Nusantarakini.com, Bekasi –
Pada mulanya, kami pergi ke kota untuk menghindari nasib di kampung yang makin suram akibat invasi modal orang-orang antah berantah yang menyulap hutan-hutan kami yang rimbun dan indah berbukit menjadi kebun-kebun sawit yang seragam dan membunuh vegatasi dan aneka fauna yang kami butuhkan.
Selain untuk memperoleh pengalaman sekolah yang lebih tinggi di kota-kota besar, kami berharap, tepatnya orang tua kami berharap, setelah tamat sekolah yang bertitel sarjana itu, kami dapat menghindari kehidupan yang sempit dan mempunyai pekerjaan di luar sebagai peladang dan petani seperti para orang tua kami. Tapi rupanya hal itu pun tidak menjamin karena ketatnya persaingan mencari pekerjaan yang diciptakan perusahaan-perusahaan modern.
Namun untuk pulang ke kampung dengan titel sekolah yang sudah kadung tinggi, bukan perkara mudah menghadapi cemoohan dan nyinyiran orang-orang kampung sendiri. “Jauh-jauh dan tinggi-tinggi sekolah, balek pula jadi pendodos dan peladang,” ungkap orang-orang kampung yang iri karena anaknya tidak ada yang berani sekolah tinggi di kota.
Pada akhirnya menetapkan pilihan untuk selamanya bermukim di kota sekaligus melupakan kampung halaman yang permai dengan mencari penghidupan apa pun yang layak dan halal di kota, merupakan hal tak terelakkan.
Waktu berlalu. Generasi baru pun lahir dari sebuah keluarga transisi kampungan yang sepenuhnya berbudaya kota. Mereka tidak seperti orang tuanya yang masih rindu angin semelir yang meniup jagung-jagung muda di ladang yang menaburkan aroma tak terlupakan. Tidak juga seperti orang tuanya yang masih fasih dengan bahasa kampungnya yang jauh dari nada egois.
Anak-anak hasil persilangan generasi transisi ini sepenuhnya manusia urban yang tidak mengenal apa yang dirindukan orang tuanya: tentang keakraban orang-orang kampung yang membuka ladang baru, tentang menu kampung yang segar dan gurih, dan sejuknya subuh ketika tidur di rumah papan dan bertiang. Kasederhanaan hidup semacam itu kini merupakan kemewahan bagi dirinya. Tetapi tidak bagi anak-anaknya. Anak-anaknya asing dan tidak menyukai gambaran hidup semacam itu.
Anak-anaknya yang tercerabut benar-benar itu, hanya merindukan game-game online yang seru. Makan kentang goreng di kafe-kafe sambil menghabiskan waktu berkelakar dengan teman-teman sebayanya untuk bahas game-game online paling baru dan seru.
Tercerabutlah dengan sempurna hidupnya dan identitas keluarganya sebagai orang kampung yang dulu mendambakan kehidupan yang tentram, damai dan sederhana. Berganti secara terpaksa dengan kehidupan urban yang kering, pemburu kebaruan dan kemudahan teknologi, dan tekanan keuangan di sana sini serta kepalsuan jati diri.
Orang-orang seperti inilah yang tiap tahun berduyun-duyun, konvoy dan berkejar-kejaran mudik menuju kampung halaman.
Semua ini pada hakikatnya adalah kekalahan orang-orang kampung terhadap invasi modal antah barantah yang menyerbu dan memonopoli lahan-lahan yang tadinya milik tak bersurat dari orang-orang kampung turun temurun jauh sebelum Belanda hadir, apalagi yang namanya NKRI.
*Sahrul Efendi Dasopang, Mantan Ketum PB HMI.