Nusantarakini.com, New York –
Penyerangan pejuang Palestina di tanggal 7 Oktober lalu yang disebut sebagai “surprise attack” itu ternyata menjadi momentum yang lebih dahsyat akan kemenangan yang nyata (fathun mubinan). Kesimpulan ini bukan saja didasarkan kepada informasi langit (devine revelation) yang pastinya tidak diragukan (laa raeba fiih). Tapi fakta-fakta di lapangan sepanjang sejarah peperangan itu membuktikan.
Pembantaian dan genòsida dilakukan kepada Bangsa Palestina, khususnya di Gaza, bukan hanya kali ini. Sudah puluhan kali sejak pendudukan tanah mereka 75 tahun silam. Mungkin yang mutakhir dan masih “fresh” di memori adalah pembantaian tahun 2002, 2005, 2008, 2012, hingga dua tahun lalu. Pada setiap serangan dan pembunuhan massal itu ribuan warga Palestina yang syahid.
Belum lagi pembunuhan harian yang terjadi di kota-kota lain Palestina, termasuk di Jenin dan Ramallah. Dalam enam bulan terakhir sebelum pembalasan 7 Oktober itu diberitakan tidak kurang dari 600 warga Palestina yang ditembak mati. Belum lagi yang ditangkap dan/atau terluka dalam setiap insiden yang terjadi.
Namun catatan sejarah mengatakan bahwa setiap kali serangan penjajah dengan pembunuhan massal (mass murder) dan genosida itu terjadi bangsa Palestina bukannya semakin lemah, apalagi menyerah. Mereka justru semakin kuat dan kokoh untuk memenangkan pertarungan itu.
Mungkin secara fisik mereka mengalami banyak pengorbanan. Hingga saat ini misalnya tidak kurang dari 9000 warga sipil yang meninggal. 4000 ribu di antaranya adalah anak-anak. Rumah-rumah mereka, fasilitas umum termasuk sekolah dan rumah sakit, bahkan rumah ibadah (masjid dan gereja) diluluhlantakkan oleh tentara penjajah. Belum lagi puluhan ribu yang luka dengan pengobatan yang sangat minim.
Namun semua itu ternyata tidak menjadikan mereka para pejuang itu lemah. Apalagi menyerah. Mereka justru semakin kuat secara mental dan tekad dalam perjuangan. Persis seperti yang digambarkan dalam Al-Qur’an: “mereka tidak bertambah kecual dalam keimanan dan keislaman.”
Dalam dunia saat ini peperangan dan akibatnya, kemenangan atau kekalahan, tidak bisa sekedar dinilai dari interaksi fisik persenjataan. Peperangan itu memiliki sudut (angles) yang sangat ragam. Benar ada sudut kontak fisik (physical clash). Tapi pada sisi lain ada aspek diplomasi, politik, ekonomi, persepsi atau imej dan seterusnya. Melihat peperangan ini dan menyimpulkan siapa yang kalah dan siapa yang menang, harusnya dilihat pada semua sudutnya.
Dengan melihat kepada semua sudut dari peperangan yang terjadi ini dapat kita simpulkan beberapa hal:
Satu, Israel babak belur secara politik global dan diplomasi internasional. Saya tidak perlu memberikan banyak argumentasi tentang hal ini. Kita lihat saja pada dukungan kepada bangsa Palestina yang terjadi. Dari demonstrasi di jalan-jalan di berbagai belahan dunia, hingga ke kekalahan telak diplomasi Israel yang didukung oleh Amerika dan Negara-negara Eropa di arena PBB. Bahkan di tingkat elit pemerintahan Amerika terasa jika resistensi itu semakin kuat. Salah satunya ditandai dengan mundurnya seorang pejabat Deplu Amerika karena posisi Amerika yang membuta mendukung penjajah.
Dua, menguatnya dukungan politik dan diplomasi dunia itu merupakan realita nyata jika persepsi yang berusaha dibangun selama ini tentang Palestina, khususnya pejuang Gaza, mengalami kekalahan mutlak. Upaya membangun imej jika pejuang itu adalah penjahat (dengan label dan nyanyian usang itu) tidak menemukan hasil dan dukungan positif. Upaya busuk yang sangat terasa saat ini adalah “pembelahan” (devide) antara pejuang dan masyarakat Palestina secara umum. Seolah masyarakat itu manusia yang baik. Namun pejuang Palestina adalah penjahat yang harus dihabiskan.
Tiga, jika kita memperhatikan secara dekat dan seksama situasi dan reaksi masyarakat Palestina, khususnya Gaza, kita hanya akan menemukan kesabaran dan keistiqamahan (keteguhan batin) yang luar biasa. Upaya penjajah untuk membangun kebencian warga Palestina (Gaza) kepada para pejuang itu mengalami kegagalan total. Belum pernah kita temukan ada warga yang berteriak “menyalahkan” (blaming) para pejuang itu jika karena serangan mereka tanggal 7 Oktober lalu yang menjadi penyebab penderitaan mereka.
Empat, peristiwa demi peristiwa (pembantaian) yang terjadi kepada Bangsa Palestina ternyata semakin mengokohkan simpati dan rasa solidaritas “keumatan dan kemanusiaan” global. Hal itu semakin nyata bahkan di saat sebagian pemerintahan mereka bertekuk seolah tak berdaya menghadapi tekanan dari kekuatan luar. Rakyat negara-negara Islam bangkit melawan. Sementara sebagain pemerintahan mereka tersungkur bertekuk lutut membangun relasi dan berangkulan dengan penjajah.
Lima, konstelasi politik Amerika dan negara-negara barat pendukung penjajah memaksa pemerintahan mereka mengoreksi diri sendiri akibat dukungan buta itu. Yang pasti saat ini Biden-Kamala misalnya sedang deg-degan. Komunitas Muslim mengeluarkan ancaman tidak mendukung pada pilpres mendatang. Jika Komunitas Muslim golput saja pada pilpres tahun depan, hampir dipastikan Biden-Kamala kalah. Apalagi jika Komunitas Muslim memutuskan memberikan suaranya kepada lawan politiknya. Realita ini menjadikan Biden-Kamala minggu lalu menerbitkan sebuah kebijakan “anti Islamophobia.” Tujuannya untuk menghibur dan mencari muka dari Komunitas Muslim Amerika.
Enam, peperangan ini membuka luas banyak borok dan kemunafikan dunia internasional. Slogan-slogan indah (kebebasan, sesetaran dan keadilan, dst) menjadi semakin tidak bermutu. Sementara itu tuduhan jahat kepada umat ini juga semakin terbuka. Salah satunya dengan penghancuran rumah-rumah ibadah oleh kaum penjajah. Sebuah gereja tua dunia yang selama ini dilindungi dan kebebasan pengikut agama itu diberikan oleh umat Islam di Gaza justru hancur di tangan mereka yang mengaku toleran dan pahlawan demokrasi. Ragam kemunafikan itu di pertunjukkan dengan semakin tidak malu-malu lagi.
Akhirnya, dengan semua ini saya tidak bermaksud menyetujui pembantaian dan genosida yang terjadi di Palestina. Apalagi melihatnya sebagai kemenangan. Justru yang ingin saya sampaikan adalah bahwa pembunuhan dan kekejaman itu bukan tidak punya hikmah dalam dan/untuk perjuangan. Terkadang kemenangan memang memerlukan jalan berduri. Bahkan kenyataan pahit. Tapi memang itu sunnatullah dalam perjuangan.
Tak diragukan lagi, saya dan anda pasti akan mati. Hanya waktu, tempat dan caranya yang berbeda. Tapi sekiranya saya diberikan pilihan untuk mati di atas ranjang tanpa nilai atau mati di medang perang dengan nilai (syahid), insyaAllah saya akan memilih yang kedua. Saudara-Saudara kita di Palestina tidak memilih itu. Tapi Allah menentukan jalannya untuk mereka mati dengan nilai yang mulia “syahadah.” Dan itu sesungguhnya adalah “kemenangan” sejati.
Semoga Allah menerima mereka semua ke dalam golongan hamba-hambaNya yang syuhada. Amin! [mc]
NYC Subway, 7 Nopember 2023.
*Catatan Utteng Al-Kajangi, Diaspora Indonesia di Amerika Serikat.