Prabowo, Politik Dinasti dan Arsitektur Kepemimpinan di Daerah
Nusantarakini.com, Jakarta –
Ahmad Muzani, Sekjen Gerindra, telah mengapresiasi Prabowo Subianto sebagai New Soekarno. Tentu kita bangga juga Prabowo berkelas dalam hubungan internasional, setelah sepuluh tahun ini pemimpin negara kita tidak berkelas ketika ketemu kepala-kepala negara asing.
Bisa jadi nuansa pertemuan Prabowo dengan pimpinan Prancis, Macron, pimpinan Serbia, Aleksandar Pucic, pimpinan Turki, Erdogan dan pimpinan Rusia, Putin, bahkan lebih hebat dari Bung Karno dalam konteks diplomasi global dan keuntungan kerjasama bagi kita.
Persoalan pokok kita saat ini adalah ketidakjelasan Prabowo dalam menentukan arsitektur kepemimpinan daerah ke depan. Apakah Prabowo akan mendorong politik dinasti yang korup, muak dan menjijikkan? Atau Prabowo membangun arsitektur kepemimpinan di daerah yang kokoh untuk bersinergi dengan visi Indonesia Maju yang bertumpu pada pertumbuhan 8%, pembangunan sosial setara negara-negara Welfare State dan kemajuan sumberdaya manusia daerah?
Pertanyaan ini menjadi penting karena kemanfaatan kepemimpinan Prabowo yang berskala global (New Soekarno) akan sia-sia jika keuntungan rakyat semesta, khususnya di daerah-daerah, gagal diperoleh karena kualitas dan moral pemimpinnya buruk.
Dua fenomena terbaru dalam pencalonan kepala daerah yang dipimpin koalisi pendukungnya (KIM) di Sumut dan Jabar tidak menjelaskan kepentingan rakyat Indonesia secara jelas. Memang parpol berhak mengatakan itu urusan mereka menentukan siapa calon kepala daerah (cakada), tapi bagaimana kepentingan rakyat? Apakah semuanya sekedar urusan kekuasaan dan politik dagang sapi?
Di Sumut kita ketahui bahwa cakada Bobby Nasution bukanlah gambaran kepala daerah ideal. Kontroversi Bobby, sebagaimana Tempo, (30/4/24), dalam “Tunjuk Pamannya Jadi Plh Sekda Kota Medan, Berikut Sederet Kontroversi Bobby Nasution,” memperlihatkan adanya kelemahan mendasar dia seperti KKN, potensi korupsi dan kekerasan terhadap pelaku kriminal kelas teri. Selain itu dia juga diterpa isu prahara rumah tangga, meski isu ini tidak secara langsung terbukti. (Lihat: akurat.co/viral/1303707150/viral-gosip-bobby-nasution-diduga-punya-wil-netizen-wow-gede-juga).
Belakangan ini kita malah dikejutkan lagi bahwa Bobby dan istrinya ternyata menguasai bisnis tambang nikel di Maluku Utara. (Lihat FNN.Com, 4/8/24: “PKS, Bobby, dan Dugaan Korupsi IUP Tambang Kode ‘Blok Medan’1 di Halmahera”). Skandal tambang nikel ini terungkap dalam sidang perkara korupsi kepala daerah Maluku Utara kemarin.
Fenomena kedua adalah penentuan Dedi Mulyadi (DM) sebagai Cakada KIM di Jabar. Kita mengetahui bahwa DM telah diungkap di media dalam pengadilan perceraian terjadi prahara rumah tangga dan melakukan kekerasan KDRT terhadap istrinya (lihat: “Jejak Prahara Rumah Tangga Dedi Mulyadi-Anne yang Berujung Cerai,” Detikcom, 23/2/23).
Selain itu Dedi juga kerap dihubungkan dengan ajaran-ajaran klenik. Contoh kepemimpinan yang klenik dan tidak mampu menjaga keharmonisan rumah tangga tentu saja sebuah kekurangan besar untuk Bangsa Sunda yang beradab tinggi sejak dulu kala.
Alasan elit KIM bahwa oposisi harus musnah, seperti disampaikan jubir Prabowo (lihat: “Sindiran Dahnil ‘Gubernur Bukan Oposisi’ Dijawab Pihak Anies Baswedan”, Detik.com, 27/7/24 dan juga “Prabowo-Gibran Soal Narasi Tak Ada Oposisi di Pemerintahan Prabowo, Romo Magnis Singgung agar Tak Diganggu DPR,” Kompas.com, 29/4/24) tentu saja mengerdilkan Prabowo yang diapresiasi sebagai New Sukarno. Kenapa?
Jika Prabowo percaya bahwa dirinya adalah pemimpin besar, seperti Sukarno dan Suharto, maka konsekuensi dia harus melihat semua potensi anak-anak bangsa dalam skala kepala daerah hanyalah bagian dari kebesaran dirinya itu. Bagaimana mungkin seorang kepala daerah berseberangan dengan Prabowo yang hebat dan besar sekelas Putin dan Erdogan?
Selain hal di atas, potensi perlawanan pada Prabowo itu kemungkinan dari mana? Apakah dari oposisi, jikalau ada oposisi, ataukah dari Jokowi yang ingin membangun dinasti sampai ke anak-cucunya?
Analisa yang tajam terkait pertanyaan di atas sesungguhnya bertumpu pada: pertama, lambatnya Prabowo menunjukkan “New Soekarno”-nya dalam skala nasional. Dia boleh hebat ketemu kepala negara asing, namun dalam mengarahkan republik ini, kewibawaannya “kalah” dengan Jokowi dan elite KIM. Kedua, Prabowo belum mendesain arsitektur kepala-kepala daerah ke depan bebasis “merit system.”
Kelihatannya memang pilihan KIM atas Cakada Jabar Seolah-olah menunjukkan superioritas Prabowo di KIM, karena mampu “menyingkirkan” Golkar dari Jabar. Namun, hal itu merupakan upaya menimbulkan masalah baru, yakni, jika KIM menang, rakyat Jabar memiliki pemimpin skandal KDRT.
Kedua, beredarnya isu Jokowi akan menguasai Golkar dan jejaring Golkar di kepala-kepala daerah ke depan, sebagai upaya mempertahankan dinastinya, adalah isu tak masuk akal. Sebab, dalam sistem presidensial, apalagi Prabowo berlatarbelakang militer, tentu genggaman kekuatan Prabowo ke depan tidak mungkin disaingi Jokowi. SBY saja, sebagai jenderal yang dianggap “kurang militer” dan partainya kecil, mampu mengendalikan Golkar beberapa saat setelah dia menjadi presiden, 2004.
Arsitektur kepala-kepala daerah yang harus dibangun Presiden “New Soekarno” itu tentunya harus mampu membangun daerah-daerah dan nasional secara simultan. Kriteria kepala-kepala daerah ke depan setidaknya harus bersandar pada 3 hal:
1) Dia mampu menyumbang pertumbuhan daerah yang tinggi, sehingga resultante pertumbuhan daerah-daerah (PDR B) akan mencapai angka 8% secara nasional. Daerah harus menjadi pusat pertumbuhan dan kemajuan pembangunan, bukan tergantung dana transfer daerah.
2) Kepala daerah harus menjadi teladan. “Survei Katadata” terbaru, rakyat menginginkan kepala daerah yang jujur (40%), baru pengalaman dan inovatif. (lihat: Katadata, 6/6/24).
Tantangan pembiayaan anggaran pegawai daerah dua tahun lagi, 2027, maksimal 30%, sesuai UU Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD), akan memaksa kepala daerah efisen dan inovatif. Jangan lagi memperdagangkan jabatan dan calon pegawai.
Kepala-kepala daerah juga harus menurunkan indeks korupsi. Sejauh ini, 6 tahun terakhir, seratusan kepala daerah terjaring KPK. Saatnya prilaku ini dihentikan. Orientasi pengabdian harus diutamakan. Sehingga rakyat bisa ikut menikmati pembangunan.
3) Kepala-kepala daerah harus mampu menyukseskan program vital Prabowo, yakni maka bergizi gratis. Program ini krusial memancing kerusuhan di daerah, karena adanya perbedaan data penerima nantinya. Di sinilah dibutuhkan kepala-kepala daerah yang berbasis meritokrasi, bukan hasil dagang sapi politik.
Penutup
Prabowo pemimpin besar alias “New Soekarno,” istilah Muzani Sekjen Gerindra, tentu harus disyukuri. Tapi, jika benar Prabowo pemimpin besar tentu desain arsitektur kepemimpinan daerah-daerah ke depan jangan berbasiskan politik dagang sapi dan kebencian terhadap oposisi. Kepemimpinan daerah-daerah harus berbasis kepentingan nasional dalam “kepemimpinan New Soekarno” itu.
Pertemuan orang kepercayaan Prabowo, Professor Dasco dengan tokoh utama oposisi, IB Habib Riziek, hari ini dan dua tokoh oposisi lainnya, Mohammad Jumhur Hidayat dan Syahganda Nainggolan, dua minggu lalu, sesungguhnya harus dimaknai sebagai upaya rekonsiliasi nasional secara total.
Prabowo sendiri setahu saya telah melakukan pembicaraan telepon yang akrab dengan Anies Baswedan minggu lalu.
Kepemimpinan Prabowo tokoh besar harus didukung semua pihak, kecuali orang-orang yang ingin merusak Indonesia dengan Politik Dinasti yang memualkan. [mc]
*Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle.