Beban Pemerintahan Prabowo Atas Kebijakan Jokowi dan Kerusakan Demokrasi
Nusantarakini.com, Jakarta –
Sejumlah kebijakan kontroversial Presiden Joko Widodo (Jokowi) pasca pandemi Covid-19 berdampak signifikan hingga saat ini. Kebijakan ini mempengaruhi masa depan Indonesia, khusus beban yang berat setelah transisi kekuasaan dari Jokowi ke Presiden terpilih Jenderal Purn Prabowo Subianto pada 20 Oktober 2024 mendatang.
Pada awal 2020, pandemi Covid-19 menyebar ke Indonesia. Pemerintah mengambil berbagai langkah untuk menekan penyebaran virus. Dalam peringatan HUT Indemo yang ke-21 dalam suasana pandemi, salah satu tokoh pendiri Indemo saat itu menyoroti perlunya kehati-hatian pemerintah pengambilan keputusan mengatasi pandemi, sebab hal ini berdampak pada ekonomi, politik, dan demokrasi Indonesia ke depan.
Dampak Kebijakan Pemerintah Jokowi Pasca Covid-19
Sorotan tajam Indemo saat itu perlu dianalisis lebih dalam guna langkah antisipasi munculnya persoalan yang lebih besar. Penulis mencoba menganalisis lebih dalam dari berbagai hal yang dapat dimaknai sebagai salah satu faktor penyebab persoalan yang berdampak panjang.
Pembatasan Sosial dan Ekonomi: PSBB yang diterapkan pasca pandemi menyebabkan banyak usaha tutup, pemutusan hubungan kerja, dan meningkatnya pengangguran. Sektor informal mengalami kemunduran signifikan.
Penyaluran Bantuan Sosial: penyaluran bansos tidak optimal, banyak keluarga yang seharusnya menerima bantuan tidak mendapatkannya, memperparah kondisi ekonomi masyarakat.
Stimulus Ekonomi:
Paket stimulus ekonomi yang dikeluarkan pemerintah kurang efektif dan cenderung terlambat. Banyak sektor terdampak parah tidak menerima bantuan tepat waktu.
Presiden Jokowi mengesahkan UU No. 2 Tahun 2020 terkait penggunaan anggaran besar negara untuk menangani dampak pandemi. Namun, kebijakan ini memicu masalah transparansi dan korupsi yang merajalela. Ironisnya penyelesaian hukumnya belum berjalan maksimal, bahkan cenderung diselimuti oleh kekuatan politik yang menyebabkan hambatan proses hukum.
Kasus Korupsi Bansos Covid-19: pada Desember 2020, Menteri Sosial Juliari Batubara ditangkap KPK karena korupsi bansos Covid-19, menerima suap Rp17 miliar. Hal ini menimbulkan ketidak percayaan publik dan investor.
Program PEN:
Program Pemulihan Ekonomi Nasional senilai Rp695,2 triliun pada 2020 dan Rp619 triliun pada 2021 dikritik karena kurang transparan mengindikasikan terjadinya korupsi, kemiskinan dan naiknya harga kebutuhan pokok.
Korupsi Pengadaan Alat Kesehatan:
Pada Juni 2021, Kejaksaan Agung mengungkap dugaan korupsi dalam pengadaan alat kesehatan di Sumatera Selatan, sayangnya proses hukum belum memenuhi harapan publik, dan bertambahnya ketidak percayaan publik.
Krisis Ekonomi yang Lebih Rumit
Kebijakan yang kurang tepat berkontribusi pada krisis ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi tajam pada 2020 dan 2021, dan pemulihannya lambat. Ketidak transparanan informasi serta tidak tepatnya sasaran semakin menambah derita rakyat. Munculnya kartel ekonomi yang menyebabkan kelangkaan kebutuhan pokok rakyat dan naiknya harga-harga .
Kebijakan Pembangunan Infrastruktur
Pemerintah Jokowi gencar membangun infrastruktur, termasuk proyek ambisius Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan. Pembangunan ini sebagian besar dibiayai dari utang luar negeri selain APBN, yang menambah beban negara. Akibatnya, utang luar negeri meningkat, memicu kenaikan kemiskinan dan pengangguran.
Ironisnya Jokowi mengeluarkan keputusan HGU selama 190 tahun bagi investor guna suksesnya proyek IKN. Selain merusak lingkungan juga keputusan Jokowi HGU 190 tahun mengancam kedaulatan bangsa dan negara, banyak pendapat keputusan ini lebih kejam dari era kolonialisme VOC.
Kebijakan Politik Kontroversial
1. UU Cipta Kerja (Omnibus Law).
Disahkan pada 5 Oktober 2020, bertujuan meningkatkan investasi dan lapangan kerja, namun dikritik merugikan hak pekerja dan memicu demonstrasi besar-besaran.
2. Reshuffle Kabinet.
Pada 23 Desember 2020, reshuffle kabinet menimbulkan spekulasi dan ketidakpastian, menciptakan ketidakstabilan di tengah krisis pandemi.
3. Penunjukan Komisaris BUMN dari Kalangan Politisi.
Pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Komisaris Utama PT Pertamina pada November 2020 menimbulkan persepsi negatif mengenai nepotisme, ini merupakan salah satu contoh dari sekian banyaknya kebijakan politik Jokowi yang kontroversial dan berdampak pada stabilitas politik dan ekonomi.
Gangguan terhadap Demokrasi Pasca Pilpres 2024 dan Masa Transisi
Pasca Pilpres 2024, Presiden Jokowi mengindikasikan intervensi dalam masa transisi kekuasaan, terkait usulan kabinet pemerintah Prabowo merupakan bukti: cawe-cawe” Jokowi.
Keputusan pemberhentian pejabat strategis pada Juni 2024, serta pengangkatan Budi Arie Setiadi sebagai Menkominfo pada 17 Juli 2023 mengindikasikan upaya mempertahankan pengaruh politiknya, dengan menempatkan loyalitas diatas profesional kerja. Budi Arie merupakan loyalis Jokowi yang berasal dari Ketua Relawan Projo.
Tindakan “cawe-cawe” Jokowi selama masa transisi mengganggu demokrasi dan melanggar etika politik. Proses transisi seyogyanya memastikan stabilitas dan mempersiapkan pemerintahan baru, bukan untuk mempertahankan pengaruh politik pribadi.
Kesimpulan
Kebijakan Jokowi dalam menangani pandemi dan kebijakan politik lainnya berkontribusi pada krisis ekonomi dan merusak demokrasi, serta menambah beban pemerintah baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto.
Reformasi tata kelola anggaran dan pengawasan yang lebih ketat diperlukan agar dana publik digunakan secara efektif dan tepat sasaran. Evaluasi mendalam terhadap kebijakan diperlukan untuk memastikan pemulihan ekonomi dan proses demokrasi yang sehat.
Guna kebaikan ke depan mari kita kawal masa transisi kekuasaan di akhir jabatan Jokowi agar memastikan cawe-cawe Jokowi tidak meluas, khususnya pada 20 Oktober 2024 mendatang. [mc]
Jakarta, 26 Juli 2024.
*Agusto Sulistio, Pegiat Sosmed, Pendiri The Activist Cyber