Haruskah mengukur keberhasilan dan kemajuan Indonesia pada kepemilikan atas harta, jabatan dan kekuasaan yang melekat hanya pada diri, kekuarga dan golongan kita sendiri?
Nusantarakini.com, Jakarta –
Aku bertanya pada Ayahku, “Ayah kenapa aku dilahirkan sebagai orang Jawa? Kenapa yang lainnya lahir sebagai orang Batak, orang Sunda, orang Bugis, orang Dayak, orang Timor, orang Papua dan sebagainya?”
Kemudian aku bertanya lagi pada Ayahku, “Ayah kenapa aku dilahirkan sebagai orang Islam. Kenapa yang lainnya lahir beragama Kristen, sebagai orang Hindu, sebagai orang Budha, sebagai orang Kepercayaan, sebagai orang Atheis dan lainnya?”
Lalu aku bertanya lagi pada Ayahku, “Ayah kenapa aku dilahirkan dari orang tua yang biasa saja? Kenapa yang lain lahir dari orang tuanya yang raja, lahir dari orang tuanya yang ninggrat dan bangsawan, lahir dari orang tuanya yang pemimpin dan tokoh-tokoh yang hebat, lahir dari orang tuanya yang terkenal dan banyak jasanya dan masih banyak lagi dari keturunan orang-orang yang luar biasa dan menakjubkan?”
Aku juga bertanya pada Ayahku dan ini yang paling penting kurasakan: “Ayah, kenapa aku dilahirkan dari orang tua yang miskin dan terpinggirkan, kenapa yang lainya lahir dari orang tua yang kaya dan terpandang? Kenapa aku dilahirkan dari keluarga yang susah dan serba kekurangan? Kenapa yang lainnya hidup mewah dan berlebihan? Kenapa banyak yang hidup tertindas dan menderita? Sementara yang lainnya hidup dengan fasilitas dan perlindungan istimewa yang melampaui batas, dengan kenikmatan bak surga dunia?”
Ayahku diam seketika, sedikit merenung dan agak lama menjawabnya. Terbersit dalam hatiku, aku merasa bersalah menyampaikan pertanyaan yang membuat ayahku terlihat murung dan ada raut kesedihan di wajahnya. Mungkin Ayahku ragu menjawabnya, atau setidaknya berhati-hati dan dari mana harus mulai menjawab semua pertanyaanku.
Akhirnya ayahku menjawab semua pertanyaanku yang banyak itu yang mungkin dianggapnya sulit. Jawabannya tidak panjang lebar, boleh jadi karena ayahku tidak mau terjebak dalam kerumitan pembahasannya. Atau bukan bermaksud “under estimate” terhadap ayahku. Ilmu dan pengetahuan ayahku yang memang terbatas. Dengan perlahan ia berkata, “itu sudah takdir anakku,” sebutnya.
Aku seperti tidak puas dan menggerutu kecil dalam hati. Pertanyaanku yang panjang dari A sampai Z, oleh ayahku cukup dijawab dengan itu sudah menjadi kententuan Allah, Tuhan Sang Pencipta Yang Maha Besar dan Maha kuasa. Mendengar jawaban singkat ayahku, aku membatin mungkin saja ayahku merasa pertanyaanku sama dengan yang menjadi pertanyaannya selama ini yang tak terungkap. Bisa saja, ayahku dulu bertanya seperti itu kepada kakekku.
Aku berusaha menerima dan memaklumi jawaban ayahku yang seperti itu. Sejenak aku pun terdiam, berusaha menenangkan diri. Aku bersikeras menerima jawaban ayahku. Tapi rasa penasaran menguasai pikiranku, aku tak sanggup melawan pemberontakan hati dan rasa keingintahuanku yang lebih. Bukan aku meragukan kebenarannnya dari apa yang diungkapkan ayahku. Tidak sedikitpun, tidak secuilpun aku menyangkal fakta dan keyakinan itu. Aku bertanya lagi pada ayahku, aku ingin lebih jauh lagi, lebih dari sekedar bahwa semua itu sudah menjadi ketentuan Tuhan.
“Tapi Ayah,” lirihku. “Kalau itu kehendak Tuhan, kenapa Tuhan membiarkan kesenjangan itu? Kenapa Tuhan membiarkan kepincangan itu bahkan yang sudah menjadi penyimpangan?” Aku seperti memberondong ayahku dengan peluru pertanyaan ketidakpuasanku. Tanpa memberikan kesempatan ayahku menghela nafas, aku terus melanjutkan pertanyaan.
“Bukankah kita hidup di Indonesia Ayah?” ketusku. “Apakah masih ada keragaman, apakah masih ada kemajemukkan dan kebhinnekaan? Kalau ada persatuan dan kesatuan, kenapa kita seperti terpecah-belah dan tercerai-berai dalam memahami, memaknai dan memperlakukan Indonesia? Kenapa aku dan masih banyak lagi yang lainnya tidak dapat merasakan Indonesia yang sepenuhnya?”
Aku dan berjuta-juta rakyat seperti tak merasakan kehadiran negara. Aku dan yang lainnya hidup sendiri, entahlah apa yang dikerjakan negara. Kesibukan apa dari para pengelola negara itu mengabaikan dan bahkan menganggap rakyatnya tak ada.
Aku tidak melihat keadilan dan kemakmuran datang. Aku tidak melihat Indonesia menyandang gelar negara kesejahteraan. Aku tidak melihat keinginan pendiri bangsa dan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia sampai pada tujuannya. Aku tidak melihat Indonesia sedang baik-baik saja. Aku juga yakin puhan, ribuan, dan jutaan orang di negeri ini melihat yang sama dengan yang aku lihat. Ayahku semakin peluh lidahnya, semakin enggan menjawab atau mengomentari, malah terkesan ingin beranjak melangkah menghindari pertanyaanku yang kian berubah menjadi gugatan. Aku bersikeras, terus mengeksploitasi pikiran dan emosiku tentang Indonesia di hadapan ayahku.
Aku lanjut bertanya pada ayahku: “Kenapa aku tidak dilahirkan sebagai anak yang bisa melakukan kesalahan fatal dan prinsip tapi bisa bebas dari jerat hukum? Kenapa aku tidak bisa seperti yang lain yang bisa memamerkan kekayaan dan gaya hidup mewah hasil dari kejahatan di media sosial? Kenapa aku sulit mendapatkan pekerjaan yang layak dan membanggakan jika aku tidak punya orang dalam? Kenapa aku sulit masuk mengabdi dalam institusi pemerintahan yang bonafit, TNI dan Polri jika aku tidak punya uang banyak dan berasal dari keluarga pejabat? Kenapa aku bukan siapa-siapa jika aku lahir bukan dari trah berdarah biru dan istimewa?”
“Kenapa aku dan yang lain harus dilahirkan sebagai orang yang harus menangis ketika tidak mampu membayar uang sekolah, terhina dicampakan karena tidak sanggup membayar biaya rumah sakit? Kenapa aku harus menahan lapar dan mengemis menghamba pada belas kasihan orang lain? Kenapa aku melihat lainnya harus menjerit-jerit, meronta dan mengumpat-umpat tak berdaya ketika rumah dan tanahnya dirampas dan digusur? Kenapa yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin? Kenapa harta dan kekayaan si miskin secara terstruktur, sistematik dan masif terus direkayasa dan berpindah tangan kepada orang kaya yang minoritas?”
“Kenapa juga buruh dibatasi dengan upah yang memprihatinkan (cukup makan dan transportasi), di lain sisi korupsi berlimpah dan angkanya fantastis untuk segelintir manusia-manusia durjana? Kenapa Petani tak punya sawah dan keringatnya dipaksa memberi makan bangsa? Kenapa nelayan kecil harus berhadapan dengan kapal-kapal besar dan modern yang begitu rakus mencuri kekayaan laut?”
Aku hanya melihat ketidakpastian hukum, kemerosotan ekonomi dan politik serta kemunduran kebudayaan nasional. Aku juga melihat langsung bagaimana agama dinista dan dilecehkan. Kerap ulama dan umat dijeruji dengan keangkuhan tirani kekuasaan. Aku terus-menerus melihat kekayaaan alam dikuras hanya untuk bangsa asing dan segelintir orang bangsa sendiri bermental penjahat dan pengkhianat. Aku melihat negara dikuasai sekumpulan orang bernama oligarki, komunitas politik dinasti serta para politisi penjilat dan birokrasi pendusta. Aku melihat kemiskinan dan kebodohan yang massal, dipelihara dan menjadi komoditas politik. Aku melihat banyak orang-orang yang menyatakan setia dan loyal kepada Indonesia, sejatinya terpapas, terhempas dan terbuang oleh negaranya sendiri.
Aku mengiba pada ayahku. Kalau itu semua takdir atau sudah menjadi ketentuan Allah. Kenapa Allah memberikan rahmatnya atas kemedekaan Indonesia? Kenapa Allah membiarkan negara ini terus dijajah oleh bangsa asing dan bangsanya sendiri? Kenapa Allah biarkan orang-orang bodoh dan dzolim sebagai pemimpin-pemimpin rakyatnya. Kenapa Allah angkat kemuliaan dan kehormatan rezim lalim dalam pandangan dunia. Aku terus mengikat kesadaran ayahku dengan refleksi, evaluasi dan kontemplasi tentang aku dan semua yang aku rasakan.
Sampai suatu ketika, ayahku menyela dengan berat dan terkesan tergesa-gesa meniggalkanku. “Ya sudah, ini sudah larut malam dan harus istirahat. Insyaa Allah nanti kita sambung lagi. Besok Ayah harus kerja supaya kita tetap bisa makan dan mencukupi apa yang seharusnya menjadi butuhkan kita,” celotehnya.
Aku puas dan tidak puas mengakhiri percakapan tersebut. Puas karena telah berhasil menumpahkan isi hati walaupun hanya kepada ayahku seorang. Belum puas karena belum tuntas. Biar bagaimanapun, aku nyaman dan menikmati interaksi aku dengan ayahku membahas tema yang sederhana, namun senantiasa mengganggu nurani itu. Ada pergulatan hati, pikiran dan tindakan yang layak dan asyik untuk mengulasnya. Meskipun dengan keterbatasan dan kekurangan pemahaman Ketuhanan dan Kemanusiaan yang aku dan ayahku miliki.
Mengembalikan kemerdekaan Indonesia yang sebenar-benarnya saat ini, menjadi senilai dengan susah-payah dan pengorbanan yang begitu besar ketika mengusir penjajahan bangsa asing berabad-abad lamanya di masa lalu. [mc]
Bekasi Kota Patriot, 23 Syawal 1445 H/2 Mei 2024.
*Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI.