Saya duga, sebentar lagi, para politisi ini akan melakukan koor untuk meninjau ulang IKN. Pura-pura mereka akan bilang, mengapa kita harus membelanjakan uang yang kita tidak punya? Dengan tiba-tiba mereka akan anti-utang!
Nusantarakini.com, Jakarta –
Kita semua tahu kalau parlemen sangat cepat mengesahkan UU Ibu Kota Negara (IKN). Para politisi ini bergerak seperti “Lucky Luck,” yang menembak lebih cepat dari bayangan! Tentu ada alasan mengapa mereka bergerak demikian cepat.
UU ini nyaris minim dari diskusi publik. Sama seperti UU Cipta Kerja dan banyak UU lain yang disahkan oleh pihak yang berkuasa sekarang. Saat itu, kita melihat DPR seperti terowongan air: menelan semua saja yang masuk, termasuk sampah dan semua kotoran dan kuman penyakit yang ada didalamnya!
UU IKN ini memiliki makna khusus. Untuk kepala pemerintahan, ini menjadi alasan paling penting untuk tetap berkuasa. Dia minta kekuasaannya diperpanjang tiga periode, salah satunya karena “ingin menyelesaikan IKN.” Dia berusaha menjual IKN, yang katanya tidak akan membebani negara lewat APBN sepeser pun. Proyek senilai Rp 500 triliun atau sekitar US$32 milyar ini akan sepenuhnya dibeayai oleh investor.
Administrasi pemerintahan ini pun berusaha menjual proyek ini ke investor luar. Beberapa bank besar tertarik untuk untuk membeayai dan sudah menyampaikan komitmen mereka. Namun entah karena alasan apa, mereka menarik diri.
Investor-investor dari negara-negara Teluk pernah berkomitmen namun kemudian batal. Juga dari Korea Selatan dan Jepang. Negara-negara Barat dan Amerika Serikat memilih memalingkan muka pura-pura tidak melihat ada proyek bernilai milyaran USD ini.
Proyek ambisius ini sudah dicanangkan. Para buzzer sudah membungkusnya sedemikian rupa sehingga secara politik dan opini publik, ia sesungguhnya aman. Bahkan di salah satu kementerian saya lihat mereka membungkus IKN sebagai “Kota Dunia untuk Semua.” Ya, ambisinya adalah menjadi kota dunia!
Tapi secara ekonomi, ya itu tadi, para pemodal balik badan. Mereka yang berkepentingan dengan Indonesia seolah-olah berpura-pura tertarik. Namun pada akhirnya, mereka putar haluan.
Hal ini membuat frustasi kepala pemerintahan. Akhirnya, menjelang kampanye pemilu kemarin, dia undang pengusaha-penguasa real estate nasional. Sambil berfoto ria untuk kepentingan para buzzer dia mengumumkan bahwa proyek ini akan pula didanai pengusaha nasional. Tidak itu saja, sebelumnya dia juga sudah memerah APBN untuk membangun infrastruktur dasar.
Mengapa tidak ada yang mau berinvestasi di IKN?
Untuk saya, proyek IKN ini adalah contoh klasik dari pengambilan keputusan secara otoritarian. Ketika kepala pemerintahan merasa diri sangat kuat, dan merasa bahwa dia bisa melakukan apa saja tanpa meminta konsultasi publik, para politisi (sebagai alamiahnya politisi) akan mengiyakan. Mereka menjadi ‘yes women/men’ sambil menunggu situasi. Selain itu, mereka akan jilat-jilat sedikit untuk membuat “kedudukan” (saya memakai kata ini dalam pengertian lama!) yang berkuasa semakin mengkilat.
Sebagaimana otokrat di mana saja, proyek-proyek mercusuar ini dibungkus dengan nasionalisme dan patriotisme. Lihat saja istananya, sebuah gedung bersayap, yang perlu waktu untuk menerangkan bahwa itu adalah Garuda.
Juga gambar-gambar rancangan ibu kota ini. Ini adalah ibu kota yang sangat “hijau,” walaupun didirikan di atas “ground zero penghancuran hutan hujan” Indonesia. Ini adalah ibu kota dengan emisi karbon terendah, sekalipun untuk membangkitkan daya harus dibakar jutaan ton batubara.
Namun faktor-faktor itu sebenarnya tidak terlalu diperhatikan para investor. Para penguasa uang tahu persis bahwa mobil listrik yang emisi karbonnya nol itu berjalan dengan jejak karbon yang amat tinggi–mulai dari perusakan lingkungan untuk membuat rangka, baterai, hingga ke daya listrik yang dihasilkan batubara atau pembakaran bahan bakar fosil lainnya.
Lalu mengapa mereka tidak tertarik pada IKN? Pengusaha kakus, misalnya. Mengapa mereka tidak tertarik dengan keuntungan ratusan ribu kakus yang akan terpasang di IKN? Atau pengusaha semen, pengusaha kayu, kontraktor jalan, dan lain sebagainya?
Jawabnya gampang: Mereka melihat politik. Mereka tahu persis bahwa para politisi hanya berpura-pura mendukung–karena kepala pemerintahan ini terlalu kuat untuk dilawan. Selama ia kuat, mereka akan tunduk. Ketika sedikit saja dia tampak lemah, mereka berpaling.
Para politisi juga tahu bahwa kekuatan kepala pemerintahan ini berdiri di atas pasir. Untuk sementara ia kuat. Jika pasir itu ambruk, maka para politisi ini juga ikut jatuh. Selain itu, para politisi ini bersaing satu sama lain. Jadi untuk sementara tidak perlu menyekop pasir itu. Namun bukan mereka membiarkan pondasi pasir ini diam selamanya. Itu sebabnya ketika sang kepala pemerintahan minta tiga periode, atau perpanjangan masa jabatan, sebagian mereka mengangguk-angguk dan sedikit menjilat-jilat. Namun partai utama yang menyokong kepala pemerintahan ini, dengan alasannya sendiri, menolak.
Para investor tahu dan paham sekali dengan landasan pasir ini. Mereka tidak mau ambil resiko jika pondasi ini ambruk. Dan kini, keroposnya tiang kekuasaan ini sudah mulai nampak.
Kemarin, DPR menolak untuk pindah ke IKN. Mereka ingin agar Jakarta tetap menjadi ibu kota legislasi nasional. Artinya, ya mereka tetap di Jakarta dan menikmati fasilitas mewah kota ini.
Politisi-politisi tingkat ke tiga atau ke empat juga sudah mulai bicara. Argumen mereka biasanya dimulai, “Kan sudah saya bilang ….” Salah seorang “third rate politician” ini bilang, “Biar IKN jadi pusat kantor-kantor pemerintahan saja. Jangan pindahkan ibukota!” Tentu saja. Tidak ada hotel mewah bintang enam di IKN.
Saya duga, sebentar lagi, para politisi ini akan melakukan koor untuk meninjau ulang IKN. Pura-pura mereka akan bilang, mengapa kita harus membelanjakan uang yang kita tidak punya? Dengan tiba-tiba mereka akan anti-utang!
Sekarang tinggal kepala pemerintahan ini, yang sebentar lagi akan turun dari kursinya. Kedudukannya memang tidak semengkilap dulu. Para penjilatnya sudah mulai berpaling dan mulai menjilat kedudukan baru yang (mungkin) kasih kesempatan lebih jembar.
Anak sang kepala pemerintahan ini duduk jadi wakil yang menggantikannya. Mampukah ia menjadi pengganti dengan pondasi pasir yang amat rapuh itu? Yang cara berkuasanya dengan persuasi, memberi peluang untuk merampok, sekaligus akan menjadikan kasus perampok bila keinginannya tidak dituruti?
Mari kita tunggu. Yang jelas, pondasi pasir ini mulai keropos. Pondasi yang baru, mungkin tidak lebih kuat dari yang lama. Namun mungkin juga lebih brutal karena tidak pandai mengelabui dan hanya bisa goyang-goyang seperti Kapten Oleng. [mc]
*Made Supriatma, Pengamat Sosial Politik.
Foto: tender-indonesia.com.