Nusantarakini.com, Jakarta –
Mantan Staf Ahli Menkominfo, Henry Subiakto merasa prihatin jika Starlink masuk beroperasi di Indonesia. Starlink sendiri merupakan sebuah proyek pengembangan konstelasi satelit yang sedang dijalankan oleh perusahaan Amerika Serikat bernama SpaceX.
Proyek ini bertujuan untuk menghadirkan sebuah sistem komunikasi internet berbasis satelit yang memiliki performa tinggi serta dengan harga yang sangat terjangkau.
“Saya tidak setuju Starlink diijinkan beroperasi di Indonesia,” ucap Henry, dalam keterangannya, Kamis, (23/5/2024).
Menurut Henry, Starlink tak hanya berpotensi membangkrutkan perusahaan nasional di bidang telekomunikasi dan internet service provider, seperti group Telkom, Indosat dll. Tapi Starlink juga bisa dimanfaatkan kekuatan sparatisme seperti KKB/OPM dll, untuk komunikasi mereka tanpa terdeteksi negara atau pemerintah Indonesia.
“Starlink berpotensi akan mengoyak NKRI,” tegas Guru Besar Universitas Airlangga ini.
“Makanya Starlink di dunia lebih banyak digunakan oleh negara-negara satelit atau pendukung Amerika Serikat,” imbuhnya.
Kenapa demikian? Karena, kata dia, satelit Starlink memiliki perbedaan signifikan dibandingkan satelit biasa seperti Palapa, Satria, Kacific, Telkom 1 dan satelit-satelit lain milik Eropa maupun AS di luar Starlink.
“Starlink itu satelit Low Earth Orbit (LEO) yang beroperasi dengan ketinggian sekitar 340 hingga 1.200 km di atas permukaan bumi,” terangnya.
Untuk diketahui, Starlink ukurannya kecil, jumlahnya ribuan dirancang bekerja bersama secara sinkron menyediakan layanan internet. Mereka seolah seperti BTS terbang.
Sedang satelit komunikasi konvensional ditempatkan di orbit geostasioner (GEO) sekitar 35.786 km di atas khatulistiwa bumi, berada di satu titik relatif tetap dari permukaan bumi.
Untuk bisa melayani publik butuh perangkat stasiun bumi. Setiap satelit Starlink beratnya sekitar 260 kg. Satelit GEO lebih besar dan mahal karena teknologi dan perlengkapan lebih kompleks, dengan kebutuhan bertahan di orbit yang lebih tinggi.
Starlink pakai teknologi phased-array untuk antena, yang memungkinkan satelit mengarahkan sinyal tanpa harus memindahkan satelit itu sendiri.
Sistem ini dirancang untuk latency rendah dan kecepatan tinggi. Alat penangkap sinyal satelit hanya menggunakan antena kecil dan alat seukuran laptop besar yang bisa dipindah-pindahkan. Sedang Satelit GEO harus pakai antena besar yang tetap untuk komunikasi berkapasitas tinggi.
Karena itu satelit konvensional butuh mitra untuk mendistribusikan layanannya ke masyarakat. Itulah perusahaan operator seluler dan ISP yang menjadi mitranya.
Beda denga Starlink yang tidak butuh mitra. Mereka bisa melayani langsung ke publik tanpa pihak ketiga. Maka masuknya Starlink bisa jadi awal kematian perusahaan-perusahaan nasional di bidang internet, seluler dan juga satelit.
Jadi Starlink bukan sekedar perusahaan perangkat dan layanan satelit semata, tapi Starlink jang berfungsi sebagai perusahaan internet service provider. Bahkan bisa berfungsi sebagai platform digital, mengingat Elon Musk juga memiliki perusahaan X (dulu Twitter) yang sekarang tak sekedar medsos tapi juga mengarah jadi platform media komunikasi.
Ini bahayanya. Perusahaan Starlink trafik dan kontennya di luar jangkauan yuridiksi, kedaulatan digital dan kewenangan hukum nasional. Selain bisa dimanfaatkan untuk melawan kedaulatan negara dan mengancam keamanan nasional. Perusahaan Starlink sebagai perusahaan AS dilindungi US Cloud Act 2018.
Data yang mereka kumpulkan atau berada di perusahaan itu tidak boleh diakses negara lain (termasuk Indonesia), tapi harus terbuka pada Pemerintah dan penegak hukum AS.
Persoalannya Starlink apa mau nurut hukum di Indonesia atau hukum AS?
Kalau mereka melayani Papua atau daerah konfik lain, datanya bisa diakses intelejen dan pemerintah AS untuk kepentingan politiknya. Sebaliknya data-data itu tidak bisa diakses pemerintah Indonesia.
Di situlah kenapa Starlink berbahaya bagi NKRI, saat melayani wilayah gunung-gunung dan pedalaman Papua.
Seperti yang terjadi di Ukraina, Starlink dipakai tentara Ukraina melawan Rusia. Rusia kewalahan karena pergerakan pasukannya bisa terpantau tentara Ukraina.
Lalu apa jadinya kalau OPM/KKB juga pakai fasilitas Starlink?
Terlebih kalau gerakan itu didukung asing, siapa yang tanggung jawab jika menjadi makin besar, canggih dan mampu melawan TNI/Polri atau kekuatan negara.
Bagi rakyat kecil tahunya internet murah dan sampai pelosok-pelosok pasti didukung. Tapi bagaimana konsekuensinya, itu yang harus dipikirkan?
Agak mending kalau Elon Musk bersedia setuju dan komit tunduk pada UU Indonesia. Lalu wilayah layanan tidak mencakup wilayah rawan seperti Papua?
Apakah Elon Musk mau? Silahkan ditanyakan pada mereka!! [mc]
*Sumber dan foto: Henry Subiakto.