Nasional

ArtificiaI Inteligence Generatif dan Moralitas Publik

Agus Sudibyo, Ketua Dewan Pengawas LPP TVRI. (Istimewa)

Dengan mesin pencari seperti Google search, kita dapat mengakses sumber informasi yang melimpah ketika hendak menyusun makalah, berita, analisis politik, kerangka kerja, rencana perjalanan, strategi pemasaran dan lain-lain.

Nusantarakini.com, Jakarta –

Namun, kemewahan ini terasa tak sebanding dengan apa yang kemudian disajikan oleh teknologi Artificial Inteligence (IA) generatif. Dengan hanya memasukkan satu pertanyaan atau perintah dalam prompt Chatgpt, kita dapat memperoleh teks-teks tersebut di atas secara cepat, instan, terstruktur, dan nyaris sempurna.

Dengan kemampuan yang belum pernah ada presedennya ini, AI generatif telah mengguncang dunia. Semua sektor mengalami demam, eforia, keterkejutan, sekaligus kekhawatiran yang membuncah.

AI generatif secara cepat mengubah pandangan kita tentang internet. Internet bukan lagi sekedar sarana untuk mencari dan mengumpulkan data dan informasi untuk diolah kembali menjadi representasi tektual, visual atau audiovisual yang kita butuhkan. Dengan AI generatif, proses pencarian dan pengumpulan informasi itu bisa-jadi tak dibutuhkan lagi. AI generatif telah memangkas tahap-tahap pengolahan informasi, sekaligus memadatkan langkah-langkah penyusunan narasi yang semestinya bersifat kompleks dan menyita waktu. AI generatif juga mampu meminimalkan proses kreatif di balik lahirnya suatu gambar, desain, video, cerita pendek atau sajak. “Selamat datang ke dunia yang serba instan, spontan dan compact!”

Bagi mereka yang terus dihantui oleh tuntutan efisiensi dan efektivitas, ini tentu saja kabar yang ditunggu-tunggu. Para profesional yang senantiasa dikejar tenggat waktu, AI generatif seperti mukjijat yang turun dari langit. Mahasiswa, dosen, penulis, peneliti, wartawan, analis, kreator konten, desainer sangat dimudahkan dalam pekerjaannya. AI generatif juga dipercaya menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan di negara-negara yang telah secara massif menerapkannya di berbagai bidang.

Namun, ketika Chatgpt telah menjadi “barang publik” yang sangat popular, beberapa kalangan mulai mencemaskan dampak negatifnya. Ketika anak-anak SMU menggunakan mesin AI untuk mengerjakan tugas matematika yang dikumpulkan besok pagi, ketika mahasiswa dapat menggunakan Chatgpt untuk menulis makalah yang selesai hanya dalam satu jam, apakah ini benar-benar baik dan fungsional bagi tujuan-tujuan pendidikan? Ketika seorang wartawan menyebarkan berita yang sepenuhnya atau sebagian besar dibuat oleh Chatgpt, apakah ini juga baik untuk pelembagaan jurnalisme dan ruang publik yang beradab? Bagaimana kita menegakkan nilai tanggung-jawab intelektual, integritas akademik atau moralitas publik pada era di mana pemanfaatan dan pendaurulangan diam-diam konten atau karya milik orang lain terjadi begitu massif, sistemik dan bahkan tanpa kejujuran?

Memeriksa Kebenaran Informasi

Literasi publik tentang AI generatif menjadi suatu kebutuhan mutlak di sini. Kebutuhan yang harus dipercepat pemenuhannya karena Chatgpt telah secara luas menjadi konsumsi publik. Ada beberapa aspek yang perlu ditekankan dalam literasi AI generatif.

Pertama, kesadaran bahwa tidak semua yang tersedia di ruang digital dapat dipercaya begitu saja dan dijadikan dasar utama –bahkan satu-satunya– untuk membuat keputusan penting pada ranah privat maupun publik. Sebaliknya, seperti dinyatakan Vidhi Chugh dalam “Ethics in Generative-AI” (2023), sebagian besar masalah dapat terselesaikan justru ketika mampu mewaspadai luapan informasi yang tersedia di ruang digital. Masalah utama kita saat ini umumnya bukan kekurangan informasi, melainkan informasi yang melimpahruah. Maka yang mesti dikembangkan adalah kemampuan berjarak dengan limpah-ruah informasi itu dan memeriksa kebenaran informasi yang kita anggap penting atau menarik.

Tulisan ini telah dimuat harian Kompas 14/06/2024, hlm 7. (Foto: Facebook)

Memeriksa kebenaran informasi harus menjadi matra bagi semua orang yang aktif menggunakan teknologi AI. Apa yang dihasilkan AI generatif sesungguhnya adalah sebuah versi kebenaran, di antara sekian banyak versi, dan belum tentu merupakan kebenaran itu sendiri. Seperti disarankan Nnenna Uche dkk. dalam Guidelines for the Ethical Use of Generative AI (2023), jika kita ingin membangun opini yang independen dan obyektif tentang topik yang sensitif, sebaiknya tidak tergantung pada kerja AI generatif. AI generatif di sini seringkali menyediakan jawaban yang hanya menggambarkan pandangan dominan atau yang sedang popular. Pandangan tersebut belum tentu sahih atau layak menjadi rujukan, dan sangat tergantung siapa yang paling dominan di ruang diskusi online. Chatgpt sebagai contoh, menyandarkan diri pada hasil pelacakan algoritmis atas pola-pola yang terbersit dalam aneka tulisan, opini, analisis dan argumentasi yang tersebar di dunia maya. Jika pola-pola itu untuk mengandung bias, prasangka, atau stereotipe, maka teks buatan Chatgpt juga mencerminkan hal yang sama.

Memeriksa kembali hasil kerja AI Generatif menjadi sebuah keharusan di sini. Konten-buatan-AI hendaknya diperlakukan sebagai barang setengah jadi atau analisis yang bersifat sementara, yang perlu diolah-ulang dengan mengedepankan analisis, argumentasi atau pemikiran kita sendiri. Terlebih-lebih kita umumnya tidak mengetahui asal-usul narasi yang muncul dari sebuah prompt Chatgpt misalnya. Maka yang perlu dikoreksi dan dikendalikan dalam hal ini adalah kebiasaan menyebarkan konten-buatan-AI ke ranah media sosial, media massa dan ruang publik lainnya tanpa proses penyuntingan dan pengolahan ulang yang semestinya. Ini adalah kebiasaan yang tidak bertanggung-jawab dan berpotensi menyesatkan orang lain.

Mewaspadai Stereotipe

Seberapa baik kinerja suatu model AI, ditentukan oleh seberapa lengkap dan komprehensif data yang digunakan untuk melatih model tersebut. Jika data pelatihan pada tahap machine learning masih mengandung bias atau stereotipe, maka model AI yang dihasilkan juga bisa jadi mencerminkan bias atau stereotipe tersebut. Pemasok data untuk pengembangan AI itu adalah sesungguhnya para pengguna internet. Persoalannya, tingkat penggunaan internet tidak merata. Ada masyarakat yang tingkat penggunaan internetnya tinggi, ada masyarakat yang tingkat penggunaan internetnya rendah.

Faktor berikutnya adalah bahasa. Algoritma penangkapan percakapan yang juga menjadi dasar penciptaan AI notabene lebih familier terhadap bahasa Inggris yang menjadi bahasa universal. Maka percakapan atau teks dalam bahasa Inggris lebih banyak ditangkap, dianalisis atau digunakan sebagai bahan dasar proses machine learning yang melahirkan produk AI. Maka produk-produk AI sangat mungkin bias terhadap pengguna bahasa non-Inggris, sejauh algoritma penangkapan percakapan berbahasa non-Inggris belum dikembangkan secara paripurna.

Siapa pemasok data untuk pengembangan suatu program AI dan apa dampaknya? Jika pemasok data kebanyakan orang kulit putih, maka analisis dan rekomendasi AI bisa jadi bias pandangan kulit putih dan cenderung diskriminatif terhadap kulit hitam. Jika pemasok data kebanyakan laki-laki, maka analisis dan rekomendasi AI bisa menjadi bias pandangan atau nilai laki-laki dan cenderung diskriminatif terhadap perempuan. Jika pemasok data kebanyakan Non-Muslim, maka analisis dan rekomendasi AI bisa menjadi bias pandangan dan nilai Non-Muslim dan cenderung diskriminatif terhadap Muslim.

