Pilkada beda dengan pilpres. Kenapa masih bicara KIM. Apalagi, KIM itu kecil. Jumlah kursi di DPR hanya 280. Kenapa harus dipertahankan?
Cak Imin ingin mengingatkan kepada partai-partai anggota KIM bahwa, pertama, kalau Anda pertahankan KIM, sama saja Anda membuat dan melanggengkan keterbelahan.
Dua pilpres lalu rakyat telah terbelah berbasis kelompok dukungan. Partai ikut bertanggung jawab atas keterbelahan ini. Mestinya, setelah pilpres, kelompok-kelompok relawan dan dukungan di pilpres itu bubar. Lalu, kita bersatu lagi. Kalau Anda masih pertahankan KIM, kapan Anda mau move on? Mari sama-sama kita move on. Itu kira-kira pesan dan ajakan Cak Imin.
Kedua, Cak Imin ingin kasih tahu juga ke partai-partai yang akan berkuasa. Bahwa jumlah kursi mereka kecil. Empat partai yaitu Gerindra, Golkar, PAN dan Demokrat jumlah kursinya hanya 280. Kalah dengan jumlah kursi partai-partai di luar KIM. Jumlah kursi PDIP, NasDem, PKB dan PKS itu totalnya ada 300.
Jika empat partai yang capresnya kalah ini sepakat ambil posisi sebagai oposisi, maka pemerintahan Prabowo-Gibran akan keteteran menghadapi oposisi. Apalagi ketua DPR-nya dari PDIP.
Ironisnya, UU MD3 mau diobok-obok juga. Mau diubah supaya partai pemenang pemilu tidak dapat jatah ketua DPR. Kebiasaan buruk “mengubah undang-undang sesuai selera keluarga dan kelompok” harus dihentikan. Jangan membuat dan mengubah Undang-Undang saat ada kepentingan personal, keluarga dan kelompok. Makin kacau negara ini.
Cak Imin seolah ingin kasih pesan bahwa “kami, pihak yang kalah ini bisa sangat kuat. Karena jumlah kursi lebih banyak. Sebab itu, jangan coba tekan-tekan kami.”
Cak Imin mengajak semua pihak mencair, dan lebih mengedepankan kolaborasi ke depan untuk bersama-sama membangun bangsa, tanpa ada pihak-pihak yang menekan dan ditekan.
Era tekan menekan dan sandera menyandera itu era lama. Usang! Gak cocok untuk hidup di negara dengan penduduk yang menganut Pancasila. Harus diakhiri dengan kepemimpinan baru Prabowo Subianto. Awal pemerintahan Prabowo harus melakukan koreksi dan evaluasi atas kesemrawutan hukum dan terpenjaranya demokrasi yang selama ini terjadi. Noktah hitam masa lalu harus segara dihentikan dan jangan justru diwarisi dengan melakukan sikap politik yang sama. Politik sandera dan cawe-cawe.
Prabowo harus menghadirkan keteduhan dan kenyamanan buat semua pihak dan tidak membangun permusuhan dengan “cawe-cawe” di pilkada. Biarlah pilkada menjadi kontestasi anak-anak bangsa yang berprestasi. Jangan dinodai lagi dengan aksi penjegalan dan penyanderaan. “Itu katrok Jenderal!” [mc]
Jakarta, 9 Agustus 2024.
*Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.