Nusantarakini.com, Bekasi –
Sulit disangkal. Itulah sikap politik Jokowi yang tetap berusaha menguasai Jakarta. Indikasinya? Melalui kekuasaan yang masih dipegangnya, Jokowi memaksakan Mahkamah Agung mengubah ketentuan batas usia minimum calon gubernur dan wakil gubernur. Arahnya jelas: Kaesang Pangarep bisa ikut kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) Jakarta. Yang perlu kita telaah lebih jauh, apa motif di balik “rudapaksa” Kaesang mengikuti kontestasi gubernur Provinsi Jakarta, padahal statusnya sudah “dilego,” tak lagi menjadi ibukota negara Republik Indonesia?
Sangat mudah dibaca motif itu. Di depan mata, fakta bicara, megaproyek Ibukota Nusantara (IKN) yang dibanggakan itu “sepi” investor. Yang sudah berkomitmen pun melarikan diri. Tak melanjutkan. Sebanyak 80% dana pembangunan yang dirancang dari swasta gagal total (gatot). Berarti, jika IKN dilanjutkan pembangunannya harus mengandalkan APBN. Dan itu nonsense. Sebab, penerusnya (Prabowo Subianto) sudah menunjukkan sikapnya: tak tertarik lagi terhadap megaproyek IKN itu. Tak ada urgensinya, bahkan lebih mengancam kedaulatan negara.
Karena itu, Jokowi – di masa-masa sisa kekuasaannya – harus berpikir ekstra begaimana harus menguasai Jakarta. Karena itu pula, Kaesang diharapkan menjadi faktor penting dan determinan untuk menguasai kota Jakarta. Arahnya? Andai Kaesang berhasil menjadi Gubernur Jakarta, maka putera ragil Jokowi bisa menjalankan peran strategis: “mengobral” ratusan bahkan ribuan aset yang berada di tengah Jakarta. Sejumlah perkantoran megah kementerian dan nonkementerian, bahkan kantor-kantor BUMN, gedung-gedung lembaga yudikatif dan legislatif, markas besar TNI-POLRI, serta aset-aset lainnya yang berupa nongedung bisa dilego ke swasta nasional, bahkan asing. Secara taksasif, nilai penjualannya bisa untuk mengcover biaya pembangunan IKN.
Meski Jakarta dinilai bukan lagi sebagai kota pemerintahan pusat, tapi posisinya sebagai kota bisnis internasional akan tetap menarik bagi korporat kelas raksasa. Memang, tidak mungkin secepat membalikkan telapak tangan. Namun, kekuasaan yang ada di tangannya – sekali lagi jika Kaesang berhasil menjadi Guberbur Jakarta – punya kesempatan untuk mengobral barang-barang yang bukan milik pribadinya. Pengobralannya relatif bisa diharapkan terealisasinya dalam masa kekuasaannya. Menghayalnya seperti itu.
Karena itu, upaya menguasai Jakarta sejatinya akal bulus dan licik Jokowi dalam upaya mewujudkan megaproyek IKN. Sikap licik ini harus dikritisi secara tajam. Jika ambisi merealisasikan IKN semata-mata murni untuk kepentingan nasional, boleh jadi, ada satu logika yang bisa dimaklumi. Namun, kita tak bisa memungkiri bahwa pembangunan IKN sejatinya sarat dengan nuansa politik pro kolonialisme. IKN hanya mengantarkan proses penyerahan kedaulatan RI ke tangan bangsa atau negara lain: China (Tiongkok), yang – dalam masa lima tahun terakhir – sudah didatangkan puluhan bahkan ratusan ribu paramiliter yang berkedok tenaga kerja asing (TKA).
Proyek ideologis Jokowi tak boleh didiamkan. Dan Prabowo yang notabene “merasa lebih dari TNI manapun” berkepentingan besar untuk menghadang megaproyek ambisius Jokowi itu. Kedaulatan NKRI haruslah menjadi harga mati. Bukan slogan atau janji (membual). Dengan posisinya sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, Prabowo berkepentingan besar untuk mencegah manuver Kaesang-Jokowi yang siap mengobral ratusan aset vital di tengah Jakarta. Yang perlu dicatat, andaikan Kaesang memang ditakdirkan sebagai Gubernur Jakarta, posisi Prabowo jelaslah lebih punya otoritas untuk negeri ini, dibanding seorang gubernur. Sikap tegas Prabowo menjadi alat uji nasionalisme konkret.
Sisi lain, sekali lagi jika Kaesang berhasil menduduki kursi gubernur, maka upaya pengobralan aset-aset vital yang berada di Jakarta haruslah melalui persetujuan DPRD Provinsi. Maka, sikap politik Fraksi PDIP, PKS dan PKB harus tegas menolak, tanpa reserve. Meski “kompensasi” menggiurkan, penjualan aset-aset Jakarta menyangkut masa depan negeri ini. Janganlah menjadi pengkhianat untuk bangsa dan negeri ini. Sikap tegas ketiga partai perlu diperkuat oleh kekuatan civil society. Jika diperlukan, perlu jihad yang super heroik, meski harus berhadapan dengan kekuatan militer-polisi pro Kaesang-Jokowi. Sikap jihadiyyah ini – sekali lagi – karena panggilan nasionalisme yang sungguh-sungguh mencintai negeri ini yang tak rela sejengkal pun tanahnya terampas oleh asing.
Akhir kata, pilkada Jakarta jangan sampai kecolongan oleh manuver rezim culas Jokowi ini. Kaesang hanyalah pion kecil bagi kepentigan Jokowi yang notabene “seleluhur” dengan negeri Tiongkok. Sebuah pertanyaan dasar bagi seluruh protarian Prabowo, masih punyakah nasionalisme (ber-NKRI sejati)? Jika masih punya, tunjukkan resistensi kalian. Perlu bahu-membahu atas nama kepentingan negara, meski – dalam pilpres 2024 lalu – beda pilihan politiknya dengan kubu 01 dan 03.
Namun, dalam hajat pilkada Jakarta, yang harus dilihat dengan jernih adalah who is Kaesang, and what his agenda on behalf Jokowi`s interest. Inilah yang harus dijadikan pijakan politik dalam pilkada Jakarta. Sangat krusial. Sangat korelatif dengan masa depan negara.
Jadi, buang jauh-jauh bahwa pilkada Jakarta khususnya hanyalah pesta demokrasi per lima tahunan dan mengabaikan masalah figuritas. Jangan salah pilih figur pemimpin yang jelas-jelas bermesraan dengan terealisasinya IKN. Masyarakat Jakarta akan menjadi saksi. Juga, pemerintah pusat akan berandil, apakah ikut bersekongkol dengan rezim culas atau terpanggil menyelamatkan negeri ini. Dua pertanyaan mendasar itu pun akan mempengaruhi nasib penduduk dan daerah-daerah penyangga Jakarta (Kota Bekasi, Tangerang Selatan, Kota dan Kabupaten Bogor). Ada efek domino. Bisa positif, bisa juga sebaliknya. Tergantung dari pilihan di antara dua opsi politik itu. [mc]
Bekasi, 20 Juni 2024.
*Agus Wahid, Analis Politik.