Nusantarakini.com, Jakarta –
Ada yang berharap gigi banteng itu masih utuh dan setajam tanduknya, sehingga bisa berfungsi “menggigit” lawannya. Meski kodrat gigi banteng lebih untuk mengunyah makanan. Berharap berlebih agar gigi banteng juga bisa berfungsi mengggigit lawannya, itu harapan yang tidak salah, meski kurang tepat. Itu lebih pada harapan agar perlawanan bisa segera dimulai. Setidaknya itu perasaan mengganjal dari komunitas penyayang banteng pada umumnya.
Banteng memang lebih mengandalkan tanduknya saat bertarung, ketimbang giginya. Maka ungkapan, banteng tak lagi bertanduk, itu bermakna banteng sudah selesai dengan kodratnya dengan tak lagi mengandalkan tanduknya. Seperti pasrah dengan kondisi yang menimpanya saat ini. Meskipun sebenarnya ia masih mampu melawan dengan sekali tanduk musuh akan rubuh menggelepar. Entah mengapa kemampuan menanduknya saat ini tak digunakan. Pertimbangan teknis strategis agaknya yang membuat sementara itu tak dilakukan.
Tapi mau tidak mau banteng mesti hadir melawan. Memangnya siapa yang mesti dilawan, itu tak lain dari anak kandungnya sendiri, tapi merasa tak lagi sebagai entitas banteng. Tanda-tanda perlawanan dari banteng itu memang tampak. Meski lebih sebagai signal. Jika itu tak diindahkan, maka jalan satu-satunya memberi perlawanan mesti diambil. Kesabaran banteng ada batasnya, dan pada saatnya akan direspons balik. Perlawanan banteng diprediksi akan terjadi, dan itu tidak lama lagi. Banteng ingin menyudahi permainan anak kandung yang menjelma jadi musuh terang-terangan. Tak sedikit lalu yang menyebut anak kandung itu sebagai pengkhianat, meski itu debatable.
Penyebutan banteng, itu bermakna harfiah untuk menyebut PDIP, yang memakai banteng sebagai simbol partainya. Memang tidak terang-terangan atas nama institusi partai, tapi lewat beberapa elit partai, yang menyebut adanya pengkhianatan. Dan, itu dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), seorang yang dikenal dan dibesarkan PDIP.
Perjalanan Jokowi dari Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, dan lalu menjadi Presiden, itu lewat PDIP. Karenanya, meski menjabat sebagai presiden, ia tetaplah sebagai petugas partai. Maknanya itu lebih pada seseorang yang ditugaskan angon banteng, di mana pun ia bertugas. Ini sudah jadi kesepakatan, dan menjadi aneh jika kesepakatan sebagai petugas partai di akhir masa jabatannya sebagai presiden, itu justru dipertentangkan. Seakan kecamuk dramatisasi dalam diri dimainkan, seolah perlawanan antara presiden versus petugas partai, itu terjadi. Alasan itu setidaknya yang menjadikan diri melawan-menolak, bahwa ia bukan petugas partai, ia presiden.
Karenanya, dalam soal estafet kepemimpinan nasional, Jokowi menunjukan sikap perlawanan terang-terangan, sebuah upaya melepaskan diri sebagai petugas partai. Jokowi punya pilihan sendiri, siapa yang akan menggantikannya kelak. Pilihan yang berbeda dengan pilihan PDIP. Jokowi tampil mengeras berhadap-hadapan dengan partai yang membesarkannya. Seakan mampu membuang jejak sejarah panjang dengan PDIP. Pilihan Jokowi jatuh pada Prabowo Subianto, yang lalu digandengkan dengan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka. Sebuah perlawanan penuh kekecewaan yang menyesakkan hati Bunda Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP. Jelas melawan PDIP, yang telah sepakat memasang Ganjar Pranowo, yang lalu digandengkan dengan Prof Mahfud MD.
Perlawanan head to head menentukan siapa penggantinya kelak yang akan jadi presiden, ini dimaknai menggembosi jagoan dari PDIP. Segala cara membuat jarak dengan PDIP senyatanya ditampakkan. Petugas partai yang sebelumnya angon banteng, itu merasa digdaya. Karena merasa mampu “merantai” partai-partai besar kecil untuk membantunya, bahkan bekerja untuk merealisasikan mimpi-mimpi besar, yang itu sebenarnya terlarang boleh diwujudkan di negara yang memilih azas demokrasi. Apa itu? Hadirnya politik dinasti, yang memaksa konstitusi mencarikan celah–meski inkonstitusional–agar sang putra Gibran, yang belum cukup umur tetap bisa tampil diperhelatan Pilpres 2024.
Sokongan 7 partai politik, baik partai yang memiliki kursi di parlemen, atau partai yang non parlemen, itu yang menguatkan tekat Jokowi melawan ibu kandungnya sendiri, PDIP. Sikap diri merasa kuat; jumawa, dan karenanya bisa berbuat apa saja. Sokongan partai-partai itu, tentu bukan sebab berada dalam satu frekuensi yang sama dengan Presiden Jokowi, tapi lebih oleh berbagai sebab kepentingan.
Ada ketua umum partai yang tersandera politik, jika tak turut ajakan Jokowi, maka tak mustahil kasusnya akan dibuka. Ancaman menakutkan. Ada pula partai gurem non parlemen yang berharap ada sedikit bantuan logistik, agar bisa ikut bernafas dalam pemilu. Sejatinya suara konstituen dari partai-partai itu, mayoritas tidak sepakat dengan pilihan elit partainya. Karenanya, pilihan politik konstituen itu bisa jadi akan disalurkan pada kandidat yang diyakininya mampu menghadirkan keadilan dan kesetaraan.
Serudukan banteng, meski belum sebagai suara resmi PDIP, tapi setidaknya Masinton Pasaribu anggota Fraksi PDIP di DPR RI, jelas-jelas telah melakukan gerilya mewacanakan Hak Angket oleh DPR untuk menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat Capres/Cawapres. Wacana ini sebagai jalan masuk pemakzulan atas Presiden Jokowi. Dan, itu disambut oleh PKS. Babak kemarahan banteng untuk memberi pelajaran keras, bahkan sampai penyudahan kekuasaan, itu sepertinya tengah dimulai. Dan, akan terus bergulir dengan cepatnya.
Jokowi yang seolah (merasa) bukan lagi bagian dari PDIP–Gibran pun bersikap demikian dengan tak perlu pamit baik-baik jika ingin maju dalam Pilpres, dan mengembalikan KTA partai–menampakkan perlawanannya. Tidak mustahil PDIP pun akan memperlakukan hal yang sama. Memperlakukan lewat sikap politiknya, dan itu lewat parlemen. Semua punya hitungan-hitungannya sendiri. Dan, suara yang bermuara pada pemakzulan dari kader PDIP, itu memunculkan keyakinan, bahwa serudukan banteng agaknya akan disegerakan… Wallahu a’lam. [mc]
*Ady Amar, Kolumnis.