Nusatarakini.com, Jakarta –
Setiap “alat” diciptakan manusia untuk membantu dan memberi manfaat kepada manusia. Senjata tajam seperti pisau, parang, celurit, diciptakan untuk membantu pekerjaan rumah tangga, pekerjaan di pertanian, dan lainnya.
Tetapi, alat bantu tersebut juga bisa digunakan untuk melakukan kejahatan. Senjata tajam yang diciptakan sebagai alat bantu bisa digunakan untuk merampok, bahkan membunuh.
Begitu juga dengan Quick Count atau Hitung Cepat, yang diciptakan untuk membantu perhitungan suara pemilu secara cepat dan akurat. Salah satu tujuan dari Quick Count adalah untuk mendeteksi atau menangkal potensi kecurangan perhitungan suara oleh penguasa penyelenggara pemilu.
Karena Quick Count diciptakan dengan menggunakan metodologi dan kaidah ilmu statistik untuk memperkirakan, atau memprediksi, hasil akhir pemilu (dan pilpres) secara cepat. Hanya dalam hitungan beberapa jam saja, sudah bisa diperoleh perkiraan hasil pemilu.
Metode ilmiah Quick Count ini terbukti cukup akurat apabila, dan hanya apabila, dilakukan sesuai prinsip-prinsip ilmu statistik yang menjadi dasar metodologi Quick Count. Yaitu, central limit theorem distribusi normal, kecukupan jumlah sampling (the law of large numbers), dan sampling acak (random sampling). Dan tentu saja Quick Count harus dilaksanakan oleh penyelenggara profesional dan independen.
Masalahnya, seperti “alat” yang diciptakan untuk kebaikan tetapi dapat juga digunakan untuk kejahatan, Quick Count juga bisa digunakan sebagai alat untuk melakukan kejahatan, untuk memberi perkiraan hasil pemilu yang salah, atau bisa, dengan memberi kemenangan kepada salah satu paslon tertentu.
Caranya sangat mudah. Cukup “melanggar” atau tidak mengikuti prinsip atau kaidah ilmu statistik yang menjadi dasar metodologi Quick Count tersebut. Artinya, tidak mengikuti, atau melanggar, prinsip central limit theorem, the law of large numbers, dan random sampling, maka hasilnya akan sangat bias.
Bahasa awamnya, dengan memanipulasi pengambilan data sampling, maka hasil Quick Count cenderung tidak mencerminkan penyebaran (hasil) perolehan suara yang sebenarnya, bahkan bisa digunakan untuk menciptakan hasil yang diinginkan.
Central limit theorem dan the law of large numbers adalah prinsip statistik, di mana semakin banyak pengambilan jumlah data sampling (dalam hal pemilu, jumlah TPS) maka distribusi hasil sampling akan semakin mencerminkan (mendekati) distribusi normal populasi.
Artinya, semakin besar jumlah sampling TPS yang diambil dalam perhitungan Quick Count, maka tingkat akurasi perkiraan hasil Quick Count semakin baik, atau mendekati hasil sebenarnya (populasi).
Sebagai contoh, data sampling yang hanya mencakup satu TPS saja bisa menghasilkan 100 persen perolehan suara untuk paslon tertentu, dan nol persen untuk lainnya. Tetapi, kalau data sampling mencakup 100 TPS (dari 822.236 TPS), kemungkinan besar tidak ada lagi paslon yang memperoleh suara 100 persen atau nol persen. Artinya, distribusi perolehan suara sudah mulai tersebar kepada semua paslon. Tetapi, perolehan suara ini masih jauh dari kondisi sebenarnya. Karena tingkat kesalahan (margin error) sampling masih sangat besar, mengingat data sampling sangat sedikit.
Kalau data sampling diperbesar menjadi 1.000 TPS, maka hasil distribusi perolehan suara kepada semua paslon akan semakin baik. Sampling 10.000 TPS akan lebih baik lagi. Distribusi perolehan suara Quick Count akan semakin mendekati penyebaran perolehan suara paslon secara nasional (populasi).
