Dalam buku seorang Kolumnis bernama Darell Huff: How to Lie With Statistic. Dia mengutip kata-kata Benjamin Disraeli (1804-1881) mengatakan ada tiga macam kebohongan: 1. Bohong, 2. Bohong banget, dan 3. Statistik. Pernyataan Benjamin ini menjadi penjelasan kenapa polling dan survei hasilnya justru sangat berbeda. Dan peringatan ini sudah lebih dari seabad lalu.
Nusantarakini.com, Tangerang –
Setelah pertemuan dengan Tim Anies, Surya Paloh politisi yang memang selalu berada di balik kemenangan politik konstestan di tanah air. Mulai dari SBY 2024, Jokowi 2014, dan kini berada di garda terdepan yang lantang membela Anies untuk 2024. SP demikian politisi senior ini dipanggil. Dia meragukan survei yang dirilis oleh berbagai lembaga, seraya mengatakan bahwa survei yang dilakukan oleh internal tim hasilnya jauh dari survei yang di luar itu.
Belakangan publik di tanah air lagi-lagi terbelah. Lagi-lagi soal Pilpres soal selera pada pilihan calon Pemimpin yang akan memimpin Indonesia ke depan. Yakni dalam Pemilu 2024 nanti yang memang sedianya juga satu paket dengan Pilpres.
Polling dan survei adalah dua metode berbeda yang dapat digunakan untuk memperoleh informasi. Keduanya adalah instrumen yang biasanya digunakan oleh peneliti atau lembaga atau instansi atau bahkan perorangan untuk mengukur pendapat dan menerima umpan balik.
Pada dasarnya, perbedaan utama antara keduanya adalah kenyataan bahwa sebuah jajak pendapat lebih terbuka siapapun bisa ikut atau dalam kapasitas tertentu siapapun boleh menjawab/menjadi responden, pertanyaan sederhana dan cepat.
Dan responden biasanya anonim. Dan biasanya memang langsung mendapatkan respon dan responden yang cepat sementara, survei bisa sedikit lebih panjang, terbuka memiliki pertanyaan kontrol, kemudian memiliki ukuran untuk memilih responden berdasarkan representasi populasi karena masing-masing metode pemilihan sampling tentu akan menentukan tingkat kepercayaan dan hasil. Dan memakan waktu. Dan seperti banyak diakui oleh lembaga survei mereka memilih 1200 hingga 1500 responden.
Dalam berkali-kali polling atau jajak pendapat bahkan jajak pendapat yang dilakukan oleh bahkan oleh bukan Pendukung Anies hasilnya justru membagongkan. Anies selalu konsisten memuncaki dan hasilnya pun tidak kaleng-kaleng Anies selalu berada di 68% hingga 89%. Hanya yang unik Anies pernah kalah dalam jajak pendapat ke-4 di Acara ILC setelah Kominfo yang baru dilantik Jokowi. Dan menurut Karni Ilyas sendiri ada keanehan di jajak pendapat ini.
Perlu dipahami, hampir semua polling digital baik di berbagai platform polling di berbagai tempat atau berkali-kali berulang diselenggarakan jumlah responden yang tergalang cukup mencapai angka fantastis yakni sampai 250.000-an lebih responden. Yang artinya dibutuhkan 250.000-an lebih gadget atau handphone atau IP yang terlibat didalamnya karena kami sendiri pernah menguji untuk mengulang pengisian polling yang sama dengan handphone yang sama justru mendapatkan jawaban dari servernya bahwa perangkat kami sudah memberikan ulasan/pilihan.
Artinya media polling tersebut dilengkapi dengan alat kontrol yakni sebuah perangkat cerdas yang mendeteksi bahwa polling yang diselengarakan oleh siapapun itu yang menjadi inisiatornya hanya bisa diisi dan direspon oleh satu perangkat atau mungkin kalau kita bilang satu orang saja yang mengisi/menjawab isi polling. Dan tenu saja sesuai dengan tujuan polling itu sendiri mendapatkan responden anonim.
Dan kalaupun memang ada yang berupaya untuk memanipulasi polling tersebut hanya bisa dilakukan oleh sebuah upaya serius dan tentu saja berbiaya alias minimal menggandakan perangkat. Dan ini tentu mahal sekali.
Apa mungkin pendukung Anies ada yang mau menghabiskan waktu, tenaga dan uang untuk membeli sekian ratus ribu perangkat dan kemudian dengan serius membeli nomor telepon dan mendaftarkan registrasi nomor telepon agar internet bisa langsung aktif, sebab apabila dengan mengandalkan perangkat wifi tentu akan terbaca kesamaan IP address dari si pengirim atau reponden yang sudah susah payah mengganti handphone tersebut.
Lagian apabila memang JIKA. Nah ini kalau ya, JIKA memang ada yang sengaja melakukan upaya merekayasa itu maka itu untuk proses dari satu hp ke hp lain butuh waktu, 30-40 menit. Maka dibutuhkan 10 juta menit. Atau setara dibutuhkan 6995 hari. Atau sekitar 19 tahun lebih Jika dilakukan oleh seorang diri dan jika dilakukan bergantian 3 shif dengan masing-masing 1000 orang maka hasilnya baru bisa dikerjakan serentang 20 hari. Wuih, perlu Rp 12 milyar untuk membuat dan menipulasi hasil ini.
Yang perlu disiapkan lagi diperlukan 250.000-an gadget, bila pukul rata harga Rp 1 jutaan maka diperlukan 250 milyar rupiah. Sungguh sesuatu yang mubazir mengingat kapasitas Anies bukan sebagai incumbent alias berkuasa. Dan setiap hari kita temukan ada saja penyelenggaraan pooling oleh perorangan yang belum tentu terhubung satu sama lain. Dan kenyataaannya setiap polling yang dimenangkan oleh Anies hanya dalam hitungan jam bahkan menit sudah mencapai angka di atas 100.000 responden bahkan bisa lebih. Dan kami sendiri menyaksikan polling yang pernah kami lihat bisa mencapai 250.000-an responden. Ini tentu akan sulit direkayasa. Kecuali memang menyiapkan biaya seperti disebutkan di atas. Tentu sesuatu yang mubazir. Setidaknya sulit untuk sekedar menuduh polling di rekayasa.
Beda dengan survei. Memang survei memiliki kelebihan, selain lebih komprehensif. Survei biasanya memiliki sejumlah pertanyaan dan lebih sering tidak terbuka. Dan tentu juga respondensenya memiliki stratifikasi random yang terukur misalnya representasi gender, representasi wilayah dari populasi dan dengan 1200 sampai 1500-an responden.
Paling mahal untuk mengadakan survei dibutuhkan biaya 1,2 milyar sampai 1,5 milyar rupiah, atau bisa juga berbiaya ekonomis bila dilakukan dengan melalui alat komunikasi telepon atau dengan aplikasi dari smartphone seperti WA namun tetap harus merepresentasikan populasi. Sehingga seringkali hal ini boleh jadi dan lebih mudah untuk dilakukan rekayasa pemilihan responden.
Karena dengan berbagai cara misalnya penentuan responden menjadi terkendala karena sumber kepemilikan alat komunikasi dan representasi responden atas populasi juga mudah untuk dilakukan rekayasa.
Dalam buku seorang Kolumnis bernama Darell Huff: How to Lie With Statistic. Dia mengutip kata-kata Benjamin Disraeli (1804-1881) mengatakan ada tiga macam kebohongan: 1. Bohong, 2. Bohong banget, dan 3. Statistik. Pernyataan Benjamin ini menjadi penjelasan kenapa polling dan survei hasilnya justru sangat berbeda. Dan peringatan ini sudah lebih dari seabad lalu.
Lalu ada instrumen yang belakangan lebih memberikan gambaran big data. Dan belakangan instrumen ini menjadi rujukan banyak gambaran statistik live. Statistik yang riil dan hidup. Yakni Google Trends . Google Trends juga memungkinkan Anda membandingkan minat pencarian terhadap merek, produk, atau layanan Anda dengan pesaing. Anda dapat melihat tren popularitas dan perbandingan antara merek Anda dengan pesaing dalam hal minat pencarian. Hal ini memberikan wawasan berharga dalam memahami posisi bisnis Anda dalam pasar.
Google Trends tentu instrumen yang independen karena algoritma Google Trend adalah hasil grabing dan scrabing data yang berada dalam internet of things, jadi apapun itu yang hidup dalam internet, baik itu percakapan wa atau aplikasi komunikasi anda, isian polling anda, atau jumlah percakapan dalam sosial media anda atau forum-forum yang menggambarkan penyebutan nama, dan pemeringkatan nama merek dan apapun itu yang berada dalam internet dan terdeteksi dalam dunia yang terhubung.
Dapat diketahui seperti misalnya perbandingan mana yang lebih populer Messi atau Ronaldo dan hasilnya pun dapat kita dapati dan bersifat longitudinal dari waktu-ke waktu. Tidak hanya sekali namun dapat dilakukan berkali-kali dan berulang dan hasilnya akan mengikuti algoritma yang sudah disusun dan dibuat pemeringkatannya oleh Google dan jika memang ada upaya untuk merekaya hasil google maka google sendiri yang akan rugi karena tentu saja hasilnya akan mengubah pemeringkatan semua hal. Termasuk hailnya jangan-jangan Persita bisa mengalahkan Real Madrid, jadi Google Trends lebih dapat dipercaya.
Dan hasil Google Trends ini Anies selalu jauh lebih unggul. Bagi saya ini lebih memberikan gambaran mengapa dan bagaimana hasil polling dan survei berbeda jauh dan jauh sekali, dan lagi ada keunikan dari survei adalah susul menyusulnya Ganjar dan Prabowo. Hanya beda antar lembaga survei. Ini lebih menggambarkan secara jenaka, bahwa kredibilitas hasil release survei lembaga-lembaga survei ini juga menjadi sorotan.
Boleh saja itu berbeda bila pada bulan Januari Prabowo unggul kemudian Ganjar unggul pada saat bulan Februari-nya. Atau pada isu-isu dimana waktu tertentu manuver tertentu bisa mengubah skor.
Kadang yang terjadi justru sebaliknya. Ganjar bisa naik tatkala publik sedang kecewa dengan manuvernya yang ikut menggagalkan Piala Dunia U23 dan secara unik Prabowo menang survei ketika isu soal kegagalan food estate dan isu Kroni Prabowo dibalik pembelian peralatan pertahanan dan atau pembelian persenjataan yang justru dilakukan oleh kroni Prabowo. Luar biasa jenaka lembaga-lembaga survei itu.
Jadi adalah sangat relevan bila pertemuan Tim 8 Anies dan SP kemudian membincangkan soal hasil survei internal yang hasilnya justru berbeda jauh dengan survei yang di release oleh lembaga-lembaga survei yang keberadaaannya mentereng itu. Karena selain kejenakaan hasil release survei juga pola kejar-kejaran seperti sepak kesana-kemari.
Satu lagi ada satu lembaga independen dari Australia yang melakukan survei atas capres. Hasilnya sungguh sangat membagongkan 80% lebih masyarakat Indonesia menginginkan perubahan. Artinya kalau boleh disejajarkan ini relevan dengan angka hampir di setiap polling . Yang diantara 68 hingga 89% responden yang memilih Anies sebagai gerbang terdepan kandidat perubahan. [mc]
Tangerang, 28 Agustus 2023.
*Dadan Hamdan, Mantan Pendiri Jokowers.