Mesin AI seperti Chatgpt terus berproses untuk mengeliminir bias-bias tersebut dan semakin lama semakin baik kemampuannya dalam menyajikan sudut-pandangan yang lebih universal. Sungguhpun demikian, tuntutan untuk mewujudkan pluralisme dan multikulturalisme, masih terus mengemuka dalam perbincangan tentang pengembangan AI belakangan. Untuk dapat menciptakan AI generatif yang komprehensif, proporsional dan adil dalam memandang dunia, data yang digunakan untuk melatih model AI tersebut harus mencakup keberagaman pandangan atau perspektif yang ada di muka bumi ini. Keadaan faktual belum menunjukkan hal ini sehingga mesin-mesin AI generatif masih sering menghasilkan narasi yang stereotipis, bahkan diskriminatif terhadap kelompok tertentu, katakanlah Muslim, kulit hitam, atau perempuan.

Dunia jurnalisme dan wacana akademik semestinya tidak memberi ruang untuk segala bentuk diskriminasi dan stereotipe. Maka sikap kritis terhadap hasil kerja AI generatif menjadi keharusan di sini, khususnya para wartawan dan penulis yang hasil kerjanya bisa berpengaruh langsung terhadap khalayak ramai. Demikian juga untuk para peneliti dan mahasiswa yang dituntut untuk mampu bersikap proporsional dan obyektif dalam memandang fakta-fakta.

Kejujuran Menjadi Kunci

Pada setiap teks yang dihasilkan AI generatif, ada jejak jerih-payah para pemilik data atau pembuat konten. Kita di sini sesungguhnya berhutang budi kepada para pengguna layanan digital, juga para penerbit media dan pemilik konten yang hasil kerjanya secara otomatis di-crawling dan didaur-ulang oleh perusahaan platform digital. Oleh karena itu, selalu ada kemungkinan terjadinya pelanggaran hak kekayaan intelektual dalam proses penciptaan maupun penerapan AI generatif. Pemanfaatan AI generatif juga dapat merugikan kepentingan ekonomi para pemilik konten atau pemegang hak cipta.

AI generatif umumnya juga tidak menjelaskan sumber-sumber informasi yang dimanfaatkan untuk menghasilkan sebuah teks. Ketika dari suatu prompt Chatgpt menghasilkan suatu teks, kita tidak pernah tahu teks tersebut hasil “daur ulang” teks yang mana saja dan milik siapa. Padahal jelas sekali jika suatu prompt menghasilkan analisis bisnis yang meyakinkan, ini bertolak dari teks analisis bisnis yang di-crawling dari berbagai sumber.

Dalam konteks ini perlu ditegaskan bahwa teks yang kita dapatkan dari AI generatif sesungguhnya tercipta berkat proses rekayasa atas teks milik orang lain. Ada jejak jerih payah orang lain di balik narasi yang bisa kita dapatkan dari sebuah prompt. Oleh karena itu, tidak semestinya mahasiswa, dosen, wartawan atau siapapun mengklaim konten-buatan-AI generatif sebagai konten miliknya sendiri. Mesti ada kejujuran untuk mengakui konten tersebut merupakan hasil kerja AI generatif.
Dalam kehidupan publik, kejujuran itu adalah kunci. Tanpa kejujuran, jurnalisme akan merosot menjadi propaganda, dan dunia pendidikan akan kehilangan nilai-nilai luhur pendidikan. Hasilnya kemudian adalah situasi nihilistik di mana kita tidak lagi memiliki sandaran kokoh untuk memisahkan kebenaran dari kebohongan, serta kebaikan dari keburukan. Pada titik inilah AI generatif mesti dibahas dari perspektif moralitas publik. [mc]

*Agus Sudibyo, Ketua Dewan Pengawas LPP TVRI.

Sumber dan Foto: Facebook.

Terpopuler

To Top