Nusantarakini.com, Bekasi –
Dua kali pilpres di Indonesia, atmosfer politik nasional dominan diwarnai pertarungan Jokowi dan Prabowo. Kali ketiga, mereka bersanding membangun konspirasi politik kekuasaan. Akankah kongsi Jokowi dan Prabowo berjalan langgeng dan menempatkan kepentingan rakyat, negara dan bangsa Indonesia di atas segalanya?
Jawaban dari pertanyaan di atas kecenderungannya hanya bisa didapat dari seiring waktu berjalan. Apakah hubungan Jokowi dan Prabowo terjalin karena kesamaan ideologi dan politik? Atau keduanya terpaksa karena tidak ada pilihan lain dan karena kepentingan sesaat semata? Bagaimana kelanjutan relasi keduanya pasca pilpres 2024, menjadi pasangan yang harmonis layaknya pernikahan untuk jangka panjang, atau singkat bercerai dan saling membunuh (menegasikan)?
Ada beberapa analisis menarik dari hubungan keduanya terkait politik pilpres dan proyeksi Indonesia ke depan, antara lain sebagai berikut:
1. Struktur bangunan sosial-politik antara Jokowi dan Prabowo tersusun dari pondasi yang tidak stabil alias rapuh dan rawan konflik.
Meski menikmati simbiosis mutual dari perkoncoannya, antara Jokowi dan Prabowo menyimpan pasang-surut dan bahaya laten berupa siapa paling menentukan, paling berpengaruh dan paling menguasai atas negara ini di antara keduanya. Indikasi hal tersebut bisa dilihat dari keduanya saling memuja-muji, terkesan menjilat dan tanpa “reserve” namun tidak berselang lama saling menyindir, menghujat dan merendahkan. Terlihat interaksi keduanya lebih substansal dan esensial hanya saling memanfaatkan dan siapa yang paling pintar dalam mengambil momentum politik. Mereka dipertemukan tidak lebih dari soal politik kekuasaan bukan karena faktor kepemimpinan nasional yang kuat dan orientasi kebangsaan.
2. Sosok Jokowi dan Prabowo selama lebih dari satu dekade menjadi figur paling kontroversial dan sarat polemik. Bertarung dan memenangkan pilpres, grafik penilaian publik yang sesungguhnya (bukan dari institusi pemerintahan, lembaga survei dan para buzzer-influencer) dari Jokowi dan Prabowo terus turun tajam menukik setelah awal-awal terkesan bagus oleh pencitraan dan maipulasi informasi.
Lewat kepemimpinan, kebijakan dan terutama dampaknya bagi kehidupan rakyat, baik Jokowi maupun Prabowo terus menuai imej dan stigma buruk di hadapan publik. Pembohong, penipu dan bahkan pengkhianat kerap menerpa mereka dalam menjalankan tata-kelola negara. Ekonomi jungkir bali merosot drastis, politik inkonstitusional, perdagangan hukum dan standarisasi kebijakan tanpa nilai dan etika menjadi bukti tak terbantahkan dari kinerja buruk kepemimpinan keduanya. Lebih miris lagi, negara terus terancam kehilangan kedaulatan dan menjadi bagian dari koloni bangsa asing. Lambat laun citra keduanya semakin tidak populis dan bergeser menjadi “publik enemy.” Pada titik ini, keduanya akan saling sikut, mencari aman dan selamat masing-masing.
3. Diprediksi tidak akan lama, antara Jokowi dan Prabowo bisa saja saling membunuh dalam politik. Belum lama pilpres dilangsungkan dan Prabowo diasumsiksn menang versi kecurangan dan kejahatan pemilu oleh publik, keretakan atau setidaknya mulai ada disparitas menganga keduanya semakin kentara.
Jokowi diusulkan–oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang ketua umumnya anak kandungnya–memimpin koalisi besar partai politik. Jokowi bernafsu ingin menjadi Ketua Umum Partai Golkar; dan Jokowi juga menginginkan cawapres terpilih (anak kandungnya juga dan lagi-lagi dari proses cacat hukum, kecurangan dan kejahatan pemilu).
Semua ambisi Jokowi itu mendapat resistensi dan mulai terpatahkan, manuver itu disinyalir oleh gerakan dan pengaruh Prabowo melalui kekuatan partai politik dan parlemen yang salah satu irisannya yakni Gerindra ditentukan Prabowo. Bukan sekedar perang dingin, antara Jokowi dan Prabowo sudah mulai adu siasat dan saling menjatuhkan.
Perceraian dari hubungan gelap dan tidak saling mencintai yang sesungguhnya antara Jokowi dan Prabowo terbuka lebar. Jokowi terus diselimuti keraguan untuk memberikan kepercayaan penuh kepada Prabowo untuk keamanan dan keselamatan dirinya, keluarganya dan “legacy” kepemimpinannya.
Prabowo juga merasa dirugikan dan terperosok ke dalam lumpur dosa politik dinasti dan distorsi kekuasaan Jokowi meski ia pernah menjadi oposisi dan ada di dalamnya. Keduanya bagai memakan buah simalakama karena kebersamaaannya. Jokowi haus kekuasaan untuk cari aman dan selamat, begitupun sebaliknya Prabowo. Antara Jokowi dan Prabowo benar-benar telah terjebak permainan dunia yang fana dan melelahkan, sibuk mengejar kekuasaan, jabatan dan harta.
Lupa diri, mengabaikan kehidupan rakyat dan berpotensi membahayakan eksistensi serta masa depan NKRI. Jokowi dan Prabowo tak ubahnya sedang dalam fase bersama untuk berpisah dan berpisah untuk bersama. Kemesraan karena kepentingan kekuasaan, demi kemanan dan keselamatan keduanya, tinggal menunggu waktu. KKN begitu mencolok membersamai kedua sosok pemimpin nasional itu. Jokowi dan Prabowo semakin mendekati ajal keintimannya. Setelah di-endors dan didapuk menjadi presiden terpilih oleh Jokowi, Prabowo mulai menyusun talak politik. Prabowo kini memegang kendali atas Jokowi. Keduanya akan bercerai tidak lama lagi dan rakyat akan menyaksikan perebutan “harta gono-gini” Prabowo dan Jokowi. Aman dan selamat, atau pengadilan rakyat yang berlaku?
Keluar dari mulut Singa, masuk ke dalam mulut Buaya, begitulah gambaran hubungan “kawin-cerai” antara Jokowi dan Prabowo. [mc]
Bekasi Kota Patriot, 20 Ramadhan 1445 H/30 Maret 2024.
*Yusuf Blegur, Mantan Presidium GMNI.