Nusantarakini.com, Jakarta –
Kekejaman demi kekejaman kaum Yahudi Israel terhadap umat Islam terus terjadi. Semua berawal dari keserakahan bangsa Yahudi yang tak puas-puasnya merampas negeri Palestina dan mengusir penduduknya. Meskipun PBB tak mengesahkan pendudukan Israel atas Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jerusalem, tetapi kaum Yahudi terus merampok tanah Palestina. Ribuan permukiman Yahudi terus dibangun di wilayah pendudukan, termasuk di Kota Jerusalem.
Tindakan Yahudi yang terus menjarah Tanah Palestina dan tak puas dengan hasil rampokannya, mengingatkan kita pada sifat dasar bangsa Yahudi yang disebut dalam al-Quran. Yakni, sifat serakah dunia, lupa sejarah, dan tak tahu terimakasih serta suka berkhianat.
“Dan kamu akan jumpai mereka adalah manusia-manusia yang paling tamak terhadap dunia, bahkan dibanding kaum musyrik…” (QS al-Baqarah:96).
Keserakahan Yahudi Israel itu juga menunjukkan betapa mereka adalah kaum yang tidak tahu berterimakasih. Mereka lupa, bahwa sebelum negara Yahudi Israel berdiri di Palestina, 14 Mei 1948, mereka adalah bangsa yang teraniaya di berbagai penjuru dunia; terusir dari negeri mereka sendiri, dan kemudian selama beratus tahun mendapatkan perlindungan dari kaum Muslimin di Andalusia dan Turki Utsmani.
Zionis Yahudi lupa sejarah. Selama beratus tahun, mereka ditindas oleh bangsa-bangsa Eropa. Selama itu pula mereka mendapatkan perlindungan di negeri-negeri muslim. Ketika itu, sejumlah Paus di Vatikan dikenal sangat anti-Yahudi. Pada tanggal 17 Juli 1555, hanya dua bulan setelah pengangkatannya, Paus Paulus IV, mengeluarkan dokumen (Papal Bull) bernama “Cum nimis absurdum”. Paus menekankan, bahwa para pembunuh Kristus, yaitu kaum Yahudi, pada hakekatnya adalah budak dan seharusnya diperlakukan sebagai budak. Yahudi kemudian dipaksa tinggal dalam ‘ghetto’, yang hanya memiliki satu pintu masuk.
Tak hanya itu. Yahudi juga dipaksa menjual semua miliknya kepada kaum Kristen dengan harga sangat murah; maksimal 20 persen dari harga yang seharusnya. Di tiap kota hanya boleh ada satu sinagog. Di Roma, tujuh dari delapan sinagog dihancurkan. Di Campagna, 17 dari 18 sinagog dihancurkan. Yahudi juga tidak boleh memiliki Kitab Suci. Saat menjadi kardinal, Paus Paulus IV membakar semua Kitab Yahudi, termasuk Talmud. Paus Paulus IV meninggal tahun 1559. Tetapi cum nimis absurdum tetap bertahan sampai tiga abad.
Sikap tokoh-tokoh Gereja semacam itu terbukti sangat berpengaruh terhadap nasib Yahudi di wilayah Kristen Eropa. Di Spanyol, misalnya, Yahudi sudah ada di wilayah ini, sekitar tahun 300 M. Raja Aleric II (485-507), diilhami oleh Code of Theodosius, memberikan batasan ketat terhadap Yahudi. Nasib Yahudi Spanyol semakin terjepit, menyusul konversi Raja Recarred I (586-601) menjadi Katolik. Sang Raja melakukan konversi itu pada The Third Council of Toledo (589), dan kemudian menjadikan Katolik sebagai agama negara.
The Council of Toledo itu sendiri membuat sejumlah keputusan: (1) larangan perkawinan antara pemeluk Yahudi dengan pemeluk Kristen, (2) keturunan dari pasangan itu harus dibaptis dengan paksa, (3) budak-budak Kristen tidak boleh dimiliki Yahudi (4) Yahudi harus dikeluarkan dari semua kantor publik, (5) Yahudi dilarang membaca Mazmur secara terbuka saat upacara kematian.
Di Perancis, Louis IX (1226-1270), memerintahkan pengusiran semua orang Yahudi dari kerajaannya, sesaat setelah Louis berangkat menuju medan Perang Salib. Di Rusia, sebagai akibat dari kebencian yang disebarkan oleh gereja Kristen Ortodoks Rusia, kaum Yahudi dikucilkan dan diusir dari Rusia dalam kurun waktu mulai abad ke-15 sampai dengan tahun 1722. Ketika itu, secara umum, bisa dikatakan, tanah Kristen Eropa bukanlah tempat yang aman bagi kaum Yahudi.
Abad ke-15 menyaksikan pembantaian besar-besaran kaum Yahudi dan Muslim di Spanyol dan Portugal. Pada tahun 1483 saja, dilaporkan 13.000 orang Yahudi dieksekusi atas perintah Komandan Inqusisi di Spanyol, Fray Thomas de Torquemada. Selama puluhan tahun berikutnya, ribuan Yahudi mengalami penyiksaan dan pembunuhan.
Kejatuhan Granada ke tangan Kristen ini dirayakan dengan upacara keagamaan di seluruh Eropa. Tahun 1492, mereka memberikan pilihan kepada Yahudi dan kaum muslim: meninggalkan Spanyol, dibaptis, atau mati.
Jatuhnya Granada, juga sekaligus merupakan bencana bagi kaum Yahudi di Spanyol. Hanya dalam beberapa bulan saja, antara akhir April sampai 2 Agustus 1492, sekitar 150.000 kaum Yahudi diusir dari Spanyol. Sebagian besar mereka kemudian mengungsi ke wilayah Turki Uthmani yang menyediakan tempat yang aman bagi Yahudi.
*****
Kondisi Yahudi di wilayah Kristen Eropa itu begitu bertolak belakang dengan perlakuan yang diterima Yahudi saat di bawah kekuasaan Islam. Sejumlah penulis Yahudi menggambarkan kondisi Yahudi di Spanyol di bawah pemerintahan Islam ketika itu sebagai suatu “zaman keemasan Yahudi di Spanyol” (Jewish golden age in Spain).
Penulis Yahudi Martin Gilbert, sebagai misal, mencatat tentang kebijakan penguasa Muslim Spanyol terhadap Yahudi. Dia katakan, bahwa para penguasa Muslim itu juga mempekerjakan sarjana-sarjana Yahudi sebagai aktivitas kecintaan mereka terhadap sains dan penyebaran ilmu pengetahuan. Maka mulailah zaman keemasan Yahudi di Spanyol, di mana penyair, dokter, dan sarjana memadukan pengetahuan sekular dan agama dalam metode yang belum pernah dicapai sebelumnya. Kaum Yahudi itu bahkan menduduki jabatan tertinggi di dunia Muslim, termasuk perdana menteri beberapa khalifah di wilayah Islam bagian Timur dan Barat.
Penulis Inggris, Karen Armstrong juga menggambarkan harmonisnya hubungan antara Muslim dengan Yahudi di Spanyol dan Palestina. Menurut Armstrong, di bawah Islam, kaum Yahudi menikmati zaman keemasan di al-Andalus. “Under Islam, the Jews had enjoyed a golden age in al-Andalus,” tulis Karen Armstrong.
Setelah mengalami berbagai kekejaman di Eropa, kaum Yahudi di wilayah Utsmani merasakan hidup di tanah air mereka sendiri. Selama ratusan tahun mereka tinggal di sana, menikmati kebebasan beragama, dan berbagai perlindungan sebagai kaum minoritas dengan status sebagai ahlu dhimmah.
Pada tahun 1535, David dei Rossi, seorang Yahudi Italia, mencatat bahwa di wilayah Utsmani, kaum Yahudi bahkan memegang posisi-posisi di pemerintahan, sesuatu yang mustahil terjadi di Eropa. Ia mencatat, “Here we are not in exile, as in our own country. ‘Kami di sini bukanlah hidup di buangan, tetapi layaknya di negeri kami sendiri.'” (Lebih jauh tentang sejarah toleransi Islam terhadap Yahudi, lihat buku: Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen dan Islam (Jakarta: GIP, 2007).
Karena itu, kaum Yahudi perlu diingatkan, akan sejarah mereka. Bahwa, selama ratusan tahun, mereka dilindungi dan diperlakukan dengan baik oleh umat Islam.
Kini, mereka tak tahu diri. Sudah mencaplok 80 persen wilayah dan mengusir jutaan warga Palestina, masih tak puas-puas juga. Patutlah kita ingatkan bangsa ini: “Wahai kaum Yahudi, janganlah serakah dan lupa sejarah!” (Depok, 10 Mei 2021). [mc]
*Dr. Adian Husaini, Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia.