Nusantarakini.com, Bangkalan –
Dari 30 manuskrip yang telah ditemukan oleh Tim Turots Syaikhona Kholil Bangkalan, ada 1 kitab yang bagi saya sangat menarik, Kitab Manaqib atau biografi Syaikhona Kholil berbahasa arab sebanyak 11 halaman, yang setelah kami konfirmasi kepada Syaikh Sufyan Marbu (salah satu Sekertaris Syaikh Yasin Al-Fadani) bisa dipastikan bahwa kitab itu adalah tulisan tangan Syaikh Yasin sendiri. Tentunya bukan suatu hal yang mengherankan jika beliau sampai menuliskan biografi Syaikhona dalam sebuah risalah khusus, dikarenakan sanad-sanad Syaikh Yasin dalam beberapa kitab memang bersambung ke Syaikhona Kholil melalui dua guru beliau yang pernah berguru kepada Syaikhona: KH. Maksum Lasem dan Syaikh Tubagus Bakri Banten (Mama Sempur).
Dalam kitab itu Syaikh Yasin beberapa kali menyebutkan “Circle” Ba’alawi dalam kehidupan Syaikhona Kholil, pertama, ketika beliau mengutip ucapan Habib Salim Bin Jindan (kakek Habib Jindan yang juga merupakan santri Syaikhona Kholil) tentang silsilah nasab Syaikhona.
Dinukil oleh Habib Salim, Syaikhona semasa hidupnya pernah berkata :
إنما أنا من ذرية صاحب جبل قيري هو محمد عين اليقين الملقب برادين فاكونقارا و أمي من سلالة الملوك
“Adapun saya adalah keturunan Sunan Giri Muhammad Ainul Yaqin (Raden Paku), sedangkan ibu saya dari keturunan kerajaan.“
Kedua adalah ketika Syaikh Yasin menyebutkan para guru Syaikhona selama di tanah Hijaz. Ketika di Mekkah Syaikhona tercatat pernah berguru kepada Habib Muhammad Bin Husein Al-Habsy, ayah dari Habib Ali Al-Habsy Shohib Simtudduror yang menjabat sebagai Mufti Syafi’iyah di Mekkah pada waktu itu. Ketika di Madinah, Syaikhona juga pernah ngaji hadits kepada Habib Hasyim Bin Syeikh Al-Habsy.
Ketiga adalah ketika Syaikh Yasin menerangkan para santri Syaikhona Kholil. Menurut beliau, Syaikhona semasa hidup mencetak sekitar setengah juta santri, 3000 di antaranya berhasil bergelar “Alim Allamah.” Di antara sekian banyak santri Syaikhona yang disebut Syaikh Yasin, banyak sekali nama-nama dari kalangan Habaib Ba’alawi antara lain :
1. Habib Ahmad Bin Hasan Bin Jindan.
2. Habib Salim Bin Jindan (beliau pernah menuliskan: “Saya, ayah saya dan kakek saya, semua pernah sowan kepada Syaikhona Kholil.”
3. Syaikha Ummu Kultsum Binti Idris Basyaiban.
4. Habib Ja’far Bin Muhammad Al-Haddad.
5. Habib Umar Bin Sholih Assegaf Surabaya.
6. Habib Abdullah Bin Ali Al-Haddad Bangil.
7. Habib Hasan Bin Abdurrahman Bin Smith.
8. Habib Idrus Bin Hasan Al-Munawwar.
9. Habib Muhammad Bin Ahmad Al-Habsy.
10. Habib Alwi Bin Muhammad Bilfaqih.
Masih banyak para santri Syaikhona dari kalangan Habaib yang tidak dicantumkan Syaikh Yasin seperti Habib Ali Bafaqih (salah satu “wali pitu” Bali yang dimakamkan di Negare).
Ini fakta yang menunjukkan bahwa para Sadah Ba’alawi sejak dulu bukan golongan “eksklusif” yang hanya mau berguru kepada golongan mereka sendiri seperti yang akhir-akhir ini di-framing-kan.
Ketika saya mondok di Al-Anwar Sarang, saya punya beberapa teman sekelas dari kalangan Habaib. adapun narasi semacam: “Berguru kepada Habib Jahil lebih baik dari berguru kepada 70 kiai Alim,” jelas merupakan narasi tak berdasar, yang jika benar itu diucapkan oleh salah satu Habaib, maka saya yakin itu adalah oknum yang tidak bisa dijadikan sebagai representasi Ba’alawi.
Terakhir adalah ketika Syaikh Yasin menjelaskan tentang akhlak mulia seorang Syaikhona, beliau menuliskan :
“Syaikhona Kholil juga dikenal memiliki rasa hormat dan ta’dhim yang sangat besar kepada semua Ahlul Bait dan orang-orang Arab. Tidak pernah ada ulama Nusantara yang menghormati Ahlul Bait melebihi beliau. Beliau tidak pernah memuliakan dan menghormati seseorang melebihi penghormatan beliau kepada para Asyraf.
Seringkali Al-Imam Al-Masyhur Al-Habib Muhammad Bin Musthofa Al-Muhdhor berkunjung ke rumah beliau. Maka beliau akan melepas sandal beliau, berjalan tanpa alas kaki, dan menundukkan kepalanya untuk menyambut kedatangan Sang Habib dari kejauhan. Dan orang-orang menyaksikan hal ini dari beliau bukan hanya satu atau dua kali.
Al-Habib Ahmad Bin Muhammad Bilfaqih juga sering bertamu kepada beliau. Bahkan demi itu, Habib Ahmad rela menaiki Kapal di tengah-tengah ombak dan angin kencang. Dan setiap kali berkunjung ke Bangkalan, Syaikhona pasti akan menyuruh salah seorang santrinya untuk menyambut Habib Ahmad di pelabuhan Kamal, padahal beliau tidak pernah memberi kabar kepada Syaikhona bahwa beliau akan datang ke Bangkalan.
Syaikhona juga pernah memuliakan Al-Habib Muhammad Bin Ahmad Al-Muhdhor dengan sambutan yang luar biasa ketika beliau berkunjung ke Demangan Bangkalan. Syaikhona juga seringkali berbalas surat kepada Al-Habib Al-Muhaddits Husain Bin Muhammad Al-Habsyi Mekkah (Kakak dari Habib Ali Bin Muhammad Al-Habsy Shohibul Maulid). Ketika di Mekkah, Syaikhona pernah berguru kepada ayah beliau, Mufti Mekkah Al-Habib Muhammad Bin Husain Al-Habsyi.
Ketika masa hidup Syaikhona juga sering mewasiatkan dan mengijazahkan Rotib Haddad kepada para keluarga dan santrinya, beliau pernah menuliskan Rotib Haddad secara khusus untuk Nyai Aminah istri beliau di daerah Telaga Biru Bangkalan. Beliau juga pernah memberi ijazah Rotib Hadad kepada santri beliau “Manab Magelang” atau Kiai Abdul Karim Lirboyo.
Hubungan dan ikatan harmonis dengan para Habaib sejak zaman Syaikhona itu alhamdulillah terus lestari hingga generasi kami kini. Pada tahun 2008, ketika mau mondok di Lasem, Muhammad Ismail Al-Ascholy pernah diajak umminya almarhumah Nyai Muthmainnah Aschal untuk sowan ke Kiai Kholilurrahman (Ra Lilur) cicit Syaikhina Kholil Bangkalan, seorang Waliyullah Majdzub yang juga paman dari sang Ummi.
Setelah mengutarakan niat untuk menuntut ilmu dan meminta doa, Ra Lilur memberinya secarik kertas, isinya adalah sebaris bait bahasa arab yang berisi “tawassul” kepada Sadah Ba’alawi dan ditulis oleh tangan beliau sendiri :
و بالسادة الطهر الكرام أولي التقى * بني علوي من حووا كل سؤدد
“Dengan Barokah Saadah (para Sayyid) dari golongan Bani ‘Alawy yang suci, mulia, dan memiliki sifat Taqwa, mereka yang telah menggapai semua kemuliaan.”
Di tengah hiruk-pikuk pembahasan nasab akhir-akhir ini, saya tidak ingin banyak berkomentar. Saya hanya ingin kita tidak lupa kepada fakta, bahwa sejak dulu lebih dari 1 abad lamanya para Kiai dan Habaib saling hidup rukun dalam kedamaian, mereka saling menghormati, saling mencintai, saling bersatu untuk membumikan ajaran ahlussunnah wal jama’ah di bumi pertiwi ini. adapun yang tidak seperti itu maka ia hanyalah oknum yang tidak seharusnya kita “baperi” dan tidak kita paksakan untuk menjadi representasi.
Sekali lagi para Habaib dan Kiai bukanlah duahal berbeda yang bisa dibanding-bandingkan apalagi dibentur-benturkan. Keduanya adalah “satu-kesatuan” yang merupakan element penting bagi kesatuan bangsa Indonesia. Kamu tidak harus setuju dengan tulisan ini, kita memang tidak harus berfikiran sama, tapi mari kita sama-sama berfikir. [mc]
Bangkalan, 25 Mei, 2024.
*Ismael Amin Kholil, Cicit Syaikhona Kholil.