Nusantarakini.com, New York –
Hari ini 15 Januari dikenal sebagai Martin Luther Day yang telah ditetapkan sebagai hari libur nasional di Amerika Serikat. Hari ini dikenang sebagai hari Istimewa karena perjuangan Martin Luther Jr., pejuang HAM dan kesetaraan sosial di Amerika dalam upaya mewujudkan kesetaraan sosial bagi seluruh manusia. Bagi bangsa Amerika, terkecuali yang berafiliasi White Supremacy seperti Donald Trump, hari ini menjadi sesuatu yang sangat penting bahkan mendasar.
Karenanya dalam seminggu ini saya sendiri telah diundang hadir dalam berbagai acara sebagai rangkaian Martin Luther Day. Presiden Queens Borough Rabu lalu mengadakan acara Interfaith Roundtable. Lalu Walikota Greatneck, sebuah kota ekslusif di Long Island New York mengadakan konferensi antar agama dan Komunitas. Di kedua acara tersebut saya diundang sebagai pembicara atau panelis.
Saya tidak bermaksud menuliskan sejarah Martin Luther. Tidak juga merincikan poin-poin saya di kedua acara itu. Tapi intinya jika kita mengikuti sejarah perjuangan Martin Luther, ada tiga hal mendasar yang beliau lakukan.
Pertama, memperjuangkan untuk hadirnya keadilan dan kesetaraan (social and racial Justice) dalam masyarakat. Kedua, diperjuangkan dengan cara non violence (tanpa kekerasan). Ketiga, perjuangan itu terbangun di atas optimisme dan mimpi yang tinggi (I have a dream).
Perjuangan Anies dan Martin Luther Jr.
Saya tidak bermaksud menyamakan keduanya. Karena pastinya punya latar bekakang dan filosofi hidup yang berbeda. Juga keduanya memiliki konteks situasi perjuangan yang berbeda. Tetapi saya melihat keduanya memiliki semangat (spirit) yang sama. Yaitu memperjuangkan keadilan sosial melalui cara-cara yang damai dengan penuh harapan dan optimisme.
Jika kita mengikuti sepak terjang Anies Rasyid Baswedan lalu diselami langkah-langkah perjuangan Martin Luther Jr., akan didapati dengan jelas bahwa keduanya memiliki semangat juang yang tiada henti untuk mewujudkan keadilan sosial itu. Jika Martin Luther terinspirasi dengan phrase Konstitusi Amerika “Justice for all,” Anies didorong oleh semangat Pancasila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Selain memiliki semangat dan dorongan yang sama, keduanya juga memiliki karakter yang hampir sama. Keduanya mampu mengekspresikan ide/gagasan dalam rangkaian kata yang fasih (terstruktur dan jelas) dengan perjuangan yang tidak mengenal lelah. Tapi yang lebih penting keduanya memperjuangkan cita-cita keadilan itu melalui langkah-langkah “non violence” (tanpa kekerasan). Anies membuktikan bahkan tidak mempermasalahkan, apalagi membalas berbagai serangan, tuduhan, upaya asasinasi karakter, hinaan dan cacian.
Penting pula untuk digarisbawahi bahwa keduanya dalam perjuangan untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan untuk semua itu bersifat inklusif. Dalam sejarahnya Martin Luther juga tidak sedikit didukung oleh kalangan masyarakat non hitam, termasuk masyarakat berkulit putih bahkan kalangan Yahudi ketika itu. Demikian pula Anies, rekam jejaknya tidak akan bisa ditutupi bahwa perjuangannya untuk mewujudkan kesetaraan itu bersifat menyeluruh, menyentuh semua segmen masyarakat. Secara agama semua menikmati hasil usaha itu. Dan secara strata sosial ekonomi Anies menghadirkan motto: “membesarkan yang kecil tanpa mengecilkan yang besar.”
Yang terakhir dan tidak kalah pentingnya adalah bahwa di tengah tantangan yang dahsyat itu keduanya terus melangkah dalam perjuangan dengan penuh harapan dan optimisme. Kita diingatkan pidato monumental Martin Luther dengan judul “I have a dream” (saya bermimpi). Demikianlah Anies melangkah bahkan di tengah terpaan badai yang besar, dia terus dan terus melangkah memperjuangkan cita-cita dan amanah kemerdekaan itu.
Kita mengenal bahwa sejak awal Anies terlibat dalam politik sebagai calon Gubernur ketika itu beliau menghadapi tantangan yang tidak mudah. Frame yang terbangun sangat dahsyat untuk bisa mengganjal dan menjatuhkannya di tengah jalan. Beliau hadir dalam kancah itu di tengah badai ketidaknyamanan politik dan sosial. Tapi dengan semangat tinggi dan optimisme tadi semua dilalui dengan sangat baik. Mungkin tidak semua politisi yang menghadirkan janji-janji politik yang semuanya ditunaikan, bahkan melebihi dari janji-janji kampanyenya.
Mungkin yang paling jelas adalah bagaimana berbagai program dan inisiatif beliau sebagai Gubernur ketika itu berusaha diganjal dan digagalkan karena satu tujuan. Mengeliminir kemungkinan Anies untuk maju menjadi kandidat presiden RI. Sejak itu, hingga detik-detik pencapresan oleh Partai Nasdem, hingga upaya membangun koalisi, penuh dengan upaya penjegalan dan penggagalan. Bahkan ada seorang Menteri dan politisi senior dengan pongah pernah menyampaikan “hanya akan ada dua capres.” Dan pastinya Anies buka satu dari yang dua itu.
Namun dengan semangat, kerja keras yang terstruktur dalam kedisiplinan, serta harapan dan optimisme yang dikuatkan dalam iman dan doa, semua mereka yang berupaya menggagalkan, merekalah yang gagal. Sehingga Anies pernah berkata “kepada mereka yang pesimis, maafkan jika kami mengecewakan kalian.”
Insya Allah semangat ini akan terus membara, diikuti oleh langkah-langkah tegap, dengan kepala yang terus terangkat ke langit penuh harapan dan optimisme, pasangan Amin akan sampai kepada “dream” atau mimpi dan cita-cita mulia itu. Yaitu menghadirkan kemakmuran untuk semua (keadilan) demi terwujudnya “baldatun thoyyibah wa Rabbun Ghafur.” [mc]
Aminkan saja dulu!
New York, 15 Januari 2024.
*Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.