Nusantarakini.com, Bandung –
Luar biasa kerja, kerja dan kerja Joko Widodo alias Jokowi. Sukses dalam merusak perangkat maupun aparat. Demi anak semua dibabat. Gurita pun berhasil mencengkeram kuat-kuat. Tidak takut akan kemarahan rakyat, apalagi sekedar sumpah serapah kualat. Jokowi memang sudah nekad.
Demi Kaesang yang ingin maju Pilkada, maka Mahkamah Agung (MA) pun diperalat. Putusan soal persyaratan usia yang diubah bukan murni kepentingan hukum apalagi kepentingan rakyat. Ini kepentingan politik, kepentingan Istana, kepentingan Jokowi. Anak TK juga tahu akan disain nepotisme seperti itu. Politik dinasti Jokowi memang bukan basa-basi lagi tetapi telah menjadi bukti.
Putusan MA No. 23/P/HUM/2024 tanggal 29 Mei 2024 yang mengabulkan gugatan Ketum Partai Garuda mengenai batasan usia calon kepala daerah jelas untuk kepentingan Kaesang bin Jokowi. Kaesang bisa memenuhi syarat untuk menjadi Cagub jika usia 30 tahun dihitung sejak pelantikan. Andai aturan PKPU lama digunakan maka Kaesang tidak akan memenuhi syarat. Putusan MA ini bukan hanya lucu dan mengada-ada tetapi juga brutal. Bentuk dari vandalisme hukum.
Sungguh brutal kerja Jokowi. Setelah menghancurkan MK dengan Putusan No 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran bin Jokowi, maka kini MA yang dihancurkan untuk meloloskan Kaesang bin Jokowi. Sempurna sudah hancurnya lembaga-lembaga peradilan di Indonesia di bawah kepentingan Jokowi dan keluarganya.
Soal otak atik ijazah palsu, Jokowi melalui PN Surakarta sukses memenjarakan Bambang Tri dan Gus Nur. Gugatan Perdata melalui PN Jakarta Pusat dibantai dengan NO bahwa Pengadilan tidak berwenang. Proses aduan tindak pidana nepotisme Jokowi, Iriana, Anwar Usman dan Gibran ke Mabes Polri juga jauh dari meningkat ke proses peradilan.
Rusak MA, rusak MK, rusak KPU, rusak Bawaslu dan rusak banyak lembaga termasuk DPR karena “nila setitik” kepentingan Jokowi. Negara Indonesia telah menjadi rusak berantakan oleh kerja “nila setitik.” Dengan pola kepemimpinan feodal, oligarkis dan terpimpin seperti ini maka “nila setitik” mudah untuk berubah menjadi “nila sebelanga.”
Sepuluh tahun memerintah, Jokowi mampu menebar banyak racun bagi Bangsa Indonesia.
Lagu Koes Plus bagai utopia saja
“Bukan lautan hanya kolam susu//Kail dan jala cukup menghidupimu//Tiada badai, tiada topan kau temui//Ikan dan udang menghampiri dirimu.”
Yang terjadi adalah kolam itu telah berisi katak-katak beracun yang menjijikkan, kail dan jala yang mencekik kehidupan rakyat, badai topan di mana-mana memporakporandakan nilai-nilai kejujuran dan keadilan, serta skandal-skandal yang terus menghampiri. Skandal pajak 349 trilyun, skandal timah 271 trilyun, skandal bansos, tapera dan lainnya.
Negara Hukum menurut Konstitusi telah habis diinjak-injak Jokowi. Tidak ada rasa malu apalagi dosa.
Di balik wajah “ndeso,” ada nafsu “rakseso” yang selalu bikin “goro-goro.” Bagai tari “rakseso desa salamrejo” berakhir dengan kesurupan sang rakseso.
Sungguh ciloko, negara ini dipimpin oleh para rakseso yang sedang kesurupan.
Jika didemo ia menghilang, mungkin karena hutangnya yang terlalu banyak kepada rakyat.
“Ono papat wong sing iso ngilang. Pertama malaikat, keloro jin, ketelu setan, kepapat wong utang ra gelem nyaur.”
(Ada empat yang bisa menghilang. Pertama malaikat, kedua jin, ketiga, setan, dan keempat manusia yang banyak hutang tidak mau bayar).
Menghilang dan terus berbohong.
“Ngapusi kui hakmu. Nek kewajibanku mung etok-etok ora ngerti yen mbok apusi.”
Inilah artinya:
Berbohong adalah hakmu. Kewajibanku hanya pura-pura tidak tahu sedang kau bohongi.
Pak Jokowi, Anda bohong dengan Putusan MK dan Putusan MA.
Demikian pula Kepres No 24 Tahun 2016 adalah kebohongan. 1 Juni 1945 bukan hari lahir Pancasila, hari lahir Pancasila itu pada tanggal 22 Juni 1945, atau sebagaimana yang sudah disepakati, yakni 18 Agustus 1945. [mc]
Bandung, 1 Juni 2024.
*M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan