Nusantarakini.com, Jakarta –
Ada fenomena menarik selama proses sosialisasi Pilpres. Pasangan Capres Nomor urut 1 Anies-Muhaimin (AMIN) di mana-mana disambut dengan Gema Sholawat, mengagungkan asma Allah dan Rasul-Nya. Di pihak lain ada Capres yang menari dengan goyangan “Gemoy.”
Fenomena ini keduanya memang simbolik, namun perlu dicatat sebagai “sesuatu” yang khas dalam perkembangan budaya politik tanah air.
Sholawat bagi umat Islam memiliki arti yang sangat penting dengan kedudukan yang bernilai tinggi. Para arifbillah mengamalkan shalawat ini dengan melazimkan mengucapkannya dalam tirakat mereka, bertujuan untuk memohon kepada Allah swt, agar senantiasa mencurahkan rahmat-Nya kepada Junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Dan bagi mereka yang melazimkannya setiap malam sebelum tidur, menjadi pembuka untuk meraih kemuliaan yakni bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW. Sedemikian penting arti shalat bagi seorang muslim, ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa doa seseorang akan “menggantung” (tidak sampai) melainkan setelah disertai dengan sholawat kepada Nabi SAW. Wallahu a’lam.
Sementara itu, “goyang gemoya” yang dilazimkan oleh salah satu capres, kita tidak menemukan literaturnya dalam tradisi Islam, dan juga dalam literatur lain. Nampaknya ia muncul semata karena merupakan hobby dari capres ini.
Berdasarkan hal demikian, dapat dipahami bahwa terdapat latar belakang perbedaan tradisi dari kedua pasangan capres ini.
Pasangan AMIN memang memiliki latar belakang sebagai santri. Anies Baswedan maupun Muhaimin Iskandar keduanya pernah sekolah di pesantren, dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang agamis. Berbeda dengan prabowo yang lahir dari keluarga pengusaha, orang tuanya seorang ekonom, dan ia besar di lingkungan keluarga penguasa orde baru.
Tim pemenangan Prabowo nampaknya mengendors “goyang gemoy” ini untuk maksud “memanipulasi realitas.” Mereka ingin menampilkan Prabowo yang secara biologis sudah sepuh, namun berharap masih diterima oleh kaum milenial bahkan generasi Z. Meskipun sesungguhnya dengan berpasangan Gibran, maksud itu dengan sendirinya sudah terbaca. Walaupun memang kehadiran Gibran di sisi Prabowo ternyata tidak mampu memikat para milenials itu, karena tidak memiliki prestasi yang membanggakan bagi para milenial, salah satu yang membanggakan para milenial itu adalah prestasi di dunia pendidikan, olah raga, dan seni di usia muda. Ketiganya tidak dimiliki Gibran. Kesuksesan Gibran dibidang usaha, tidak dipahami milenial sebagai mewakili milenials, karena pola berpikir milenial di Indonesia, belum menerima kesuksesan bisnis itu sebagai ciri mereka. Sukses dalam bisnis dalam konstruksi berpikir kalangan milenials wajar bagi mereka yang telah dewasa. Di tambah lagi “kesuksesan” Gibran memperoleh kekayaan (terbesar dari semua cawapres), diyakini erat kaitannya dengan kedudukan bapaknya yang sedang jadi Presiden.
Betapa pun demikian “goyang gemoy” ini nampaknya diharapkan oleh Prabowo memang untuk menarik minat para milenials itu. Apakah harapan itu terpenuhi? Masih belum teruji.
Bagaimana dengan sholawat yang senantiasa menggaung di manapun pasangan AMIN hadir di tengah-tengah para santri? Yang secara usia itu masih milenial bahkan Gen-Z itu?
Fenomena ini sesungguhnya bukan hal baru dalam tradisi pesantren. Ia bahkan memiliki akar yang panjang dalam tradisi Islam. Sholawat diajarkan dan menjadi “santapan” keseharian para santri. Ia kemudian menjadi fenomena politik, karena menggema bersamaan dengan momentum pilpres. Ia hadir sebagai bentuk “politik identitas kaum santri” yang kami kira akan makin marak pada masa-masa mendatang. [mc]
*Hasanuddin Ibrahim, Mantan Ketua PB HMI.