Faktor lain yang juga mempengaruhi tingkat akurasi Quick Count adalah jumlah pemilih per TPS (the size of polling station).
Misalnya, data sampling Quick Count ditetapkan 2.500.000 pemilih dengan tingkat kepercayaan 99 persen, dan margin error +/- 0,32 persen. Karena yang disampling (unit of analysis) adalah TPS, maka tingkat margin error akan tergantung dari berapa banyak jumlah pemilih per TPS. Semakin banyak jumlah pemilih per TPS maka semakin besar tingkat margin error.
Jumlah pemilih per TPS di Indonesia rata-rata 250, didapat dari 204.807.222 jumlah pemilih tetap (DPT) dibagi 822.223 jumlah TPS.
Untuk jumlah sampling 2.500.000 pemilih, maka jumlah sampling TPS menjadi 10.000 TPS (2.500.000 pemilih dibagi 250 pemilih per TPS), dengan margin error meningkat menjadi +/- 5,05 persen, untuk tingkat kepercayaan 99 persen.
Tetapi, tingkat akurasi hasil Quick Count yang sudah mengikuti kaidah ilmu statistik yang sudah benar tersebut hanya berlaku kalau pengambilan sampling dilakukan secara acak (random): acak sederhana (simple random) atau acak berstrata / kelompok (stratified random).
Sampling acak sangat penting untuk mendapatkan hasil Quick Count yang obyektif dengan tingkat akurasi yang tinggi, tidak bias.
Kalau data sampling Quick Count untuk 10.000 TPS diambil secara acak, maka hasil Quick Count bisa mencerminkan perkiraan hasil akhir secara nasional, dengan tingkat kepercayaan 99 persen dan margin error +/- 5,05 persen.
Tetapi, kalau sebagian besar dari data sampling 10.000 TPS tersebut sengaja diambil dari daerah tertentu, dari kantong pemilih paslon tertentu, maka hasil Quick Count akan cenderung memenangi paslon tertentu tersebut.
Sebagai konsekuensi, tingkat akurasi Quick Count akan menjadi lebih rendah, dengan margin error (ditambah sampling error) naik tajam, bisa mencapai 10 persen lebih. Artinya, tingkat akurasi Quick Count tersebut sudah tidak layak dipercaya lagi.
Dengan memanipulasi data sampling seperti ini, jumlah perolehan suara Quick Count dapat disesuaikan dengan keinginan pemesan, misalnya antara 58 sampai 60 persen. Tetapi, tingkat akurasinya tentu saja sangat rendah. Artinya, hasil riil pemilu bisa jauh berbeda dari hasil Quick Count.
Oleh karena itu, Quick Count harus diselenggarakan oleh pihak profesional, independen, dan mempunyai moral dan etika, sehingga tidak bisa dibayar untuk pesanan pihak tertentu.
Bagaimana dengan yang terjadi di Indonesia? Apakah lembaga Quick Count dapat dipercaya profesionalitas dan tingkat independensinya? Sangat diragukan!
Litbang Kompas menyatakan membiayai Quick Count secara mandiri. Quick Count dilakukan dengan metode stratified random sampling untuk 2.000 TPS, dengan tingkat kepercayaan 99 persen dan margin error 1 persen. Perhitungan jumlah sampling dan margin error ini perlu dipertanyakan.
Semoga Litbang Kompas berkenan membuka formula perhitungan metode statistiknya, agar masyarakat yakin tingkat akurasi Quick Count Litbang Kompas dapat dipercaya.
Selain itu, masyarakat yang merasa dirugikan dengan hasil Quick Count, karena diduga ada manipulasi jumlah dan pengambilan data sampling, bisa menggugat dan menuntut semua lembaga Quick Count untuk membuka metode perhitungannya.
Karena Quick Count pemilu sangat kritikal bagi rakyat, dan dapat menentukan arah kehidupan bangsa dan negara ke depan. [mc]
*Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Econony and Policy Studies).
Sumber foto: Watyulink.com.