Analisa

Menuju Dunia Multipolar, Apa Pilihan Prabowo?

Radhar Tribaskoro, Anggota Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia. (Google)

Jelas bagi Sumitro Djojohadikusumo, bansos adalah perendahan martabat bangsa. Begawan ekonomi ini bahkan menolak pajak sebagai instrumen pemerataan. Baginya serikat buruh dan tani yang kuat jauh lebih penting untuk menciptakan syarat-syarat bagi pemerataan. Seperti ayahnya, Margono, Sumitro meletakkan kemandirian sebagai solusi bermartabat atas masalah kemiskinan dan pemerataan.

Nusantarakini.com, Jakarta –

Pengantar

Syahganda Nainggolan kemarin menulis artikel berjudul “Bung Hatta, Maafkan Kami,” di mana ia mengkritik keras lunturnya cita-cita kemerdekaan untuk membangun “ekonomi berdasarkan koperasi.”

Artikel berikut ini memperkuat gagasan Syahganda dengan menggunakan perspektif geopolitik, khususnya berkenaan dengan trend dunia menuju multipolaritas. Trend itu menunjukkan semakin teredamnya neoliberalisme dan semakin menguatnya prinsip-prinsip keadilan sosial, keberlanjutan, dan perubahan iklim.

Apa itu Multipolarisme?

Multipolarisme adalah kondisi sistem internasional di mana kekuatan dan pengaruh global tersebar di antara beberapa negara atau kekuatan besar, bukan hanya satu atau dua negara yang mendominasi.

Dalam sistem multipolar, kekuatan politik, ekonomi, dan militer didistribusikan lebih merata di antara berbagai aktor internasional, yang menciptakan keseimbangan kekuatan dan memungkinkan lebih banyak kerjasama atau kompetisi di berbagai bidang.

Sebelum Perang Dunia I pusat kekuasaan dunia terpecah ke dalam beberapa polar, seperti Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, Turki, Amerika Serikat, dst. Negara-negara sekutu seperti Amerika, Inggris dan Perancis menguat setelah mereka memenangkan perang itu.

Selepas Perang Dunia II, dunia terbelah dalam dua kubu. Kubu pertama dipimpin oleh Amerika Serikat dan Eropa Barat disebut kubu Barat vs kubu Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet dan Cina. Persaingan kedua kubu tersebut menciptakan Perang Dingin yang berlangsung sampai tahun 1991. Pada tahun itu Uni Soviet runtuh dan terpecah menjadi 15 negara.

Sejak saat itu Amerika Serikat muncul sebagai satu-satunya superpower global. Era unipolar ini ditandai dengan dominasi Amerika Serikat dalam berbagai aspek seperti militer, ekonomi, teknologi, dan budaya. Periode ini sering disebut sebagai “Pax Americana” dan berlangsung sekitar dua dekade, hingga tantangan dari kekuatan-kekuatan lain mulai muncul dan memperkuat tren menuju multipolarisme.

Pada era unipolar ini neoliberalisme bagai air bah yang melanda seluruh dunia, termasuk Indonesia. Di lapangan ekonomi Indonesia menerapkan neoliberalisme dengan meminimalkan pajak bagi orang kaya dan korporasi; hal itu menyebabkan rasio pajak Indonesia (9,1% tahun 2021) terendah di Asia Tenggara, bahkan di Asia.

Indonesia sejak 2014 juga menerapkan kebijakan utang berdasarkan kemampuan berutang (rasio utang terhadap PDB), bukan kemampuan membayar utang (rasio cicilan pokok dan bunga terhadap pendapatan). Di balik kebijakan utang ini terdapat anggapan bahwa utang akan menghasilkan pendapatan yang cukup untuk melunasi dirinya sendiri. Asumsi itu sepenuhnya neo-liberal karena mengandalkan kepada hipotesis kesempurnaan pasar.

Multipolarisme Alamiah

Secara teoritis multipolarisme adalah tatanan alamiah yang dengan sendirinya akan terbentuk di dunia. Dengan kata lain tatanan unipolar bersifat arbitrary atau paksaan. Dalam perjalanan waktu tatanan yang dipaksakan akan tergerus untuk pada akhirnya memunculkan tatanan multipolar.

Pendapat di atas disampaikan oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya “The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order.” Di bukunya ini Huntington memprediksi bahwa pergeseran kekuatan global akan terjadi dengan kebangkitan peradaban non-Barat yang semakin menguat. Dia menekankan bahwa kebangkitan negara-negara seperti China, India, dan negara-negara Islam akan menciptakan tatanan dunia yang lebih multipolar dan berbasis pada identitas peradaban yang berbeda.

Pada tahun 2001, lima tahun setelah terbitnya buku Huntington di atas, John Mearsheimer menulis buku berjudul “The Tragedy of Great Power Politics”. Dalam bukunya ini Mearsheimer, seorang ahli teori hubungan internasional dari perspektif realisme ofensif, berargumen bahwa distribusi kekuasaan global cenderung berubah menuju multipolaritas sebagai hasil dari pertarungan kekuatan besar untuk dominasi. Mearsheimer berpendapat bahwa persaingan kekuatan besar secara alami mengarah ke tatanan multipolar.

Selain itu Fareed Zakaria, seorang wartawan CNN dan penulis kolom di Washington Post, dalam “The Post-American World,” meramalkan kebangkitan negara-negara besar lainnya seperti China dan India yang akan mengakhiri era dominasi unipolar Amerika Serikat.

Zakaria menunjukkan bagaimana ekonomi global sedang berubah, dengan kekuatan ekonomi dan politik bergeser ke arah negara-negara berkembang. Dia menekankan pentingnya adaptasi Amerika Serikat dalam menghadapi dunia multipolar ini.

Selain ketiga tokoh di atas, dapat ditambahkan diplomat sekaliber Henry Kissinger dan Zbigniew Brzinsky yang mengemukakan pandangan yang sama. Demikian pula Charles Kupchan, mantan Penasihat Khusus Presiden Obama, juga meramalkan munculnya tatanan yang lebih kompleks dan beragam dengan beberapa pusat kekuasaan yang bersaing. Bukunya yang membahas pergeseran tatanan itu berjudul “No One’s World: The West, the Rising Rest, and the Coming Global Turn.”

Pertanda Multipolarisme

Dalam beberapa dekade terakhir, tren menuju multipolaritas telah semakin kuat. Tren tersebut ditandai oleh kebangkitan kekuatan besar lain seperti China, Rusia, dan BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China).

China khususnya, sekarang telah menjadi ekonomi kedua terbesar setelah Amerika Serikat. Prestasi Cina ini bersifat permanen mengingat Cina telah menguasai teknologi yang paling canggih dan memiliki pangsa pasar yang sangat besar.

Cina bersama Rusia, Brazil dan India membentuk BRIC yang membentuk pasar domestik dari 3,2 milyar penduduk, empat kali lebih besar dari gabungan penduduk AS dan Uni Eropa. Total GDP nominal BRIC adalah sekitar $26,88 triliun, yang sedikit lebih besar dibandingkan dengan total GDP nominal AS ($26,7 trilyun) dan mendekati gabungan GDP Uni Eropa dan AS ($45 trilyun).

Kecenderungan multipolarisme juga ditandai oleh dihapuskannya perjanjian Petrodollar antara AS-Arab Saudi yang mengaitkan penjualan minyak dilakukan dalam mata uang dolar Amerika Serikat (USD). Perjanjian ini menciptakan permintaan global yang berkelanjutan untuk USD dan mengukuhkan posisi Amerika Serikat dalam ekonomi global.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, terdapat indikasi bahwa dominasi petrodollar mulai meredup. Beberapa faktor yang mempengaruhi hal ini antara lain: Pertama, penggunaan energi terbarukan dan energi alternatif yang mengurangi ketergantungan global pada minyak.

Kedua, dorongan (terutama dari Rusia dan Cina) untuk menggunakan mata uang mereka dalam perdagangan internasional. Langkah-langkah ini termasuk kontrak minyak berdenominasi yuan dan peningkatan cadangan emas sebagai upaya mengurangi ketergantungan pada USD.

Ketiga, kegeraman sejumlah negara atas kesewenangan Amerika Serikat yang mengenakan sanksi ekonomi terhadap negara-negara seperti Iran, Rusia, dan Venezuela atas dasar penguasaan mereka atas dominasi AS atas mata uang internasional telah mendorong negara-negara tersebut untuk mencari alternatif selain dolar dalam perdagangan internasional mereka.

Selain pengaruh petrodollar, multipolarisme semakin menguat oleh (1) kebangkitan ekonomi Cina, (2) inovasi teknologi tinggi di Cina, India dan Korea Selatan yang menggeser dominasi Barat dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi, dan (3) ketidakstabilan politik Barat akibat krisis politik dan ekonomi.

Sebagai contoh adalah keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit), dan kemenangan partai-partai kiri pada pemilu 2024 di Inggris, Perancis dan Uni Eropa. Sepertinya rakyat Eropa semakin pengap oleh unipolarisme yang tidak membawa negara dan dunia menjadi lebih adil dan makmur. Uni Eropa dan AS malah terjebak dalam pertarungan yang tidak mungkin dimenangkan di Gaza dan Ukraina.

Multipolar: Tatanan Dunia Baru

Sebuah masa depan bagi tatanan dunia baru sudah di depan mata. Tatanan dunia baru itu dipertegas oleh keberhasilan Vladimir Putin mengembalikan status Rusia sebagai kekuatan global. Melalui kebijakan luar negeri yang tegas, intervensi militer, dan upaya untuk memperkuat aliansi dengan negara-negara non-Barat, Rusia telah menantang dominasi Amerika Serikat.

Sementara itu kelompok negara BRIC telah bekerja sama dalam berbagai bidang ekonomi, politik, dan keamanan. Pembentukan Bank Pembangunan Baru (NDB) dan Cadangan Kontingensi (CRA) adalah contoh upaya kolektif untuk menciptakan alternatif terhadap institusi keuangan Barat seperti IMF dan Bank Dunia.

Di sisi lain kekuatan lama, AS dan Uni Eropa, mau tidak mau, harus menyesuaikan diri atau beradaptasi. Kegagalan melihat realitas baru (multipolaritas) akan membuat mereka membayar sangat mahal. Perang Ukraina, sebagai contoh, berawal dari arogansi memaksakan perluasan NATO ke perbatasan Rusia, dalam hal ini Ukraina. Upaya itu tentu saja ditentang oleh Putin. Sejumlah tokoh dan pakar, termasuk Angela Merkel, telah mengingatkan bahwa upaya itu berbahaya dan tidak mungkin dicapai (unattainable).

Namun Inggris dan AS tidak peduli, mereka mau Rusia terpojok agar kuasa unipolaris mereka kekal. Sayangnya Rusia tidak bisa dipojokkan, kalau Ukraina tidak bisa dicegah menjadi anggota NATO, Rusia ingin membentuk buffer zone yang memisahkan dirinya dari Ukraina. Akibatnya, sekarang Ukraina mesti membayar mahal ambisi unipolaristik negara-negara Barat. Presiden Zelenski terjebak dalam perang yang tidak mungkin ia menangkan. Bagaimana mengalahkan negara dengan senjata nuklir? Berbeda dengan perang Uni Sovyet di Afganistan, bagi Rusia perang Ukraina terkait dengan eksistensi negara. Kalau sudah terkait dengan eksistensi, penggunaan senjata nuklir tidak bisa dibilang irasional.

Opsi Multipolarisme untuk Prabowo

Prabowo sekarang menghadapi dua pilihan paradigmatis. Di satu sisi Prabowo mewarisi paradigma sosialistis dari ayah dan kakeknya. Namun di sisi lain Prabowo secara terbuka menyatakan akan “melanjutkan” paradigma Jokowi yang oligarkis dan neo-liberal. Mana yang akan ia pilih?

Seperti telah dijelaskan di atas, multipolarisme sebetulnya bangkit dari tradisi sosialistis yang menciptakan negara kesejahteraan di Eropa. Tatanan dunia baru itu menolak tatanan lama yang unipolar, neo-liberal, oligarkis, tidak-adil dan timpang. Indonesia menghadapi pilihan apakah akan meneruskan ideologi unipolar dan nilai-nilai tatanan lama, atau menyesuaikan diri dengan tatanan baru.

Pemilu 2024 di Inggris, Perancis dan Uni Eropa telah menegaskan penolakan rakyat terhadap unipolarisme yang ditunjukkan oleh globalisme dan supranasionalisme. Mereka menghendaki nilai-nilai yang lebih beragam, penghargaan kepada kepentingan nasional dan lebih banyak kedaulatan dan otonomi ketimbang diktasi aliansi dan organisasi internasional.

Pada tingkatan praktis M. Said Didu mengajukan pilihan dilematis apakah Prabowo akan meneruskan kebijakan Jokowi yang memberikan status Projek Strategis Nasional (PSN) kepada PIK-2?

Projek milik Sugianto Kusuma (Aguan) itu, menurut Didu, menempati wilayah pantai utara Tangerang dengan luasan yang lebih besar daripada Singapura. Projek itu berpotensi memaksa rakyat untuk menjual tanahnya dengan harga murah. Tidak sebatas itu, projek tersebut juga mengancam akses publik ke laut dan bantaran-bantaran sungai.

Prabowo juga mesti menghadapi pilihan dilematis terkait problema kemiskinan dan ketimpangan. Menurut teori ekonomi Neoliberal, kemiskinan adalah masalah residual. Artinya, orang menjadi miskin karena kalah bersaing; dengan sendirinya mereka tersingkir dari pembagian kue pembangunan. Solusi neo-liberal untuk kemiskinan adalah belas kasihan. Orang-orang kalah itu perlu dibantu dengan Bansos, BLT dsb.

Sementara dalam pandangan negara kesejahteraan, kemiskinan dan ketimpangan adalah masalah struktural. Solusi yang bermartabat adalah kemandirian dan kerjasama utuk memenuhi kebutuhan sendiri.

Dengan pemahaman itu Margono Djojohadikusumo, kakek Prabowo, mendirikan Koperasi Boedi Oetomo tahun 1913. Margono adalah pelopor gerakan koperasi yang pertama kali. Ia terlibat dalam pendidikan, pengorganisasian dan tidak sungkan mempergunakan pengaruhnya untuk mendorong pemeritah kolonial Belanda agar memberikan dukungan kepada gerakan koperasi.

Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo, adalah ekonom dan politikus terkemuka. Walau ia tidak secara langsung terlibat dalam gerakan koperasi sebagaimana ayahnya, wawasan pembangunan Sumitro menyentuh cakrawala.

Jelas bagi Sumitro, bansos adalah perendahan martabat bangsa. Begawan ekonomi ini bahkan menolak pajak sebagai instrumen pemerataan. Baginya serikat buruh dan tani yang kuat jauh lebih penting untuk menciptakan syarat-syarat bagi pemerataan. Seperti ayahnya, Margono, Sumitro meletakkan kemandirian sebagai solusi bermartabat atas masalah kemiskinan dan pemerataan.

Apa yang akan dipilih Prabowo? [mc]

*Radhar Tribaskoro, Anggota Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia.

Terpopuler

To Top